[24] : Perasaan itu sulit untuk dimengerti

332 48 2
                                    

Kalau boleh jujur, Rendy itu laki-laki yang baik. Rendy itu laki-laki yang sangat friendly. Rendy itu laki-laki yang manis dalam tindakan maupun ... Senyumannya yang badai. Rendy itu laki-laki yang selalu bisa mehibur perasaan orang. Rendy itu selalu datang tak terduga saat dibutuhkan--khususnya untuk Ani. Rendy itu ...

"Rendy itu playboy."

Dan hanya ada satu kawanan Ani yang selalu berpendapat seperti itu.

"Percaya sama aku, Ni, Rendy bukan cowok baik. Jadi, jauh-jauh yah sama dia. Lagian ... kamu juga udah nikah."

Siapa lagi kalau bukan ...

"Wulan kok gitu, ya? nggak suka kalau lihat sahabatnya seneng?"

Sedangkan dia adalah human yang selalu mendukung hubungan Ani dan Rendy.

"Lis, nggak gitu. Gini deh. Aku dapat berita nggak cuma satu atau dari dua orang. Banyak cewek dari alumni SMA yang sama udah jadi mantannya sembilan puluh persen. Dan mereka ujungnya pada sakit hati. Salah satunya tetanggaku, terus temennya tetanggaku."

"Kan itu udah jaman SMA, bisa aja Rendy udah berubah, kan? jangan suudzon terus ke Rendy, dia nggak gitu."

Kini pandangan Lilis dan Wulan saling terkunci. Sepertinya ... mereka akan beradu mulut sekali lagi.

"Aku nggak suudzon, aku serius. Aku bilang apa yang dibilang dari temen yang tetanggaan sama aku."

Ani diam. Sedangkan kedua teman lainnya hanya bisa pasrah. Mereka sudah lelah dengan adu mulut kedua temannya ini. Dan bisa-bisanya--Wulan dan Lilis--mereka akan beradu mulut di depan Ani?

"Itu kan cuma tetangga kamu. Bisa aja dia dulu suka sama Rendy, terus ditolak, otomatis nggak terima dan malah ngejelekin Rendy di depan kamu."

Terus saja Lilis menjadi pendukung Rendy. Namun Wulan selalu pada pendiriannya sendiri.

"Aku bilang gini bukan cuma dikasih tau sama temenku, tapi ada beberapa anak kampus yang juga udah jadi alumni Rendy. Dia kebetulan juga sabahatnya temen sekelasku. Dia cerita banyak soal Rendy yang main selingkuh lah, Rendy yang pergi sama cewek lain lah, padahal status mereka masih pacaran," jelas Wulan panjang lebar.

Ani masih diam. Berpikir dalam diamnya soal dari mana Wulan dapat informasi yang seperti itu, soal bagaimana Wulan bisa seyakin itu, tetapi ... apa mungkin Rendy begitu?

"Ah, nggak percaya aku! Rendy pokok cowok baik, oke," bela Lilis. "Dan kamu nggak baik kalo jelek-jelekin orang dibelakang kayak gini."

Tatapan Lilis memicing pada sosok Wulan yang ada di depannya.

Yang merasa tidak terima mengernyit, melotot, menahan emosi. Tatapan apa itu? Apa begini yang namanya sahabat?

"Kamu kalau ngomong---"

"Nggak usah dilanjutin, deh."

Mereka-- yang asyik berdebat --akhirnya diam setelah mendengar selatan dari si tokoh utama pembicaraan. Semua menoleh pada sumber suara. Terlihat sosok laki-laki--yang dibahas--sedang berjalan ke tempat gosip ciwi-ciwi itu.

Ah, ralat! Niatnya hanya untuk menemui satu orang di antara mereka, namun ... Kelima pecinta oppa Korea itu merasa canggung seketika ada sosok Rendy yang duduk di sebelah kanan Ani. Terutama bagi Wulan yang sedari tadi sedang menjelekkan sosok Rendy, dia hanya bisa bungkam seketika. Mulutnya tertutup sangat rapat saat ini.

Tentu saja, siapa yang tidak akan begitu saat orang yang digosipkan tiba-tiba datang, apalagi saat itu penggosip berkata hal yang buruk. Ah! Mana ada gosip yang bagus, ya? Itu hanya kemungkinan sekecil upil.

Benar-benar, Rendy selalu datang di waktu yang tidak terduga. Pemikiran Ani tidak salah tentangnya.

"Kok pada diem? lo pada liat gue b-aja, dong. Kayak nggak pernah liat cogan nongkrong bareng kalian aja." Rendy terkekeh.

Tatapannya beralih satu-persatu kepada sahabat Ani secara bergantian. Sedikit lama berhenti di Wulan, tetapi gadis itu justru membuang muka. Kemudian untuk yang terakhir, pandangan Rendy berhenti di Ani.

"Nanti pulang bareng aku, ya?"

"Hah?"

Bukan cuma Ani, tetapi keempat para pemuja oppa-oppa Korea juga ikut melongo. Termasuk Wulan yang sempat membuang muka, dia pun menoleh dengan cepat ke arah Rendy yang ... berani-beraninya mengajak Ani pulang bareng?

"Enggak bisa!" Bersamaan dengan menggebrak meja, Wulan menjawab.

"Lah? kenapa elu yang jawab? gue tanya ke Ani, bukan ke elo." Rendy membalas.

"Pokok enggak boleh."

Semua tatapan mengarah pada Wulan. Termasuk Rendy yang sudah mengernyit tidak suka.

"Kenapa lo udah kayak emaknya aja, dah? gue nggak minta ijin ke lo, tapi Ani." Rendy menghela napas, masih terkesan santai, tetapi tatapan menusuk.

Wulan mengernyit, tatapannya melotot tak bersahabat dengan Rendy.  Sudah seperti ... mereka sedang mengibarkan bendera perang masing-masing. Ketidaksukaan pun telah nampak.

"Cukup!" Hingga suara tegas membuyarkan tatapan perang keduanya. Ani, gadis itu menghela jengah. "Aku heran, deh! hari ini tuh, hari apa, sih?! kok bawaannya kalian pada ribut terus?!"

Semua pandangan beralih pada Ani. Meskipun Ani tidak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya tadi, tetapi dia juga tidak bisa menyalahkan sahabatnya atau bahkan membela Rendy untuk kali ini. Maaf saja, tapi persahabatan yang sudah lama bagi Ani itu penting.

Ani menoleh pada Rendy, begitupun sebaliknya.

"Maaf, nanti aku nggak bisa pulang bareng kamu. Lagian, aku udah ada yang jemput buat pulang."

Bibir Wulan berkedut. Dia merasa lega dalam hati. "Denger, kan? lo udah ditolak sama Ani, jadi, pergi aja sono!"

"Wulan!" Ani menegur perkataan sahabatnya.

Entah apa yang membuat Wulan menjadi tidak suka dengan orang secara terang-terangan. Wulan yang dianggap lebih dewasa oleh keempat sahabatnya, kini justru seperti anak kecil sifatnya. Wulan memalingkan wajah.

Ani menoleh pada Rendy. "Jangan dimasukin hati, ya, kata-kata temenku barusan. Tolong kamu maafin dia," ujar Ani.

Rendy tersenyum. "Kalau itu kamu yang minta, aku mau aja maafin dia."

Semua sahabat Ani melongo untuk kesekian kalinya, tetapi Ani justru membalas senyuman Rendy yang terasa manis tanpa dirasa indera perasa. Cukup dengan indera pengelihatan saja.

"Kalau gitu, aku balik ke kelas dulu, ya." Sambil berdiri, Rendy pamit pada Ani.

Dan saat itulah, keempat sahabat lain baru menyadari jika ada perubahan bahasa Rendy kepada Ani.

"Iya."

Ani membalas. Tidak lupa dengan senyuman yang manis. Keempat sahabat hanya seperti pajangan saja. Benar-benar, kelakuan Ani dan Rendy itu ... berasa dunia milik berdua. Sedangkan yang lain cuma ngontrak.

Bgitulah.

Hingga sosok Rendy sudah jauh, tetapi Ani masih saja memandangi punggung laki-laki itu sembari mempertahankan uluman senyum di bibir.

"Ani."

Dia adalah Wulan. Ani pun menoleh. Hari ini, gadis yang terkenal lebih dewasa itu cukup banyak bicara daripada Lilis yang terkenal lebih cerewet.

"Kenapa?" tanyanya.

Wulan mengintimidasi Ani dengan tatapan mata. "Jangan bilang kalau kamu beneran suka sama Rendy?"

Ani diam.

🌸🌸

to be continued.

KOMITMEN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang