Hari ini, Jarvis kebagian piket di kelas. Lelaki itu kini sedang menghapus tulisan di papan tulis. Sebenarnya Jarvis bisa saja menyapu, tapi perempuan di kelasnya menolak ketika Jarvis menawari bantuan.
Saat papan tulis sudah bersih, Jarvis meraih tasnya dan beranjak keluar kelas. Namun saat keluar kelas, seragamnya tiba-tiba saja ditarik kencang oleh seseorang dari belakang menuju depan UKS yang memang sedang sepi. Jarvis dengan cepat melakukan perlawanan dengan menyikut perut seseorang yang menarik seragamnya tadi.
Jarvis menoleh, melihat ternyata orang itu adalah Aldi.
Dengan wajahnya yang tenang, Jarvis merapihkan seragamnya yang kusut berkat ulah Aldi. "Apaan?"
"Lo masih nanya apaan?!" berbanding terbalik dengan Jarvis yang tenang, raut wajah Aldi menyiratkan hal sebaliknya. "Bisa-bisanya si bangsat lo bikin nangis Diandra?! Kalo cewek manapun, itu urusan lo, Vis, tapi ini Diandra!"
Jarvis tersenyum miring, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kemarahan Aldi. "Kenapa emang kalo Diandra?"
Aldi menggeram marah, lalu meninju pipi Jarvis dengan cukup kencang tapi Jarvis sama sekali tak berupaya untuk menghindar meski Jarvis bisa saja melakukannya.
"Lo yang ngenalin Diandra ke gue. Bukannya itu hak gue, mau bersikap gimana aja sama dia? Kalo dia nangis, itu urusan dia, kenapa lo marahnya ke gue?" tanya Jarvis sama sekali tidak terpancing emosi. Jarvis memang bukan tipikal lelaki yang mudah marah.
Aldi menatap Jarvis dengan tatapan tajam. "Gue ngenalin Diandra ke lo, supaya lo bisa bikin dia bahagia. Bukan malah nyakitin perasaannya kayak gini!"
"Lo mau gue bikin dia bahagia dengan cara kebohongan?" tanya Jarvis dengan alis naik sebelah. "Gue nggak bisa cinta Diandra, menurut lo baik kalau perasaan itu dipaksa?"
Aldi dengan kepalan tangannya, mulai melayangkan pukulan, tapi kali ini Jarvis menangkisnya bahkan memelintir tangan Aldi ke belakang, berusaha mengunci pergerakan Aldi agar tak dapat menyerangnya lagi.
"Kalo lo sakit hati ngeliat Diandra nangis karena gue, harusnya lo yang berusaha bikin Diandra bahagia karena upaya lo," bisik Jarvis, lalu perlahan melepas tangan Aldi karena mendengar Aldi sudah meringis.
Aldi yang sedang mengusap tangannya, mengalingkan wajah karena paham apa yang Jarvis katakan.
"Kalo lo suka Diandra, lo masih punya banyak peluang. Jangan tolol lagi dengan berusaha bikin Diandra bahagia, tapi sama orang lain, padahal lo sendiri pengen jadi alesan Diandra bahagia," Jarvis berkata dengan raut wajah malas sebelum berlalu dari hadapan Aldi.
Lelaki itu sudah membuang waktunya. Jarvis sudah tahu sejak awal kalau Aldi memang menyukai Diandra. Terlihat sekali dari tatapan Aldi ketika lelaki itu membicarakan sosok perempuan bernama Diandra untuk pertama kalinya.
Sebenarnya, kalau saja Jarvis pada akhirnya bisa mencintai Diandra, Jarvis tak akan memperdulikan bagaimana perasaan Aldi mengingat lelaki itu yang telah melakukan kebodohan dengan mengenalkan perempuan yang disukainya kepada Jarvis.
Karena bagaimanapun, egois adalah hak untuk mencintai.
Tapi sayangnya, Jarvis tak merasakan apa-apa saat bersama dengan Diandra. Itu sebabnya, Jarvis bicara seperti tadi dengan Aldi untuk menyadarkan lelaki itu agar tak lagi mengulangi kebodohan yang sama.
Ketika langkah Jarvis sedang mengarah menuju gerbang sekolah, Jarvis melihat ada perempuan yang bicara dengan Anika. Untuk melihat lebih jelas siapa perempuan itu, Jarvis lekas melangkah lebih dekat.
Jarvis mengingat siapa perempuan cantik yang sedang mengajak Anika bicara itu. Tak lain, perempuan itu adalah perempuan yang pernah bersama Baskara ke toko pakaian yang menyebabkan Anika sakit hati waktu itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE [LENGKAP]
Fiksi RemajaHidup adalah sebuah pilihan. Tiap hal selalu saja dihadapi dengan pilihan. Sekalipun itu mengenai cinta. Kadang kala, kita tak bisa memilih untuk bersama orang yang teramat kita cintai bukan karena perasaan itu sudah tidak ada lagi. Tapi karena...