Adu, maaf bgt baru update sekarang, aku lupa blm update ini wkwkwk :')
Happy reading all!
***
"Hyebin-ah!"
Aku mengernyit heran begitu Jimin masuk ke dalam kelas dengan wajah sumringah.
"Kenapa kau, kesurupan?" Karena tidak biasanya berandalan itu menunjukkan senyum cerah dengan wajah segembira ini di pagi hari.
"Eomma pergi."
"Apa? Ny. Park—m-maksudmu?" Aku membulatkan mata mendengarnya. "Ya Park Jimin, aku tahu kau sangat membencinya tapi jika dia m-meninggal, kau tidak bisa segembira ini. Kau tampak seperti psikopat." Ujarku takut sendiri.
"Psikopat?" Jimin mengangkat sebelah alisnya. Tampak tidak mengerti dengan celotehanku barusan.
"Kau tidak mengerti? Astaga, Ny. Park pergi maksudmu ke alam sana kan? Kau seharusnya berduka, bukan tersenyum." Jelasku lagi, melihat Jimin cermat seperti menyuruh anak kecil berbela sungkawa.
Namun tiba-tiba saja Jimin menarikku keluar dari kelas hingga aku nyaris memekik. Ia membawaku ke atap tanpa alasan. Tunggu, apa dibalik wajah senangnya itu dia amat sangat terpukul dan memutuskan untuk bunuh diri sebagai aku saksinya?
Tidak, ini tidak benar. Bagaimana pun aku tidak mau terlibat kasus bunuh diri.
"Kau tidak akan menyuruhku menjadi saksi kematianmu kan?"
Jimim tersenyum manis dan tanpa sadar menyudutkanku ke dinding. Ia memiringkan kepalanya, seperti menungguku berbicara lagi.
"Oke, dengarkan. Aku tahu dibalik senyummu itu kau depresi. Tapi Ny. Park hanya pergi ke alam berbeda. Kau bisa menemuinya lewat mimpi. Jadi jangan membuat keputusan gegabah dan membuatku ikut terjerat, ya?"
Jimin mengangguk. Namun dia masih saja diam. Oh Tuhan, apa dia masih waras?
"Ngomong-ngomong, bisa kau ceritakan kenapa Ny. Park bisa pergi?"
"Kau bilang karena Jungkook."
J-Jungkook?
Aku terdiam. Berusaha menganalisa apa hubungan Jungkook dengan—tunggu! Jangan bilang … Jeon Jungkooklah penyebab Ny. Park pergi karena dendamnya dua tahun lalu?
"Ja—"
Cup!
Mataku membulat begitu tiba-tiba saja Jimin mengecup bibirku. Ia terkekeh dan mengacak suraiku gemas.
"Presepsimu mengerikan sekali sih, Hye. Aku tidak menyangka kau teramat sangat membenci ibuku sampai mengharapkannya pergi."
"A-apa?" Dahiku mengernyit tak mengerti.
"Bodoh." Ia menekan dahiku dengan tangannya. "Apa kau lupa rencana yang kau katakan sendiri? Ibuku pergi, maksudnya adalah perjalanan bisnis. Dan Jungkook yang membuat perjalanan itu terjadi."
Jadi bukan pergi … yang—
Menyadari kesalahanku, aku menutup mata malu dan mendesah kesal. "Kenapa tidak mengatakannya dari tadi?"
"Kau sibuk menasehatiku sampai salah sangka. Lagipula lucu melihatmu khawatir seperti itu."
Aku berdecak namun juga menghela nafas lega. Setidaknya, presepsiku tidak nyata dan tentunya Jimin bukan psikopat.
"Hyebin-ah."
"Ya?"
"Kalau aku menyukaimu, bagaimana?"
Aku terdiam mendengar ucapannya. Hingga tanpa kusadari, badanku meremang dan jantungku berdetak cepat. Shit. Kenapa reaksiku berbeda daripada disaat Jungkook yang mengatakannya?
Aku tidak mungkin menyukai Jimin.
"Jangan bercanda."
"Aku tidak bercanda. Bagaimana jika jantungku selalu berdebar setiap kali bersamamu? Apa itu bisa menjadi tanda bahwa aku menyukaimu?"
Aku speechless. Masalahnya jantungku juga merasakan hal yang sama. Entah kenapa, atomosfir disini menjadi sangat amat panas.
"Apa kau … sedang menyatakan perasaanmu padaku sekarang? Bukan karena kita sedang berpura-pura pacaran?"
Jimin tersenyum. "Sepertinya aku sudah jatuh dalam pesonamu duluan. Aku akui, pesonamu memang tidak main-main. Kali ini, aku benar-benar serius."
"Pesonamu juga." Ucapku pelan. "Dan aku juga serius." Mendadak menjadi tidak berani untuk menatap matanya.
"Apa?"
"Aku juga merasa pesonamu tidak main-main, karena bagaimana pun juga aku sudah kalah dalam permainan ini."
"Apa maksudmu—"
"Aku menyukai, Jim."
Jimin terdiam namun sesaat kemudian tersenyum bahagia. Tidak menyangka bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Dengan sekali tarikan, ia mendekapku dan mencium ku berkali-kali.
Aku menatapnya sayang, tidak menyangka juga akhirnya akan seperti ini. Karena, bukankah ini terlalu cepat? "Saranghaeyo."
"Nado saranghae." Senyumnya manis dan tangannya mengusap suraiku lembut.
Ya, aku harus mengatakan bahwa aku memang sudah kalah dalam permainan ini. Permainan yang awalnya aku anggap konyol dan sepele, akhirnya menjadi dalam dan panjang. Aku kalah telak. Lebih tepatnya, kami kalah telak satu sama lain.
Pesona kami memang tidak main-main, bukan?
•••
"Bagaimana dengan Jungkook?"
Aku mengernyit disaat Jimin mendadak mengangkat topik tentang Jungkook. "Jungkook? Kenapa memangnya?"
"Kukira kau menyukainya karena kalian sangat dekat."
Aku terkekeh. "Bagiku Jungkook itu teman terbaik. Aku menyukainya, tapi hanya sebagai teman. Tidak lebih."
"Kenapa? Maksudku dia itu lebih baik dariku, bahkan bisa dibilang menang jauh jika dibandingkan denganku."
"Karena itu, Jungkook lebih baik kuanggap sebagai teman. Karena dia yang memang terbaik dari antara yang terbaik. Bisa dibilang, dia sahabat pertamaku Jim. Aku menyayanginya tentu saja. Aku tidak mau hubungan kami mendadak berubah dan merusak segalanya. Aku tidak mau kehilangan seorang sahabat."
"Jadi kau menolaknya?"
Aku mengangkat sebelah alis bingung. "Menolaknya? Jungkook bahkan tidak memiliki perasaan apapun padaku."
"Lalu kejadian kantin waktu itu?"
"Kantin?" Aku berusaha mengingat. "Ah, itu hanya bercanda. Lagipula mana mungkin pria seperti dia menyukaiku. Rasanya mustahil."
"Jungkook tidak bercanda Hye. Dia serius mengutarakannya. Bahkan dia yang menyukaimu lebih dulu. Kau tidak sadar alasannya melarangmu untuk ikut campur dalam masalah ku? Itu karena dia tidak ingin gadis yang disukainya terperosok pada lubang yang sama."
Penjelasan Jimin membuatku terdiam seketika. Aku menatapnya terkejut. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu jika Jungkook memiliki perasaan padaku.
"Luruskan ini dengannya Hye. Saat kau menganggap pengakuannya hanya sebagai candaan, hatinya pasti sakit."
Pikiranku berkecamuk. Perasaan bersalah mulai menghantui. Aku harus menemui Jungkook sekarang.
Aku harus meminta maaf kepadanya.
Shit. Kenapa aku tidak peka sih?
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy | PJM ✔
Fanfiction[COMPLETE•Follow first] † "He is a bastard, a fucking idiot, and the sexy one." Namanya Park Jimin. Tampan sih, aku akui. Keren dan juga seksi untuk pria berumur 18 tahun. Tapi menurutku semua keunggulan itu tertutupi oleh sifat bajingannya. Dia ada...