Sekarang pukul sudah delapan malam. Anika memetik senar bass dengan wajah agak cemas. Baskara tak kunjung untuk menelpon dirinya padahal Anika sudah berkali-kali mengecek last seen Baskara dan cowok itu sempat online tadi.
Jujur saja Anika agak takut kalau ternyata Baskara hanya ingin mempermainkannya saja alias hanya sekadar iseng. Atau bisa jadi Baskara dan Nachel sedang menertawakan Anika yang sudah berhasil dibodoh-bodohi.
Berbagai dugaan buruk selalu berkecamuk di kepala Anika membuat mood Anika benar-benar berantakan. Dia bahkan jadi tidak selera makan malam ini makanya tidak bergabung makan malam bersama keluarganya di depan. Anika hanya di kamar, dengan sebuah bass yang berada di pangkuannya dan mata Anika tak lepas untuk melirik ponselnya yang berada di meja belajarnya, adakah notif yang masuk atau tidak.
Anika bahkan sekarang tidak berminat untuk memetik senar bass miliknya lagi. Anika tentu merasa galau dan tentu semakin yakin kalau Baskara hanya berpura-pura menyukainya. Untuk itu Anika memutuskan berbaring di atas kasur dengan tangan terkepal yang terus memukul kasur.
Anika merasa bodoh. Anika merasa bodoh telah hampir percaya kalau cowok hampir sempurna seperti Baskara bisa menyukainya.
Itu tidak mungkin-
Anika yang sudah menangis di balik bantal itu tiba-tiba mendengar ponselnya berdering. Tentu saja Anika langsung terkesiap untuk meraih ponselnya dari atas meja belajar.
Tidak. Anika yakin seratus persen ini bukan mimpi. Panggilan masuk itu datang dari Baskara.
Sambil menarik napas panjang, Anika menerima panggilan itu. Semoga saja dugaan buruknya tentang Baskara dan Nachel yang bersekongkol untuk hanya mengerjainya saja itu tidak benar.
"Halo, Anika?" sapa Baskara dengan suara beratnya. "Maaf aku baru telpon kamu sekarang. Aku baru aja balik ke apart, habis dari rumah Leo, ngerjain tugas kelompok. Ya.. Sekalian main PS dulu sih.. Hehe, maaf ya? Maaf kalau seandainya kamu nungguin aku."
Anika tersenyum mendengar suara Baskara. Untuk itu Anika buru-buru menghapus air matanya. "Iya, Bas, gapapa kok."
"Eh suara kamu agak dengung, kenapa?" tanya Baskara dengan nada cemas. "Kamu lagi sakit, An?"
"Eng.. Nggak, Bas, nggak sakit," Anika meringis. Meruntuki kebodohannya karena pikirannya yang terlalu buruk Anika jadi sampai menangisi hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataannya.
"Serius, An? Kalau sakit, bilang, aku panggilin dokter ke rumah kamu, ya? Kebetulan Ayah punya dokter pribadi, namanya Om Wisnu, aku juga akrab kok sama dia. Aku panggilin dia buat ke rumahmu ya, An?"
"Bas.. Nggak usah, serius aku gapapa."
"Kalo gapapa, kenapa suara kamu dengung?"
"Aku.. Aku malu bilangnya."
"Ini kita cuma telponan, An, nggak ketemu langsung. Kamu masih aja malu?" Baskara mendengus geli.
"Aku ha-habis nangis," Anika akhirnya bicara jujur.
"Nangis? Nangis kenapa, An?"
"Aku mau bilang sama kamu, tapi kamu jangan ketawa, ya?"
"Iya."
"Beneran ya, Bas?" tanya Anika mulai mempersiapkan diri untuk mengatakan sejujurnya, semua yang ada pada perasaannya. "Sekaligus aku mau ngasih tau kamu sesuatu, tapi kamu jangan ketawain aku."
"Iya, Anika, aku nggak ketawa. Aku akan dengerin kamu."
Anika menarik napas panjang dengan mata yang terpejam sesaat. "Jadi gini, Bas, sejak kita pertama kali ketemu waktu telat itu, aku udah suka sama kamu. Yang suka duluan itu aku, Bas, malu banget aku ngaku gini cuma gimanapun aku harus berani jujur sama kamu," ujar Anika yang mulai merasa lega. "Dan aku nangis tadi itu karena.. Karena kamu nggak nelpon-nelpon aku, hehe.. Aku nggak tau, aku selalu nethink, Bas, aku bahkan masih mikir kalau kamu cuma mau ngerjain aku aja, supaya aku ketauan suka sama kamu."
Dari sana, Baskara tersenyum mendengar ucapan Anika. "Ya.. Terus? Masih ada nggak yang mau kamu kasih tau ke aku?"
"Masih-masih. Aku.. Aku mau jujur ke kamu karena aku nggak mau diem dan jadi malah nethink terus," balas Anika, dia berusaha penuh mengendalikan diri agar tidak gugup. "Dari awal aku suka kamu, aku nggak berani berharap apa-apa. Memangnya aku siapa? Mungkin kalau aku secantik Meylanie atau Kak Nachel, aku bisa untuk lebih percaya diri tapikan ini nggak. Kamu terlalu sempurna buatku, Bas. Bahkan kita jadi dekat atau kamu tau namaku aja rasanya aku cuma mimpi. Aku jelek, Bas, aku merasa nggak berhak untuk siapa-siapa. Itu kenapa aku sulit banget percaya kalau kamu bisa suka sama aku," tanpa sadar Anika menangis ketika mengatakannya. Dia akhirnya bisa mengungkapkan jujur segala rasa yang hanya ini bisa dipendam olehnya.
"Anika.. Aku, Baskara, aku cinta sama kamu. Apa adanya. Kamu nggak perlu untuk jadi kayak Meylanie atau Nachel karena aku nggak butuh itu. Aku cinta kamu dan aku nggak tau kenapa, An. Aku nggak bisa kasih alasannya ke kamu karena aku sendiri juga nggak punya jawabannya," balas Baskara begitu lembut. "Aku ada di sini sekarang, aku akan jadi pacarmu. Aku yang akan berusaha bikin kamu merasa berharga dan bikin kamu yakin kalau diri kamu itu pantas untuk dicintai. Bahkan kalau kamu mau, aku bisa bilang sama seluruh orang yang aku atau kamu kenal, kalau aku, Baskara, jatuh cinta, sama Anika, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kamu punya."
"Baskara.." tentu saja Anika semakin menangis mendengarnya. "Aku cinta sama Baskara."
"I love you more, Anika, I love you more," balas Baskara begitu tulus. "Aku tau ini nggak gampang untuk meyakini kamu bahwa kamu itu nggak seburuk pikiran jahat yang ada di kepalamu. Tapi aku akan berusaha, An."
"Bas, tapi, jangan putusin aku besok, ya," ujar Anika tiba-tiba.
Baskara berdecak. "Belum ada satu menit aku bilang kayak tadi, kamu udah mikir gini lagi, An, astaga."
Anika meringis kecil. "Ya abis, aku takut kamu besok pagi bangun, terus menyadari kalau kamu udah salah jatuh cinta sama aku yang jelek kayak gini."
"Anika, eh, dengerin aku. Pikiran kayak gitu bisa kamu cuekin aja nggak sih sekali-kali? Aku nggak pernah melihat kamu seperti yang kamu bilang. Aku sayang sama kamu, Anika, harus berapa kali lagi aku bilang?" tanya Baskara mulai jengah. "Masa aku harus ngelamar kamu, terus nikahin kamu malam ini juga buat ngebuktiin kalo aku seriusan sayang? Kan nggak mungkin, An, kamu bahkan baru kelas sepuluh. Nggak mungkin aku merusak cita-cita kamu yang masih panjang, An."
"Bas, maaf, ya?"
"Iya, An. Jangan gitu lagi," peringat Baskara. "Aku mau mandi dulu, boleh nggak nih? Lengket banget soalnya badanku. Habis dari rumah Leo aku langsung telpon kamu, takut kamunya keburu tidur."
"Iya, Bas, boleh kok. Kamu sekalian istirahat aja. Makan terus tidur. Pasti capek banget kan?"
"Capek sih, tapi masih mau nelpon kamu. Kan baru jadian," Baskara tertawa geli. "Nanti aku video call ya habis aku mandi."
"Eh tapi kamu makan pakai apa, Bas? Kata kamu di sana nggak ada asisten rumah tangga. Terus kalau mau makan gimana? Emangnya kamu bisa masak?"
"Bisa. Cuma stok bahan yang bisa dimasak lagi habis. Jadi aku mau pesen lewat ojek online aja."
"Baskara bisa masak?" Anika terperangah mendengarnya. "Keren kamu, Bas."
"Kalau untuk yang basic-basic aja sih aku bisa, babe. Kayak nasi goreng, ayam, ikan atau tumis sayur aku bisa. Tapi kalau untuk ikut master chef, kayaknya berat," Baskara tertawa. "Aku udah lumayan lama tinggal sendiri di apart. Kalau nggak bisa masak ribet juga, An."
"Iya, Bas," ujar Anika. "Ya udah, kamu mandi gih. Ini aku malah ngulur waktu dengan ngajak kamu ngobrol. Maaf ya."
"Don't say sorry, babe. Santai aja," ujar Baskara. "See you, Anika."
Anika tersenyum. "See you too, Baskara."
Panggilan selesai. Anika menatap ponselnya dengan senyum yang tak kunjung pudar. Sepertinya Anika akan mimpi indah malam ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE [LENGKAP]
Teen FictionHidup adalah sebuah pilihan. Tiap hal selalu saja dihadapi dengan pilihan. Sekalipun itu mengenai cinta. Kadang kala, kita tak bisa memilih untuk bersama orang yang teramat kita cintai bukan karena perasaan itu sudah tidak ada lagi. Tapi karena...