40

368 49 5
                                    

"Lo siap, kan?" tanya Jarvis di sebelah tubuh seseorang yang baru saja selesai mempersiapkan sebuah kamera untuk membuat rekaman video. 

Nachel yang berada di depan kamera mengangguk pelan. "Gue siap."

"Ok," Jarvis mengambil aba-aba kepada sang juru kamera untuk memulai. "Satu, dua, tiga, mulai."

Kamera video telah dinyalakan. Nachel telah bersiap untuk angkat suara mengenai kehamilannya yang akan diceritakan melalui media video.

"Gue Nachelda Shendrina. Di sini gue ingin mengakui sesuatu. Mungkin setelah gue mengakui hal ini, akan banyak sekali orang yang membenci gue.  Tapi gue udah bertekad untuk membuat pengakuan ini karena gue mau menuntut sebuah keadilan," Nachel menarik napas panjang, semakin mempersiapkan diri untuk berkata jujur. "Gue hamil. Gue hamil anak Adrian Pangestu yang merupakan direktur dari sebuah brand terkenal. Gue menjalin hubungan sama dia udah setengah tahun. Ketika... Ketika gue hamil dan bilang hal ini sama dia.. Adrian nggak mau mempertanggung jawabkannya. Adrian lari dari tanggung jawab. Itu kenapa sekarang gue ada di sini berusaha memberanikan diri untuk mengakatan hal yang sebenarnya aib kepada publik. Gue mau.. Gue mau anak ini diakui sama ayahnya. Gue melakukan ini karena gue nggak mau anak gue harus lahir tanpa ayah."

Nachel melirik Jarvis yang berada di sebelah seseorang yang memegang kamera, lalu Jarvis mengangguk sebagai pertanda kalau Nachel boleh melanjutkannya. 

"Dan buat lo Adrian. Kalo lo lihat video ini nanti, lo nggak bisa menyangkal lagi sama semuanya. Ini anak lo, lo harus mengakuinya dan mempertanggung jawabkannya," Nachel melirik Jarvis lalu mengangguk-angguk kepalanya, sebagai isyarat dia telah usai berbicara. 

Seseorang yang dibayar Jarvis untuk menjadi juru kamera kini mematikan kameranya dan izin pamit keluar dari kamar Nachel untuk memindahkan videonya dari kamera ke laptop yang kemudian akan dipublikasikan melalui akun instagram milik Nachel.

"Lo nggak apa-apa, 'kan?" tanya Jarvis sambil duduk di tepi kasur, di sebelah Nachel yang sedang mengusap wajahnya. 

Nachel menoleh, lalu menggeleng kecil.  "Gue nggak apa-apa."

"Perut lo semakin besar," Jarvis melirik perut Nachel. "Apa berat, Chel?" tanya Jarvis agak ragu. 

Nachel mengangguk. "Ya... Lumayan."

"Kalo ada apa-apa, bilang gue, jangan diem aja ya. Gue nggak mau kandungan lo sampai kenapa-napa," ujar Jarvis dengan lembut. 

Nachel tak menanggapi karena gadis itu kini mengalihkan wajahnya. Nachel tak boleh merasa terlena dengan suara lembut Jarvis. Lelaki itu sudah terus terang menolaknya. Akan semakin sulit kalau perasaan Nachel nantinya justru bertambah besar untuk Jarvis. 

"By the way, Baskara apa kabar?" tanya Nachel saat tadi sudah berusaha penuh untuk mengendalikan perasaannya. "Udah lama gue nggak ketemu dia dan ngobrol sama dia karena lo ngurung gue di sini. Lo bahkan nggak membiarkan gue untuk tau nomor dia. Jujur, gue kangen banget sama Baskara, Vis. Gue—"

"Stop it," Jarvis menoleh dengan wajah kesal. "Denger, Baskara nggak milih lo, dia milih Anika. Jadi gue nggak bisa bawa lo ketemu dia. Gue nggak mau Anika kelak akan salah paham seperti dulu lagi."

"Anika udah tau posisi gue saat ini gimana, Vis. Dia pasti lebih mengerti."

"Lo budek? Gue bilang nggak ya nggak!"

Nachel menggeram kesal. "Lo bisa nggak sih ngertiin gue? Sekali aja! Gue tuh cuma mau ketemu Baskara sebentar aja! Apa lo nggak bisa—"

"Nggak," Jarvis menggeleng dengan tegas. "Lo bilang, lo mau dingertiin? Lo bisa nggak ngertiin gue juga? Ngertiin gue yang harus relain perasaan gue ke Anika buat Baskara! Gue nggak mau Baskara udah menang milikin Anika dan sekarang dia bisa di dekat lo juga! Gue nggak mau!"

CHOICE [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang