Mulai sejak saat itu, Baskara jadi sering sekali menghubungi Anika membuat Anika jadi suka menyalah-artikan sikap Baskara akhir-akhir ini kepadanya.
Seperti malam ini. Baskara datang ke rumahnya karena ingin menonton film power ranger bersama. Baskara datang dengan membawa sekotak pizza ukuran besar, untuk dimakan bersama keluarga Anika juga katanya.
Hanya ada Ibu Anika dan Anika di rumah karena Ayah Anika sedang kedapatan sip malam di tempatnya bekerja.
Anika sudah bilang kalau akan ada temannya yang datang ke rumahnya malam ini. Tapi Ibu Anika tidak menyangka kalau yang datang adalah pria tinggi dengan wajah tampan seperti Baskara.
"Malam, Bu," sapa Baskara pada ibu Anika yang terbengong melihat Baskara.
"An, ini serius temenmu?" dengan tidak berkedip, Ibu Anika menyenggol lengan Anika dengan siku. "Temenmu kenapa jadi pada oke-oke gini, An? Ibu udah cukup kaget liat Meylanie, terus sekarang-"
"Baskara, Tante," Baskara tersenyum ramah pada Ibu Anika.
Ibu Anika tersenyum lebar lalu manggut-manggut. "Ayo, masuk, Baskara," ajak Ibu Anika tak kalah ramah.
Baskara masuk ke dalam rumah Anika setelah disuruh oleh Ibu Anika tadi. Dia duduk di sofa ruang tamu sambil meletakan pizza yang Baskara bawa.
"Maaf ya, An, Tante, cuma bisa bawa pizza," ujar Baskara.
"Gapapa, Bas. Kamu datang ke sini nggak bawa apa-apa aja, Anika udah seneng," Ibu Anika tertawa, dan Anika mendengus sebal di sebelah ibunya.
Baskara ikut tersenyum. "Ya udah, yuk, Tante, Anika, kita makan pizza sama-sama," ajak Baskara.
"Em.. Kak, sa-saya mau ambil minum dulu, ya," ujar Anika.
Tapi Ibu Anika langsung melarangnya dengan menahan tangan Anika. "An, nggak usah, biar ibu aja. Kamu temenin Baskara gih."
"Tapi, Bu-"
"Cepet," Ibu Anika menggeleng tegas. Kemudian berlalu ke belakang untuk membuatkan minuman.
"Ya udah. Iya iya," Anika mendengus lalu melangkah mendekati Baskara yang sedang duduk di sofa. "Kak.. Mau nonton power ranger, kan?" Anika ikut duduk di sebelah Baskara.
"Bukan."
Dahi Anika mengkerut. "Terus?"
"Mau ketemu lo," Baskara tersenyum tengil. Dan Anika tidak bisa bohong jika Baskara begitu tampan. "Kangen."
"Eh?" Anika terkejut bukan main, tentu saja.
Baskara tertawa geli kemudian. Dia tidak menyangka Anika akan sekaget itu dengan ucapannya. "Eh, bercanda, Anika. Lo kaget banget deh," Baskara menggeleng-gelengkan kepala dengan sisa tawanya. "Sorry-sorry, iya mau nonton power ranger. Setel dong filmnya."
Anika menghela napas panjang. Anika hampir saja terbang tinggi dengan ucapan Baskara yang ternyata hanya bualan. Baskara memang keterlaluan, Anika bisa semakin suka kalau begini caranya. "Iya, sebentar ya, kak," Anika berdiri untuk meraih kaset power ranger yang sudah disiapkannya kemudian memasukannya ke dalam dvd untuk disetel.
"Ayok, diminum. Maaf adanya cuma sirup ya, Bas," Ibu Anika meletakan dua gelas sirup leci di atas meja ruang tamu. "Ibu ke kamar dulu, ya, An, Bas."
"Lho, ibu nggak ikut nonton?" tanya Anika. Meski sudah lumayan sering Anika ngobrol dengan Baskara, hanya saja Anika masih suka canggung. Dengan keberadaan Ibunya, mungkin bisa mengurangi rasa canggung itu.
"Masa ibu diajak nonton film power ranger?" tanya Ibu Anika. "Emang kamu pikir ibu anak-anak?"
"Bener juga," Baskara manggut-manggut. "Udah kita aja, An, kita kan masih anak-anak."
"Nah bener kata Baskara," Ibu Anika setuju.
"Tante, tapi ini pizza-nya?" tanya Baskara.
"Nggak usah, Ibu udah kenyang," Ibu Anika menggeleng. "Tuh, Anika belum makan, Bas. Ya udah, Ibu ke kamar dulu ya."
"An, makan dulu nih," Baskara menyodorkan satu slice pizza pada Anika. "Anggep aja kita nonton bioskop."
Anika terkekeh pelan lalu mengambil pizza dari Baskara. "Makasih, Kak."
"You're welcome," Baskara fokus menonton film power ranger di hadapannya.
Diam-diam, Anika tersenyum memperhatikan Baskara dari samping. Ini seolah mimpi bagi Anika karena bisa dekat dengan Baskara meskipun hanya dalam status pertemanan. Tidak masalah bagi Anika, Anika sudah cukup senang dan bersyukur.
"An, seru, ya?" Baskara menoleh. Bertepatan dengan Anika yang sedang tersenyum melihat Baskara. Anika kepergok oleh Baskara.
Tentu saja Anika buru-buru mengalihkan pandangan karena begitu gugup ketahuan sudah memperhatikan Baskara.
"Lo.. Ngeliatin gue, An?" tanya Baskara.
"Ng.. Nggak, Kak," Anika berkilah.
"Masa?" Baskara tertawa. Dia memang ingin menggoda Anika. "Lain kali kalo mau ngeliatin gue, pas guenya lagi nengok juga. Kan lebih enak liat dari depan daripada dari samping."
"Kak Baskara apaan sih? Nggak, saya nggak ngeliatin," Anika kini berpura-pura fokus menonton film di depan.
"Anika, sini-sini liat gue," Baskara menolehkan wajah Anika agar melihat ke arahnya. "Nggak usah bohong kali. Udah ketauan gitu, masih nggak mau ngaku," Baskara tersenyum kemudian. "Nih, udah liat kan dari depan? Gimana? Puas nggak?"
"Kak Baskara, saya lagi nonton tau!" Anika mengalihkan pandangan dengan gerak-gerik salah tingkah. "Udah deh, nonton aja, nggak usah iseng."
"Iya iya," Baskara tersenyum geli, tapi kini Baskara yang giliran untuk memperhatikan Anika dari samping.
Sampai tiba-tiba kaset yang diputar macet. Anika mendengus melihat gambar di televisinya berhenti padahal lagi seru-serunya.
"Bentar ya, Kak Baskara. Ini kasetnya emang suka macet, maklum, namanya juga kaset bajakan," ujar Anika.
"Eh, Anika, bentar dulu," Baskara menahan tangan Anika.
"Apa?" Anika menyahut, tapi tidak mau menoleh ke arah Baskara.
Baskara bangkit dari sofa, lalu bicara tepat di telinga Anika. "Senyuman lo bagus, sayang aja lo jarang senyum," Baskara bicara dengan begitu santai kemudian kembali duduk sambil memakan pizza.
Anika menahan napasnya sambil menggerutu dalam hati. Dia kesal dengan perasaannya yang begitu lemah. Padahal Baskara mungkin memang bersikap seperti ini kepada siapapun, tapi Anika tidak siap menerimanya, Anika semakin jatuh cinta.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE [LENGKAP]
Teen FictionHidup adalah sebuah pilihan. Tiap hal selalu saja dihadapi dengan pilihan. Sekalipun itu mengenai cinta. Kadang kala, kita tak bisa memilih untuk bersama orang yang teramat kita cintai bukan karena perasaan itu sudah tidak ada lagi. Tapi karena...