[17] : Penuh pertanyaan terpendam

397 72 3
                                    

Banyak sekali pertanyaan yang ingin Ani lontarkan kepada Azib. Tetapi, niatannya menjadi ciut saat mengingat perjanjian yang pernah mereka buat sebelumnya.

Tidak boleh ikut campur urusan masing-masing.

Seperti itulah bunyi pasalnya. Meskipun mereka terikat hubungan pernikahan, namun ... Untuk hati, mungkin tidak ada ikatan sama sekali. Karena memang seperti itu yang mereka rasakan sekarang.

Tidak tahu lagi kalau nanti.

"Menurutmu gimana?"

"Gimana apanya?" Ani mendongak saat dimintai pendapat.

"Ini." Azib menunjukkan sebuah gambar baju muslim yang ada di handphone-nya. Tentu saja hal itu membuat Ani mengernyit heran.

Ani dan Azib--sepasang suami istri itu--seperti bias mereka sedang sarapan di meja yang sama. Ani yang sarapannya masih tersisa separuh, tiba-tiba dia mendapat sebuah pertanyaan dari Azib, meskipun sedikit ragu dan penasaran, tapi ...

"Bagus, kok."

Tetap saja dia menjawab pertanyaan Azib. Kemudian Ani melanjutkan makannya lagi, meskipun dalam hati terus bertanya, untuk siapa? Jika untuk Mama Amel, sepertinya tidak mungkin, karena model baju di gambar tidak terlalu cocok untuk ibu-ibu, atau ...

"Baju ini untuk Hana." Azib menarik kembali handphone-nya. Korneanya kembali fokus pada layar handphone. "Ternyata selera kamu tidak buruk, sepertinya ... Hana juga akan suka."

Eh?

Nah, kan! Hana lagi, tapi kenapa Ani harus peduli?

"Besok dia ulang tahun."

Diam. Itulah yang Ani lakukan. Entah kenapa ada perasaan sedikit kecewa, mungkin karena ia sempat berpikir jika Azib akan membelikan baju muslim itu untuknya. Dasar, pemikiran yang naif.

Tapi kenapa harus Hana, sih? Gadis cantik semalam?

Padahal Ani sudah tidak mempermasalahkan soal dia yang tiba-tiba diajak ke restoran hanya untuk menjadi obat nyamuk. Sebal, sih ... Tetapi Ani bisa apa? Mau pulang sendiri juga tidak mungkin, karena semalam ia lupa membawa dompet.

Uang untuk belanja, tentu saja itu pakai uang Azib. Kalau uang pulang, Ani terlalu gengsi untuk minta pada Azib. Apalagi dia yang tiba-tiba ingin pulang meninggalkan Azib sendiri dengan gadis itu pasti akan membuat Azib malu di depan ... siapa tadi? Hana.

"Tepat di hari ulang tahunnya, besok dia juga akan kembali ke luar negeri, tempat dia kuliah."

Azib menghela napas samar. Dia lagi curhat, kah? Ia berkata tanpa menatap Ani sama sekali. Obsidian-nya masih terkunci pada layar handphone. Sedangkan jemarinya sibuk mengutak-atik di sana.

"Semoga dia suka dengan hadiah ini." Terdapat lekungan sabit di dua sudut bibir Azib.

Apasih, Zib?! Kenapa harus bahas Hana terus di depan Ani?

"Aku udah selesai." Selagi berdiri, Ani mengambil piringnya yang sudah kosong. Ia juga mengambil piring milik Azib yang sudah kosong lebih dulu. Kemudian ia berjalan ke arah wastafel untuk mencuci piring.

Ani diam dengan wajah datar. Dia merasa badmood sekali. Pagi ini, mood Ani terasa sangat buruk. Iya, itu karena Azib terus saja membahas soal Hana. Tetapi, kenapa dia harus peduli, sih? Bukannya mereka sudah sepakat untuk tidak ikut campur urusan pribadi?

Tapi ini sudah melenceng dari perjanjian, kan? Azib yang memulai, dia juga yang terus-menerus membahas soal Hana, orang yang tak ingin diketahui oleh Ani. Tapi Azib justru membuat tanda tanya besar tentang Hana. Jika itu urusan privasi, harusnya tidak perlu diceritakan kepada Ani, kan?

KOMITMEN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang