31

470 80 2
                                    

"Bisa?" tanya Jarvis yang kini sudah kembali duduk dengan Anika.

Anika tidak merespon ucapannya. Gadis itu tampak termenung, menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong sambil menopang dagunya.

"Eh!" Jarvis berdecak, lalu menyenggol sebelah tangan Anika yang sedang menopang dagunya hingga gadis itu tersentak.

"Ap-apa?!" balas Anika dengan mata melebar karena kaget.

Jarvis mendengus jengkel. "Lo denger gue nggak sih dari tadi?"

Anika meringis. "De-denger, kok."

"Kalo gitu, sini buku lo gue liat!" Jarvis menarik buku tulis matematika Anika, tapi gadis itu menahannya dengan cepat.

"Nan-nanti dulu, Vis, belum selesai!"

Alis Jarvis naik sebelah. "Belom?" Jarvis berdecak sambil menggelengkan kepala, Anika sepertinya tidak mendengarkan sama sekali apa yang diajarkannya. "Gue dari tadi ngomong sampe berbusa lo nggak dengerin ternyata?" ucap Jarvis hiperbola.

Anika menunduk, lalu mulai melirik buku tulisnya. "Maaf, Vis," ujarnya pelan, lalu mulai berusaha mengerjakan soal matematikanya.

Jarvis menyandarkan punggungnya pada bangku, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Jarvis sengaja membiarkan Anika kini mengerjakannya sendiri.

Hari ini, guru matematika tidak mengajar sampai selesai karena katanya ada keperluan mendadak hingga banyak murid di kelas yang saling mencontek sana-sini. Sebagai murid dengan otak yang cemerlang, Jarvis tentu dimintai jawaban oleh teman-temannya, tapi Jarvis menolaknya. Bahkan ada juga yang minta setidaknya diajari, tapi Jarvis juga tidak mau. Lelaki itu mengakatan:

"Gue cuma maunya ngajarin Anika."

Tentu hal itu membuat teman-teman sekelas Anika, bertanya-tanya mengapa Jarvis tampak peduli dengan Anika hingga ada salah satu murid yang bertanya pada akhirnya.

"Lo suka sama Anika?"

"Kalo pun iya, apa gue punya keharusan untuk menjawab pertanyaan lo?"

Dari kalimat yang Jarvis ajukan saja sudah jadi pernyataan yang kuat bahwa Jarvis memang menyukai Anika. Mungkin murid lelaki di kelas tampak tidak peduli dengan pernyataan tersebut mengingat Anika bukanlah gadis cantik yang populer hingga digandrungi banyak lelaki di kelas ataupun di sekolahnya. Lain halnya dengan murid perempuan yang merasa begitu iri dengan Anika. Baskara berpacaran dengan Anika saja sudah membuat satu sekolah tak percaya, ditambah lagi Jarvis, seorang Tuan Muda kaya raya nan cerdas itu ikut jatuh hati juga dengan Anika.

Anika seolah benar-benar mendapatkan nasib yang menyenangkan, begitu pikir orang-orang yang melihat Anika sekarang tanpa tahu kalau Anika sedang merana karena Baskara telah mengkhianati perasaannya.

Jarvis bisa melihat kalau Anika mulai mengeluh dengan pelan saat gadis itu tampak kesulitan mengerjakan soalnya.

Karena kepalanya benar-benar sudah tidak bisa membantu Anika untuk berpikir, Anika memutuskan menoleh ke arah Meylanie, mengabaikan Jarvis yang sedari tadi meliriknya.

"Mey, ini lo bisa nggak sih nomor tiga? Asli deh gue udah buntu banget buat mikir!" keluh Anika.

Meylanie menggeleng, "Aduh, gue juga lagi nyari, An, lo nomor lima udah belum?"

Anika menggeleng. "Boro-boro. Gue baru kelar satu nomor doang, nomor dua, yang lain bingung semua gue."

"Itu, lo tanya atau nggak minta diajarin sama Bagas coba," saran Meylanie. Sebelum kehadiran Jarvis di kelas, Bagas adalah seseorang terpintar di kelas ini, tapi saat Jarvis tiba, julukan top global tak lagi jatuh untuk Bagas melainkan diberikan kepada Jarvis karena bukan rahasia lagi kalau Jarvis begitu cepat dalam menyerap pelajaran. Bahkan pernah ada guru yang mengatakan kalau harusnya Jarvis bisa langsung lompat kelas ke kelas dua belas jika Jarvis menginginkan, tapi Jarvis menolak usulan gurunya waktu itu.

CHOICE [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang