17

653 87 1
                                    

Hubungan Anika dan Baskara sudah berjalan selama sebulan dan sejauh ini baik-baik saja. Anika merasa begitu bahagia dan masih sulit untuk percaya bahwa Baskara, lelaki yang Anika pikir hanya mimpi baginya itu kini-kini benar nyata jadi miliknya.

Dan soal Nachel, mantan Baskara itu masih berhubungan baik dengan Baskara sampai saat ini. Nachel juga teramat baik dengannya membuat Anika seakan tak lagi punya alasan untuk kesal dengan kedekatan mereka yang terkadang membuat Anika cemburu.

Saat ini, kelas Anika baru saja selesai jam pelajaran seni budaya. Anika diminta guru yang tadi mengajar untuk membawa buku tulis teman-temannya ke ruang guru.

Anika termasuk anak yang rajin di kelas meskipun tidak terlalu pintar. Tentu saja siswi seperti Anika yang lebih banyak disukai oleh guru-guru karena Anika selalu jujur ketika disuruh sesuatu oleh guru-guru. Misalnya membawa buku ke ruang guru, Anika memang langganan membawa buku tersebut karena sebagian besar guru yang mengajar hanya percaya kepada Anika sebab jika meminta tolong dengan yang lain, beberapa di antara mereka pasti ada yang melancong ke kantin alias tidak amanah.

"Sebulan gue sekolah di sini. Lo udah lima belas kali naruh buku ke ruang guru," cibir Jarvis saat Anika sedang menyusun buku-buku temannya di meja. "Lo ini bego atau terlalu baik sih, An?"

"Lo apaan sih, Vis?" Anika melirik Jarvis dengan muka kesal. Memang tidak jarang Jarvis sering kali bicara dengannya begitu sinis seperti saat ini. "Gue ini diminta tolong sama guru, nggak ada alasan untuk gue nggak mau."

"Ada. Kenapa harus lo terus? Satu kelas ada tiga puluh tujuh orang, dan selalu lo," Jarvis mendengus. "Tiga puluh enam orang lainnya ngapain di sini, An?"

"Vis, udahlah," Anika sedang malas berdebat. "Lagian Meylanie juga suka bantu gue kok sesekali."

"Tapi judulnya adalah lo yang selalu disuruh, An, bukan Meylanie."

"Terserah lo, Vis, gue males ribut," Anika memilih mengabaikan Jarvis dan berlalu dari kelas sambil membawa buku-buku teman sekelasnya.

Siapa sangka Jarvis ternyata menyusul Anika. Jarvis tiba-tiba mengambil alih buku-buku tulis yang Anika bawa dan menggantinya dengan buku tulis miliknya saja.

"Vis, lo ngapain sih?!" Anika melirik Jarvis dengan tatapan tak mengerti. "Aduh, please ya, Vis, itu buku-buku tanggung jawab gue. Kalo lo-"

Jarvis melirik Anika dengan tajam. "Lo bisa diem?"

"Gimana bisa diem orang lo aja aneh!" Anika mulai kesal. "Udah sini balikin buku-bukunya! Gue nggak mau dinilai nggak amanah karena nggak bawa buku yang harusnya gue yang bawa, Vis, bukan lo!"

Jarvis berdecak. Dia menunjuk buku miliknya yang sedang Anika pegang. "Lo bawa buku tulis gue. Itu sama aja lo udah ngelaksanin amanah buat lo, Anika," ujar Jarvis.

"Ta-tapi-"

Jarvis tidak menanggapi. Cowok itu justru berjalan cepat menjauhi Anika karena terkesan malas untuk mendengar Anika yang terus saja protes.

Anika buru-buru menyusul Jarvis untuk melangkah ke ruang guru. Saat sampai di depan ruang guru, Anika hendak mengambil keseluruhan buku itu tapi Jarvis melarangnya.

"Lo tunggu di sini," ujar Jarvis sambil mengambil buku tulisnya dari tangan Anika. "Tenang aja, gurunya nggak ada di ruang guru. Tadi gue liat dia keluar, lo akan tetap amanah."

"Ya udah," Anika tidak paham mengapa Jarvis bersikap seperti ini dengannya tapi Anika berusaha tersenyum dan mengalahkan rasa insecure yang Anika miliki sebagai ungkapan terima kasih. "Thanks, Jarvis."

Jarvis tak menanggapi. Cowok itu melenggang cuek ke dalam ruang guru dengan menenteng buku-buku tulis tersebut.

Anika akan menunggu Jarvis karena tidak mungkin meninggalkan cowok itu padahal dia sudah berbaik hati dengannya. Tapi Anika tidak akan menunggu di depan ruang guru karena merasa tidak enak jika nanti ada yang bertanya, Anika berjalan di koridor dan memilih untuk duduk di bangku panjang yang berada di sepanjang koridor.

CHOICE [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang