CHAPTER TUJUH BELAS <<17> TANGAN

958 45 3
                                    

Happy Reading

"Di antara tatapan tajam dan kata-kata dingin, terkadang ada luka yang tak terlihat di hati seseorang. Mungkin, di balik keegoisan dan ketegasan, kita perlu mencari kehangatan dan kepedulian untuk menyembuhkan hati yang tergores." – Genta Aksara Wijaya

***

Luna yang tadinya akan ke kantin hendak mencari bukti lebih lanjut entah siapa yang menolongku pada kejadian tersebut masih menjadi teka-teki yang harus aku pecahkan. Saat perjalanan dalam mencari bukti, Luna tidak sengaja melihat Genta berjalan begitu santai melewati dirinya. Tidak ada senyuman yang menghiasi wajahnya bahkan sapaan hanya tatapan tajam yang begitu dingin. Seolah-olah dunia yang dimilikinya begitu dingin tidak ada kehangatan sekalipun dalam sorot matanya.

Saat Luna begitu fokus melihat punggung Genta yang sebentar lagi akan menghilang dari pandangan, dia di panggil oleh seorang guru untuk mengembalikan setumpuk buku yang diserahkan kepadanya untuk dikembalikan ke perpustakaan dengan badan miniku ini. Sepertinya guru ini tidak bisakah meminta tolong kepada orang lain padahal dirinya sudah terlihat jelas begitu mungil. Padahal dia sedang mengamati sang doi jadi gagal dan malah terkena apes seperti ini. Luna tidak ingin memikirkan lagi, sekarang tugasnya adalah mengembalikan buku-buku ini ke tempatnya dengan rapi dan aman.

Saat Luna sedang perjalanan ke perpustakaan sambil bersenandung ria, tetapi tidak sengaja menabrak seseorang yang tidak tahu siapa karena tumpukan buku ini menghalangi indera penglihatannya sampai tidak bisa melihat, sehingga menabraknya. Membuat buku yang dibawa Luna untuk di kembalikan ke perpustakaan atas perintah guru tersebut berserakan di ubin lantai berwarna putih. Luna dengan sebal menghentakkan kakinya dan memanyunkan bibir. Terlihat begitu menggemaskan.

"Kak Genta!" kaget Luna yang heran kenapa Genta bisa ada disini padahal jelas-jelas Luna tadi melihat Genta yang pergi  ke arah barat bukan ke timur menuju perpustakaan.

"Kenapa? Nggak suka lihat gue?!" sewot Genta.

"Enggak kak, aku nggak bermaksud begitu," jelas Luna yang mengelak atas pertanyaan Genta yang tidak berdasar, padahal Luna sangat senang pakai banget malahan bertemu dengan Genta seperti memakan vitamin.

"Lo itu bisa jalan nggak sih?! Jalan itu pakai kaki dan matanya digunakan! Bukan kakinya doang yang jalan!" sarkas Genta dengan diikuti sorot mata tajam dan aura dingin yang menyeruak. Membuat siapapun merasa ketakutan.

"Maaf kak Genta ... maaf banget! Ini emang salah aku jalannya nggak bisa lihat karena tumpukan buku ini. Aku juga enggak sengaja kak," jelas Luna dengan takut-takut. "Lagian aku juga nggak ingin cari gara-gara sama Kak Genta, namanya juga musibah kak," gumam Luna pelan.

"Tapi gue nggak berharap kena musibah sama lo! Kenapa ya gue harus ketemu sama lo terus! Sehari nggak ngerecokin gue bisa nggak?" tanya Genta dingin sambil menatap tajam Luna.

"Namanya juga takdir kak," jawab Luna pelan.

"Takdir ... takdir apaan! Nggak usah bawa-bawa takdir! Orang itu kecerobohan yang lo buat sendiri pakai bawa takdir segala!" gertak Genta kepada Luna.

"Sekali lagi aku minta maaf sama Kak Genta ... tapi boleh bantuin buku ini ke perpustakaan nggak?" tanya Luna kepada Genta agak takut-takut dengan wajah polos yang menggemaskan.

Genta tidak menjawab pertanyaan Luna. Ya itulah Genta yang selalu mengabaikan kaum hawa, membuat rumor yang tidak benar akan dirinya bahwa dia suka sama sesama jenis, makanya dia selalu menolak wanita yang mendekatinya dengan perkataan tajam dan perlakuan kasarnya. Namun itu tidak membuat Genta risih atau terganggu. Sampai sekarang Genta nyaman-nyaman saja dengan rumor yang tidak benar tentang dirinya adalah gay, bahkan tidak ada bantahan atau penjelasan dari dirinya. Genta mulai membereskan buku yang berserakan di lantai dan membawanya ke perpustakaan.

GENTA & LUNA [SEDANG DALAM REVISI💣]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang