[14] : Sedikit terbuka

459 76 23
                                    

Ini sudah larut malam, tetapi gadis itu terus saja melangkah dengan isakannya. Hatinya benar-benar sakit dengan ucapan Azib. Ani sempat heran, kenapa Tuhan memberinya jodoh yang sikapnya dingin, tetapi ucapannya pedas. Gila. Ani bisa gila jika seperti ini.

Malam ini terasa sangat dingin, sama seperti sikap Azib padanya. Tapi, hati Ani terbakar oleh ucapan Azib. Hubungan mereka itu ibaratkan air dan api yang tidak akan pernah bisa bersatu. Ibaratkan bulan dan matahari yang mana jika bersatu akan menyebabkan gerhana. Mungkin seperti suatu bencana.

"Cerai?" Itu bukanlah hal yang tepat. "Dia kekanakan sekali." Ani mengomel di setiap langkahnya.

Entah kemana langkah kaki akan membawanya pergi, Ani tidak tahu. Tapi hal yang pasti, Ani tidak akan pulang ke rumah orang tuanya. Apa kata tetangga nanti? Ani sangat tahu betul jika mulut tetangga akan sama pedasnya dengan ucapan Azib.

"Bener-bener jahat! dia bahkan gak ngejar aku," desis Ani setelah menengok ke belakang sebentar.

Dalam hati Ani sempat mengharapkan dikejar oleh Azib. Ya, begitu. Tapi realita tidak sesuai ekspektasinya. Ani lupa kalau ...

"Gak boleh berharap lebih, ya?"

Mengingat kembali perkataan Azib membuat dada Ani merasa sangat sesak. Ani meringis pilu.

'Tapi kenapa?" gumamnya.  "Aku kan istrinya. Dasar Azib gila! ngapain dia satuju nikahin aku kalau akhirnya minta ..."

Ah, Ani sengaja menggantung ucapannya. Rasanya dia tidak ingin melanjutkan ucapan.itu. Jika mengingat akhir dari ucapan Azib, hal itu malah membuat tangisan Ani samakin deras. Ani terus menangis di setiap langkahnya. Ani tahu jika berjalan sendiri di malam hari memang rawan, apalagi dia seorang perawan. Dan lebih parahnya lagi, jalanan yang dia pijak sudah sepi karena hari juga sudah sangat larut. Bisa dibayangkan hal buruk apa yang akan terjadi pada seorang gadis yang berjalan sendirian di jalanan yang sepi.

Ani terus melangkah ke sembarang arah. Sudah lumayan lama gadis itu melangkah. Mungkin dia juga sudah jauh dari rumah. Sampai pada langkah kali ini Ani merasa butuh istirahat, Ani lelah. Dia juga sudah lelah menangis. Kedua mata yang sudah lembam itu akhirnya menemukan sebuah halte bis. Ani melangkah ke sana untuk duduk di kursi halte bis.

"Capek," keluh Ani, setelah ia menempelkan bokongnya di kursi halte bis. "Jalanan di sini sepi banget.'' gumam Ani sedikit khawatir. "Aku nggak boleh lama-lama di sini. Lagian, apa masih ada bis di jam segini?" gumam Ani lagi. Ia memandang nanar ke arah depan.

Sampai terlintas suatu ide di pikirannya. Ani mengambil handphonenya yang ada di dalam tas. Dia memiliki pemikiran untuk menghubungi salah satu teman-temannya, yang mungkin memperbolehkannya untuk menginap malam ini. Kenapa tidak terpikirkn dari tadi?

"Bodoh! kenapa tadi aku lupa ngechas hape, sih?!" umpatnya.

Yeah ... siapa juga yang bisa menyangka akan terjadi hal seperti ini? Ani hanya bisa menghela napas pasrah. Niatan untuk menghubungi teman gagal saat dia mengetahui jika handphone-nya lowbat. Ani melamun lagi sambil duduk di kursi halte bis. Dia memikirkan pilihan antara apa harus pulang ke rumah orang tua, atau ... balik ke rumah yang ada Azib-nya?

Ani menggeleng dengan cepat. "Nggak bisa." Harga diri Ani akan semakin hancur jika memilih antara keduanya. Karena kedua pilihan itu tidak ada yang tepat. "Kalau udah kayak gini, terus aku harus gimana?"

Ani menghela napas pasrah. Rasanya dia sudah tidak ada semangat lagi.

"Lo ngapain di sini sendirian?"

Ani terkesiap. Secepatnya ia mendongak dan menoleh ke arah sumber suara.

"Randy?"

"Iya, ini gue."

KOMITMEN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang