37

355 56 13
                                    

Ketika bel pulang sekolah terdengar, semua murid di kelas dengan sigap merapikan buku serta peralatan tulis lainnya dan lekas memasukannya ke dalam tas.

Ketua kelas mulai menyiapkan seluruh murid di kelas untuk tertib, kemudian membaca doa sesuai agama masing-masing dalam hati.

Jarvis meraih tasnya, lalu menyampirkannya di bahu, baru saja bersiap untuk keluar kelas, tetapi Anika tiba-tiba menyapanya.

"Jarvis," panggil Anika.

Jarvis menghentikan langkahnya tanpa berbalik badan.

"Baskara mau ngomong sama lo katanya," ucap Anika dengan nada ragu.

"Ada apa?" Jarvis akhirnya menoleh ke belakang.

"Soal Nachel..."

"Gue pikir, masalah Nachel udah nggak lagi perlu dibicarain. Semuanya udah gue urus."

"Vis, tapi apa salahnya kalau Baskara mau ngomong sama lo sih? Lagi pula, Nachel jauh lebih dekat sama Baskara, lo bahkan kenal dia baru banget, harusnya lo biarin Baskara ngomong sama lo. Barang kali Baskara bisa bantu lo sesuatu."

"Nggak."

"Vis..." Anika menghela napas panjang, berusaha membujuk Jarvis. "Gimana pun, Nachel sebenarnya adalah beban Baskara, tapi sekarang lo alihkan beban itu ke lo. Dengerin Baskara dulu, Vis, barang kali dia bisa ringanin beban ini."

Jarvis menatap Anika dengan alis bertautan serta dahi yang mengkerut. Raut wajahnya kentara sekali sedang menunjukan kalau Jarvis tengah merasa emosi. "Gue bilang nggak perlu ya nggak perlu! Bisa nggak lo, nggak usah maksa?!"

Anika tersentak karena ini pertama kalinya Jarvis berbicara dengan nada tinggi dan raut wajahnya tampak marah sekali seperti ini.

Tiba-tiba saja Baskara datang dan meraih tangan Anika agar berdiri menjauh dari Jarvis. "Bisa nggak lo nggak usah kasar sama Anika?!" Baskara balas menatap Jarvis dengan sengit.

Jarvis menaikkan sebelah alisnya. Menatap Anika sejenak sebelum akhirnya melirik Baskara. "Lo berharap gue untuk bicara gimana sama Anika? Bicara lembut?" Jarvis menggeleng-gelengkan kepalanya, raut wajahnya berubah geli, lalu disusul suara decakan pelan. "Gue, nggak akan mau bersikap atau bicara dengan lembut lagi, sama cewek orang. Gue cukup tau diri untuk itu."

"Kalo lo cinta Anika, kenapa lo bersikap sok pahlawan dengan mau nolongin Nachel segala? Lo pengen dianggep bener-bener layaknya super hero di mata Anika?" gertak Baskara dengan rahang mengeras.

Jarvis terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya untuk beberapa saat sebelum kembali menatap Baskara dengan senyuman miring. "Dari awal, gue selalu berusaha jadi pahlawan buat Anika. Tapi Anika nggak pernah liat gue. Yang dia liat satu-satunya cuma lo. Dan lo masih bilang gue pengen dianggap layaknya super hero di mata Anika?" Jarvis menggeleng. "Gue rasa, percakapan kita cukup sampai di sini. Sekali lagi gue bilang sama lo, Baskara, perkara Nachel, dia jadi tanggungan gue sekarang. Gue nggak mau lo ikut campur ke dalam tanggung jawab milik gue," Jarvis berlalu begitu saja sesudahnya dari hadapan Anika dan Baskara.

Baskara yang melihat Jarvis berlalu langsung menggeram jengkel. "VIS! WOI! VIS! DAMN IT, YOU!"

"Bas.. Bas, udah, ya?" Anika mengusap lengan Anika. "Mungkin Jarvis lagi sensitif sekarang. Aku pikir, nggak apa untuk saat ini kamu percayakan Nachel ke dia. Aku yakin Jarvis bisa menjaga Nachel dan calon bayinya dengan baik."

"An, Nachel itu orang yang cukup bawel dan manja banget. Kamu tau sendiri Jarvis tipikal orang yang kayak gimana. Aku cuma nggak mau Nachel merasa tertekan. Aku nggak mau calon bayi Nachel kenapa-napa."

CHOICE [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang