Baskara menghadang langkah Jarvis yang baru saja keluar dari toilet sekolah. Tapi Jarvis sama sekali tak mempedulikannya, Jarvis seolah bersikap tidak ada siapa-siapa di hadapannya kini.
"Jauhin Anika!" Baskara berkata geram sambil menilik mata Jarvis dengan tatapan permusuhan.
Jarvis tersenyum meledek melihat Baskara. "Kenapa gue harus?"
"Dia pacar gue! Harus berapa kali gue tekanin sama lo, sialan?!"
"Tau," Jarvis mengangguk dengan wajah tenang. "Masalahnya dimana?"
Baskara mengetatkan rahangnya. Menghadapi seseorang dengan wajah tembok seperti Jarvis memang benar-benar menguras kesabarannya.
"Kalo lo berantem sama Anika sekarang, itu bukan salah gue, apalagi Anika. Itu salah lo," tuding Jarvis sambil menghela napas. "Lo bilang lo pacar Anika, tapi sikap lo nggak menunjukan lo benar-benar menyayangi dia. Gue nggak mau tau hubungan lo sama cewek yang entah siapa itu apaan, tapi yang jelas, kedekatan lo sama dia, bikin Anika sakit hati, apalagi lo udah bohong sama dia."
"Anika tau, Nachel cuma sahabat gue!" Baskara menekankan.
Jarvis mengangkat bahu. "Terserah," balasnya cuek. "Oh iya. Satu lagi. Mau lo pacar Anika atau bukan, gue nggak peduli. Gue tetep cinta sama dia."
Jarvis berlalu dengan santai dari hadapan Baskara yang wajahnya sedang menegang karena kesal.
Baskara hanya bisa meninju dinding toilet dengan kuat-kuat hingga punggung tangannya memerah. Hatinya seakan begitu panas mendengar perkataan si kurang ajar Jarvis. Hubungan Baskara dan Anika sedang dilanda masalah dan kini Jarvis datang sebagai seseorang yang mempunyai kemungkinan besar untuk merebut Anika darinya.
Kepala Baskara seakan ingin pecah.
Haruskah Baskara menghabisi Jarvis agar tak ada lelaki yang menyukai Anika lagi selain dirinya? Tapi Baskara mana mungkin akan segila itu? Anika pasti semakin membencinya nanti.
Baskara mengacak-acak rambut dengan kasar, lalu menarik napas panjang. Memikirkan cara paling tepat untuk menuntaskan masalah ini segera.
Masalah ini tak boleh membuat dirinya dan Anika menjadi berpisah.
***
"Eh," Jarvis menyenggol lengan Anika yang ketika istirahat tiba bukannya ke kantin atau memakan bekal makanan tapi justru meletakan kepalanya di atas meja sambil memejamkan mata.
"Apa?" balas Anika masih dengan mata terpejam.
"Nggak makan?"
"Nggak bawa bekal."
"Kalo nggak bawa bekal, nggak makan?" tanya Jarvis.
"Hmmm."
"Nggak punya duit buat beli makanan di kantin?"
Anika membuka matanya, lalu mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Jarvis. "Punya lah!"
"Ya udah, ayok."
"Kemana?"
Jarvis memutar bola matanya, lalu menarik tangan Anika dengan cepat untuk membawa gadis itu ke kantin.
"Lo tunggu di sini," Jarvis menyuruh Anika duduk dan lelaki itu berlalu untuk membelikannya sebuah makanan.
Tak lama kemudian, Jarvis datang dengan dua piring siomay di kedua tangannya diikuti dengan seseorang yang menenteng dua gelas es teh dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE [LENGKAP]
Novela JuvenilHidup adalah sebuah pilihan. Tiap hal selalu saja dihadapi dengan pilihan. Sekalipun itu mengenai cinta. Kadang kala, kita tak bisa memilih untuk bersama orang yang teramat kita cintai bukan karena perasaan itu sudah tidak ada lagi. Tapi karena...