39

390 49 14
                                    

"Baik anak-anak, hari ini ada ulangan harian, bukan?" tanya guru fisika secara mendadak. Tentu saja sebagian murid di kelas serempak menggeleng sambil protes. Kecuali beberapa anak-anak paling cerdas termasuk Jarvis yang tampak santai karena tidak masalah harus ulangan kapan pun.

"Enggak, Bu, mana ada? Ibu nggak pernah bilang sama kami kok."

"Kita-kita belum pada belajar, Bu, mending diundur aja jadi minggu depan."

"Kami nggak siap kalau ulangan sekarang, Bu."

Begitulah contoh protes dari anak-anak yang tidak terima kalau hari ini ada ulangan harian mendadak.

"Baik kalau kalian tidak siap, maka ulangan harian akan diundur," ujar guru fisika membuat hampir sebagian murid di kelas merasa senang bukan main. Mereka bahkan bersorak girang karena terselamatkan dari ujian fisika mendadak.

Tapi, tiba-tiba saja sang guru fisika tertawa. "Iya, diundur dua puluh menit, waktunya kalian pakai untuk belajar. Oke?" saat sebagian murid di kelas tampak tak terima, sang guru fisika lebih dulu angkat bicara. "Ibu nggak menerima protes. Yang tidak mau ulangan harian sekarang, bisa keluar kelas. Tapi ingat, ulangan-ulangan selanjutnya tidak diperbolehkan untuk ikut lagi. Kalian paham?"

Maka sangat dengan terpaksa, mereka mengangguk lesu. "Paham, Bu..."

"Selamat belajar anak-anak. Ingat, belajar! Bukan bikin kertas contekan!" peringat guru fisika dengan tatapan tajam.

"Iya, Bu..."

Guru fisika duduk di kursinya sambil mempersiapkan soal-soal yang nanti akan diberikan kepada murid-murid di kelas.

"Lo udah belajar, Vis?" tanya Rizky, teman sebangku Jarvis yang mulai panik dan tampak ketar-ketir dengan membuat contekan di kulit betisnya yang tidak akan ketahuan karena celana abu-abunya panjang.

Jarvis menguap pelan, tampak agak mengantuk. "Belom. Materinya apaan emang?"

"Ini nih," Rizky menunjuk halaman di buku paket fisika.

"Oh. Udah tau gue itu mah," Jarvis mengangguk santai.

"Berarti lo belajar dong?"

"Belajar lah pas minggu kemarin diajarin sama gurunya."

"Lah njirt, itu minggu kemaren, lo kagak lupa?"

Jarvis menggeleng. "Nggak. Dah ye, mau tidur dulu, ngantuk. Lumayan dua puluh menit, ntar kalo udah mau mulai ulangan bangunin gue," Jarvis menepuk bahu Rizky pelan sebelum menaruh kepalanya di atas tangannya yang terlipat di atas meja.

"Buset, Vis, lo pas pembagian kepintaran maruk kali ya dulu? Otak lo mantep banget dah buat nyerep materi. Gila gila gila. Udah kaya raya, tampang oke, pinter keterlaluan. Lo kalo mau cewek, asal tunjuk juga jadi. Mau ganti tiap hari juga bisa lo, Vis," gumam Rizky merasa iri betul dengan sosok Jarvis yang begitu sempurna di matanya.

Jarvis yang masih mendengar ucapan Rizky, tiba-tiba menendang betis Rizky dari bawah meja.

"Sakit, Vis! Gila lo, ya?!" keluh Rizky sambil mengusap betisnya.

"Ucapan lo bikin gue merinding!"

"Merinding apaan? Gue 'kan cuma ngomong apa adanya, bro!"

"Lo muji gue seakan-akan lo naksir gue," Jarvis mengangkat kepalanya, lalu jari telunjuknya mengarah ke Anika yang berada agak jauh di depannya. "Lo tau satu-satunya pujian yang pengen gue denger, cuma dari dia," ucap Jarvis dan kembali ke posisinya semula untuk tertidur.

"Anika maksud lo?" Rizky lelaki tulen yang tidak suka bergosip, wajar saja jika Rizky yang satu bangku dengan Jarvis tidak tahu-menahu kalau Jarvis ternyata selama ini menaruh hati pada Anika. "Eh, lo beneran naksir, Anika? Woi!"

CHOICE [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang