Anika masih menunggu Baskara dan dia mulai merasa jenuh. Sudah bolak-balik buka akun sosial media, tapi tetap saja rasa bosan masih melanda. Terlebih Anika masih memikirkan perkataan Baskara tadi ketika acara sedang berlangsung, apa Baskara benar-benar ingin putus dari Nachel?
Tapi, Kenapa?
Apa yang salah dari Nachel? Gadis itu bahkan terlalu sempurna untuk Baskara cari kesalahannya jika seandainya Baskara memang ingin memutuskan hubungannya dengan Nachel.
"Hei."
Anika menoleh ke belakang. Ada Baskara yang berdiri di belakang bangkunya untuk duduk. Tentu saja Anika lekas berdiri dan menghampiri Baskara.
"Kak-"
"Sekarang panggil gue Baskara aja."
"Maksudnya?" Anika kebingungan.
"Iya, nggak usah pake, kak," Baskara memperjelas. "Gue bukan kakak lo. Apalagi mau jadi kakak ketemu gede sama lo."
"Tapi.. Kenapa?" Anika masih butuh penjelasan. "Kak Baskara kelas dua belas dan saya kelas sepuluh. Jelas aja saya harus panggil kakak supaya lebih sopan."
"Bisa nggak sekali aja nggak keras kepala?" Baskara menghela napas panjang. "Cukup nurut sama apa yang gue bilang, Anika. Itu juga nggak sulit."
"Ya udah ya udah," Anika berusaha mengalah pada akhirnya. "Iya nih, saya panggilnya Baskara aja. Nggak pake kakak. Gitu, kan?"
"Iya," Baskara mengangguk. "Sekarang udah jam sepuluh, lo bates pulang ke rumah jam berapa? Harus jam dua belas teng, ya?"
Anika tertawa. "Kamu pikir saya Cinderella," dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya udah, kalau gitu pulang sekarang aja, gimana? Saya udah bilang sih sama ibu untuk izin pulang telat, cuma saya mau pulang aja."
"Kalau kita makan nasi goreng dulu gimana?" tawar Baskara.
"Kamu udah makan tadi, Bas," Anika melebarkan matanya. Tidak habis pikir dengan Baskara jika cowok itu masih saja merasa lapar. "Itu perut atau karung sih? Udah diisi masih aja muat banyak?"
"Belum full, An," Baskara nyengir. Dia memang orang yang mudah lapar sebetulnya. "Yuk? Lagian lo juga baru makan kentang goreng gitu. Mana kenyang?"
"Bas.. Ini udah jam sepuluh. Mau makin melar saya kalau makan jam segini?"
Baskara mengangkat bahunya, merasa tidak peduli. "Emang lo pikir lo apaan bisa melar?" Baskara langsung meraih tangan Anika. "Udah, ayuk, nggak usah kebanyakan protes."
"Terus, Kak Nachel gimana?" tanya Anika sambil melepaskan genggaman tangan Baskara. Anika akan merasa berdosa jika menikmati perlakuan hangat Baskara yang sudah memiliki pacar sebaik Nachel.
"Mau makan nasi goreng di kafe atau mau yang di depan?" tanya Baskara ketika mereka saling berjalan beriringan. Dia mengabaikan pertanyaan Anika. "Tadi gue liat sebelum masuk sih, yang di depan pake gerobak. Kayaknya dia emang mangkal di depan. Mau?"
Anika mengangkat bahu. "Yaudah boleh," Anika menjawab dengan enggan karena sebetulnya dia tidak ingin makan lagi, takut berat badannya naik. Tapi Baskara selalu mampu membuat Anika tidak ada pilihan lain, selain mengiyakan.
"Nggak pa-pa makan di gerobak gitu?" tanya Baskara saat sudah mulai keluar gedung.
"Gapapa," Anika tidak merasa keberatan.
"Lo sama Nachel tuh, bedanya seratus delapan puluh derajat, ya? Asli," Baskara tersenyum geli. "Tapi gue lebih suka lo daripada Nachel. Lo sederhana dan bisa diajak untuk makan di mana aja atau kalo pergi, naik apa aja juga jadi. Nggak kayak Nachel, dia bawel abis."
Anika hanya terdiam. Dia juga tidak mengerti mengapa Baskara jadi membanding-bandingkan dirinya dengan Nachel. Harusnya tidak bisa seperti itu karena Anika dan Nachel adalah dua orang yang berbeda dengan kepribadian yang berbeda pula. Jadi tidak sepantasnya Baskara mengatakan hal itu, apalagi bicara kalau Anika lebih baik dari pacarnya sendiri.
Anika tahu dirinya memang munafik karena memungkiri hati yang senang juga dengan ucapan Baskara, tapi hati kecilnya juga bicara kalau Anika tidak boleh sampai hati untuk sejahat itu.
"Bang, dua ya," Baskara berkata pada penjual nasi goreng. "Yang satu sedeng, yang satu nggak pedes sama sekali."
"Sebentar ya Mas, saya bikinin untuk orang lain dulu. Ditunggu ya."
"Oke," Baskara selesai memesan dan kini duduk di sebelah Anika. "Eh, An."
"Iya, kenapa?" Anika menoleh. Dia jadi mulai membiasakan diri melihat wajah Baskara karena seperti yang Baskara katakan, Anika harus bisa menyayangi dirinya sendiri dengan tidak selalu negatif thinking apalagi merendah.
"Gue putus sama Nachel."
Pernyataan itu membuat Anika terkejut bukan main. "Kamu bercanda?!"
"Nggak, gue serius."
"Tapi.. Tapi kenapa?" Anika tidak habis pikir dengan Baskara. "Apa yang salah dari Nachel? Dia baik, Bas, saya yang baru kenal aja bisa merasakan itu. Kamu ini kalau ada masalah nggak bisa gitu obrolin baik-baik dulu sama Nachel? Jangan main ambil keputusan dengan putus gitu aja dong, Bas! Kasihan kan Nachel, kalo dia-"
"Eh, ini gue yang putus kenapa lo yang kesannya nggak rela, sih?" Baskara tersenyum geli menatap Anika. "Gue putus bukan tanpa alasan, An. Kalo gue nggak punya alasan, gue nggak bakalan putus sama Nachel."
"Ya apa alasannya, Bas? Gila kalau kamu masih nyari kekurangan Nachel yang bahkan udah nyaris sempurna gitu."
"Lo bener. Nachel nyaris sempurna, dan gue nggak bisa mengimbangi dia," ujar Baskara. "Hubungan gue sama Nachel itu, sebenernya nggak kayak yang lo tau, An. Kalo lo mau tau, Nachel punya pacar lain sebenernya, dan hubungan mereka udah berlangsung selama setahun belakangan ini. Mungkin kedengarannya gila ketika gue sebagai pacar setuju-setuju aja Nachel menduakan gue, cuma emang, gue rasa itu haknya Nachel, An, dia punya pilihan."
"Tapi, Bas, kamu gimana?"
"Gimana apanya? Gue baik-baik aja."
Anika masih tidak mengerti dengan perkataan Baskara. "Saya bener-bener nggak ngerti. Hubungan macam apa yang dijalin sama kamu dan Nachel, dan ketika pasangannya selingkuh, kamu keliatan fine-fine aja. Saya bahkan nggak bisa mempercayai itu."
Baskara melirik penjual nasi goreng yang sepertinya masih sedang melayani orang lain. Mungkin waktunua cukup dipakai Baskara untuk menyeritakan keseluruhan hubungannya dengan Nachel kepada Anika agar Anika dapat mengerti dengan jelas.
"Oke, mungkin ini akan lumayan panjang, Anika, lo akan gue ajak masuk ke dunia gue," Baskara melirik Anika dengan serius. "Dan gue pastiin lo nggak akan bisa keluar lagi."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE [LENGKAP]
Fiksi RemajaHidup adalah sebuah pilihan. Tiap hal selalu saja dihadapi dengan pilihan. Sekalipun itu mengenai cinta. Kadang kala, kita tak bisa memilih untuk bersama orang yang teramat kita cintai bukan karena perasaan itu sudah tidak ada lagi. Tapi karena...