35

443 59 14
                                    

Keesokan harinya, bertepatan pada hari minggu, Jarvis mengajak Anika untuk bertemu di sebuah kafe. Saat Anika sudah datang, Anika merasa heran karena ada Baskara dan Nachel juga di sana, duduk bersama dengan Jarvis yang sedang memainkan ponselnya.

Anika melangkah ragu untuk mendekati meja mereka, lalu menyentuh bahu Jarvis. "Lo bilang, lo mau ketemu gue. Ini kenapa ada mereka segala di sini?"

"Duduk," suruh Jarvis sambil melirik Anika sekilas.

"Vis, tapi-"

"Duduk," ulang Jarvis. Kali ini matanya menatap Anika dengan serius.

"O-oke," pada akhirnya Anika menurut, lalu duduk bersebelahan dengan Jarvis.

Nachel dan Baskara masih belum buka suara. Sedangkan Jarvis masih asik dengan ponsel di tangannya karena sedang mengunduh beberapa game.

"Vis..." panggil Anika dengan berbisik, merasa sangat canggung. "Ini ada apaan, sih? Mereka nggak sengaja gabung ke meja kita, atau emang lo yang ngajak mereka?"

Jarvis menarik napas, lalu menoleh ke Anika. "Gue yang ngajak mereka."

"Mau ngapain?" tanya Anika merasa bingung.

"Ada yang harus mereka jelasin," ucap Jarvis.

"Jelasin apa lagi? Semua udah jelas, gue juga lagi berusaha ikhlas. Lo nggak usah aneh-aneh deh, Vis," Anika berdecak, tampak tidak senang dengan sesuatu yang sepertinya telah direncanakan oleh Jarvis.

"Bukan gue yang harus ngomong," Jarvis menunjuk Baskara dan Nachel dengan dagunya. "Tapi mereka."

Baskara menarik napas panjang, lalu meraih tangan Anika. "Gue mau minta maaf."

Anika menoleh, lalu melirik tangannya yang Baskara pegang. "Soal lo sama Nachel? Astaga, Bas. Gue udah kasih tau sama lo kemarin, 'kan? Gue udah maafin lo. Gue tau emang kenyataan ini berat banget buat gue terima, tapi-"

"Ini bukan anaknya Baskara," Nachel akhirnya angkat suara.

"Hah? Maksud lo?" Anika melebarkan matanya. Merasa terkejut sekaligus sangat bingung.

"Gue udah bohong sama lo. Gue bukan hamil anak Baskara, tapi ini anak pacar gue. Baskara lelaki yang baik, dia sama sekali nggak pernah menyentuh gue," Nachel berkata jujur meskipun hati kecilnya merasa takut kalau usaha Jarvis untuk membuat Adrian bertanggung jawab tidak berhasil.

Anika mengerutkan dahinya, merasa tidak menyangka. "Terus kenapa lo bohong sama gue? Baskara juga nggak mengatakan yang sebenernya ke gue."

"Gue terpaksa melakukan kebohongan ini karena... Karena gue nggak mau nanggung aib ini sendirian, An. Gue tau gue orang yang teramat egois di sini. Cuma... Sebagai seorang perempuan yang kelak akan jadi ibu, gimana perasaan lo ketika seandainya nanti anak lo lahir tanpa sosok figur seorang ayah?" tanya Nachel dengan suara bergetar.

"Itu nggak akan terjadi. Cewek kayak Anika, nggak mungkin melakukan hal tolol kayak lo, Nachelda," Jarvis menyahut enteng sedangkan Nachel meliriknya dengan mata yang basah tapi raut wajahnya berubah marah.

"Vis..." tegur Anika, lalu melirik Baskara. "Kenapa lo nggak jujur sama gue Bas dari awal? Kan kita bisa pikirin jalan keluarnya sama-sama. Kebohongan lo bikin stigma gue buruk ke lo, tau?"

Baskara mengangguk. "Gue cuma nggak mau, seandainya gue memang tetap akan harus putus sama lo karena gue mau nolongin Nachel, lo masih sayang sama gue," Baskara membuang napas kasar. "Gue mau lo benci sama gue, supaya lo lebih mudah untuk lupain gue, An."

Anika terkekeh mata berair. Anika masih tak menyangka dengan semua hal ini. "Bahkan ketika gue benci lo sekalipun, perasaan gue ke lo nggak pernah berubah sedikitpun, Bas."

CHOICE [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang