Anika melebarkan matanya ketika melihat Jarvis masuk ke dalam kelas dengan wajah yang babak belur. Tidak hanya Anika, teman-teman yang lain juga ikut keheranan dan bertanya pada Jarvis. Tapi tidak satu katapun keluar dari bibir Jarvis, cowok itu dengan begitu cuek duduk di sebelah Anika tanpa memperdulikan pertanyaan teman-temannya.
Anika menoleh saat Jarvis sudah duduk di sampingnya. "Muka lo kenapa?"
Jarvis melirik dingin. "Lo nggak ada pertanyaan yang lain? Lo orang kesekian yang nanya, dan gue males banget dengernya."
"Wajar kali semua orang nanya. Orang aneh banget tiba-tiba lo dateng, muka lo udah bonyok gitu."
"Berarti orang pada nanya cuma karena kepo doang kan?" tanya Jarvis.
"Ya, cuma kan—"
"Apa?" Jarvis menaikkan sebelah alisnya. "Lo nanya ke gue, karena lo peduli? Kan nggak mungkin."
"Kenapa nggak mungkin? Kita kan temenan."
"Temen?" Jarvis terkekeh sinis. "Lo nggak pernah gue anggap teman, Anika."
"Lah, terus?"
"Lebih dari itu."
"Sodara maksudnya?" Anika tergelak mendengarnya. "Gue nggak mau ya punya sodara kayak lo. Males banget."
Jarvis tidak lagi menanggapi. Cowok itu membuka buku tulisnya dan asik mengerjakan tugas rumah yang memang belum dikerjakannya. Jarvis memang sering seperti itu. Biarpun tidak mengerjakan tugas di rumah, Jarvis tidak pernah menanyakan jawabannya dengan orang lain. Tidak perlu ditanya lagi soal otak Jarvis, laki-laki itu memang begitu pintar.
Anika tidak menoleh ke arah Jarvis lagi karena kini Anika sedang mengambil ponselnya. Ada pesan yang masuk, dari guru pelajaran biologi yang meminta Anika ke ruang guru untuk membantunya membawakan buku-buku tulis teman sekelasnya.
Saat Anika berdiri, Meylanie menyahut dari kursinya. "Mau ketemuan sama Baskara ya, An?" goda Meylanie. Dan Jarvis mengangkat kepalanya ketika mendengarnya kemudian melirik Anika.
"Bukan. Mau ngambil buku tulis," jawab Anika.
"Oh, ngambil buku tulis," Meylanie manggut-manggut. "Iya-iya, percaya kok."
"Terserah lo, Mey," Anika berlalu dari kelas.
Saat melihat Anika sudah berlalu, Meylanie segera bangkit dari meja yang ditempatinya untuk menghampiri Jarvis karena ada hal yang ingin Meylanie tanyakan.
"Vis," panggil Meylanie.
"Hm?"
"Lo tadi malem ke apartmen Kak Baskara?"
Jarvis yang masih menulis di buku mengangguk. "Iya."
"Tadi pas baru dateng ke sekolah, di bawah gue ketemu sama Kak Baskara. Muka dia sama kayak lo, babak-belur," ujar Meylanie dengan penuh rasa curiga. "Vis, jangan bilang, lo sama Kak Bas—"
"Iya," Jarvis memotong.
"Astaga. Lo berantem gara-gara Baskara ngebatalin janji sama Anika buat nonton?" Meylanie kaget.
"Karena kemarin pas gue mau nonton sama Anika, gue lihat Baskara jalan sama cewek ke toko baju," Jarvis menarik napas sejenak. "Anika nangis,, Mey, gue nggak bisa lihat itu. Gue nggak terima Anika sedih," Jarvis melirik Meylanie.
"Vis, tapikan lo bisa bicarain baik-baik sama Kak Baskara. Nggak gini caranya," Meylanie menasehati.
"Baskara yang mukul gue duluan," ungkap Jarvis jujur. "Baskara mukul gue karena.. karena gue ngaku kalo gue suka sama Anika."

KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE [LENGKAP]
Fiksi RemajaHidup adalah sebuah pilihan. Tiap hal selalu saja dihadapi dengan pilihan. Sekalipun itu mengenai cinta. Kadang kala, kita tak bisa memilih untuk bersama orang yang teramat kita cintai bukan karena perasaan itu sudah tidak ada lagi. Tapi karena...