45. [END]

559 61 16
                                    

Semenjak setelah segala permasalahan Nachel waktu itu, Jarvis kini memberi jarak yang benar-benar terasa nyata dengan Anika. Tidak hanya Anika, tapi juga ke semua orang. Jarvis semakin dingin, dan juga tidak tersentuh. 

Selain itu, Jarvis juga menjadi seseorang yang teramat sensitif. Jika ada yang bahkan secara tak sengaja mengusiknya, Jarvis akan langsung marah besar. Anika sejujurnya sedih melihat Jarvis yang kini teramat berbeda dan memilih untuk menyendiri, tapi Baskara berkata bahwa itu bukan urusan Anika untuk mempedulikan perubahaan sikap pada diri Jarvis.

Jika dulu, ketika ada ulangan harian maka Jarvis akan dengan suka rela membantu Anika, tapi kini Jarvis tak pernah melakukannya lagi. Jarvis sepertinya tidak punya alasan untuk melakukannya lagi mengingat perasaannya untuk Anika telah sepenuhnya menghilang.  Tapi Anika tidak masalah perihal itu, meski Baskara mengatakan bahwa Anika harusnya mengabaikan Jarvis saja, tapi Anika tidak bisa. Sejauh ini, Jarvis telah menjadi temannya yang baik. Anika akan sangat merasa bersalah jika membiarkan Jarvis sedih sendirian seperti ini. 

Untuk itu, pada jam istirahat kali ini, Anika sengaja membuntuti Jarvis yang tidak berbelok ke arah kantin, melainkan ternyata ke atap sekolah. 

Perlahan, Anika menghampiri Jarvis yang kini berdiri menatap ke bawah sekolah. Anika yang panik dan mengira Jarvis akan bunuh diri buru-buru berjalan cepat menghampiri Jarvis lalu menarik lengannya. 

"Lo jangan gila!" Anika berseru dengan nada tinggi. 

Jarvis melirik lengannya yang dipegang, lalu menariknya dengan kasar. "Lo yang gila. Apa-apaan lo narik tangan gue segala?" Jarvis menatap Anika dengan kesal. 

"Gue kira lo mau bunuh diri," Anika meringis. 

"Kalo pun gue mau bunuh diri, gue akan pilih cara lain, bukan bikin satu sekolah heboh dengan cara lompat dari atap sekolah," Jarvis memutar bola matanya, lalu kembali menatap ke bawah dengan tatapan kosong. 

"Vis.. Lo kenapa?" tanya Anika hati-hati.

Jarvis tidak menjawabnya, membuat Anika menarik napas dalam-dalam sambil memilih kata yang tepat untuk mengetahui mengapa alasan Jarvis berubah seperti ini. 

"Jarvis.. Lo boleh sedih, tapi gue minta tolong, jangan sedih sendirian dan diem-diem kayak gini. Lo bisa berbagi kesedihan lo sama gue."

Jarvis tertawa mengejek. "Lo udah bahagia sama Baskara, ngapain gue ajak sedih?"

"Soal Nachel—"

"Lo nggak usah bahas dia," Jarvis menoleh, matanya memerah karena menahan rasa kesal. "Lagian lo lancang banget ngikutin gue ke sini! Denger, Anika, gue udah nggak suka lagi sama lo. Semua sikap peduli lo, udah nggak akan ada artinya lagi di mata gue."

"Iya, Jarvis, gue tau itu. Gue tau kalo lo udah nggak menyukai gue lagi. Tapi apa salah kalau kita masih dekat dengan status berteman?" tanya Anika hati-hati. "Dan untuk Nachel, gue memang nggak tau apa yang pernah lo sama Nachel alami bersama hingga kalian bisa saling jatuh cinta, tapi jujur, gue turut senang kalo lo akhirnya bisa jatuh cinta sama seseorang yang lain. Gue ke sini, karena gue mau ngasih tau lo, sesuatu tentang Nachel, tentang seseorang yang saat ini lagi lo suka."

Jarvis memejamkan matanya sejenak, berusaha berpura-pura tuli agar dirinya tidak perlu menganggap bahwa memang benar-benar ada hal yang ingin Anika sampaikan mengenai Nachel. Kalaupun ada sesuatu mengenai Nachel, Jarvis tak seharusnya mengetahui itu. Nachel sendiri yang mengatakan bahwa Nachel tak ingin bertemu dengan Jarvis lagi. Jadi untuk apa Jarvis tahu kabar Nachel jika Jarvis tidak dapat menemui Nachel jika Jarvis menginginkannya? 

"Vis, apa yang Nachel bilang dari mulutnya, itu bukan yang sebenarnya hati Nachel inginkan, percaya sama gue, Vis."

Jarvis tertawa mengejek, lalu menoleh ke arah Anika. "Lo bukan dia, An, lo nggak tau apa yang hatinya katakan sebenarnya. Berhenti jadi orang sok tau dan ikut campur atas urusan orang lain."

CHOICE [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang