Twenty : Fear

1.2K 148 1
                                    

Maap aku lupa apdett! 😂

Enjoy guyssss.




***




Sudah dua hari sejak kejadian itu berlalu. Selama itu pula, tidak seperti yang bisa kuprediksi sebelumnya, Park Jimin sama sekali tidak menemui atau bahkan berbicara denganku. Dia bersikap seolah-olah kami tidak saling mengenal. Dingin dan menghindari kontak mata. Bahkan dengan Jungkook juga.

Sejujurnya aku tidak terlalu peduli dengan semua itu. Hari ini pun sebenarnya aku terlampau malas untuk berbicara padanya—kesannya seperti aku yang mengejar disini. Heol. Coba kalian pikirkan, karena kejadian itu logikanya pria itu kan yang seharusnya berbicara padaku duluan? Mengklarifikasi atau setidaknya minta maaf karena menciumku tanpa izin?

Harga diriku yang akan hilang jika mengambil langkah lebih dulu. Belum lagi jika pria itu malah mengacuhkanku. Aku juga yang malu.

"Hyebin-ah, setelah pelajaran mau temani aku ke kantin?"

Aku menoleh disaat suara Jeon Jungkook menginterupsi kegiatanku menatap Jimin dengan sejuta pikiran. "Kantin? Tentu saja. Aku kan seorang putri yang siap mengawalmu kapan saja."

Jungkook terkekeh mendengar lelucon garingku. "Kau meniruku sekarang?"

Aku mengangguk, suka sekali melihat wajahnya saat tertawa. Menggemaskan. "Saranghae."

"Apa?"

"I love you."

Melihat wajah polosnya yang tampak bingung dengan ucapanku yang tiba-tiba, giliran aku yang tertawa. "Katanya kau internasional playboy. Masa menahan ungkapan cinta saja tidak bisa?"

Otaknya perlahan mencerna, setelah mengetahui ucapanku tadi hanya kebohongan belaka, dia menjitak kepalaku. "Hampir saja aku terkena serangan jantung."

Aku mendengus lalu mengusap kepala. "Kau juga sering menggodaku dengan hal seperti itu."

"Kan itu aku. Kau tidak boleh."

Aku hanya memutar bola mata mendengarnya. Lebih memilih untuk menatap wajah tampannya lagi.

"Kenapa kau menatapku terus?"

Aku tersenyum. Menumpu tangan seolah pria di hadapanku ini sebuah pemandangan yang tidak boleh kulewatkan. "Selagi kau tidak memiliki pacar, aku ingin melihat wajahmu sampai bosan."

"Kau menembakku sekarang?" Kedua mata bulatnya memicing.

"Tidak. Aku kan hanya bilang ingin melihat wajahmu."

"Benarkah?" Rautnya masih memicing seolah memintaku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Karena memang aku mengatakan hal yang sebenarnya. Aku tidak memiliki perasaan apapun dan murni hanya perasaan sayang sebagai teman. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Jangan menatapku seperti itu, yang ada kau yang malah menyukaiku nanti."







Tanpa kami sadari, sepasang sorot mata tidak suka menatap kami dengan teramat kesal. Ada rasa sakit di hatinya. Terutama disaat aku menatap wajah Jungkook dengan tatapan sayang. Mengagumi.






•••

"Jungkook-ah." Panggilku setelah pria itu selesai membeli makanan untuk dirinya sendiri.

Ia menoleh dan masih asik mengaduk tteokbokki yang mengepul. "Kau yakin tidak mau makan?"

Aku mengangguk. "Aku sudah kenyang. Kau saja yang makan."

Jungkook tersenyum dan menusuk satu buah tteokbokki untuk dimasukan ke dalam mulutnya. "Kau mau mengatakan sesuatu?"

"Hanya, sesuatu … tidak, kau pasti tidak akan suka mendengarnya." Seketika saja aku jadi ragu sendiri ingin bertanya perihal Jimin.

"Ada apa? Tanyakan saja. Aku tidak akan bereaksi, sungguh."

Menghela nafas, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. "Kenapa Jimin menjadi seperti itu?"

Mendengar aku bertanya tentang Jimin, ada rasa tidak suka yang Jungkook sembunyikan. "Aku tidak tahu. Tapi kurasa Hyorim mengadukanmu pada Ny. Park."

"Mengadukanku?"

"Jimin mengatakan padanya kalau kalian berpacaran kan? Aku tidak yakin gadis itu akan diam saja. Hyorim selalu melaporkan tindakan Jimin pada ibunya."

"Tapi kami hanya—"

"Orang-orang tidak akan berpikir seperti itu, Hye. Mereka mendengar segala hal yang mereka anggap benar. Dalam konteks ini, Hyorim pasti percaya kalau kelakuan Jimin padanya memang disebabkan olehmu."

Aku menghela nafas, sebenarnya kesal juga karena berandalan itu selalu melakukan sesuatu dengan seenaknya. "Apa aku akan diteror?"

Jungkook terkekeh. "Mungkin. Tapi menurutku tidak. Jimin mungkin bersikap seperti ini karena ibunya."

"Ibunya? Kenapa?"

"Kau pikir seperti apa Ny. Park saat pertama kali bertemu dengannya?"

"Seseorang yang gila dan sadis?" Jawabku ragu-ragu.

"Lalu saat menghadapi masalah seperti ini apa yang akan seseorang yang gila dan sadis itu lakukan?"

"Mengancam?"

Jungkook mengangguk. "Setiap kali Jimin melanggar aturan atau bahkan ucapannya, ibunya itu pasti akan mengancam dan menghukumnya seperti sekarang ini."

"Tapi Jimin itu anaknya …"

"Kau sendiri mengatakan kalau Ibunya Jimin itu seseorang yang gila dan sadis. Wajar saja jika dia menganggap kekangannya itu sebagai bentuk kasih sayangnya untuk Jimin."

Aku menelan ludah sendiri. Mendadak kasihan saja karena selama ini aku menilai Jimin hanya berdasarkan sifat luarnya saja. Tidak peduli dengan kehidupan yang dia jalani selama ini.

"Lalu ayahnya? Kenapa dia tidak berusaha menghentikan ibu Jimin?"

Jungkook tersenyum tipis. "Ayah Jimin sudah meninggal sejak lama. Kau bisa bayangkan? Ny. Park yang meracuni suaminya sendiri. Dia ingin memiliki semua kekayaan itu untuk dirinya saja. Oleh karena itu, wanita gila itu rela membunuh."

"Psikopat. Dia itu psikopat Jung. Kita harus melaporkannya ke polisi." Mendengar perkataan Jungkook, aku mendadak merasa seperti di sebuah film thriller sekarang. Menakutkan. Orang-orang seperti itu harus dipenjara.

"Daripada melaporkannya ke polisi, lebih baik kau jauhi saja Hyebin-ah."

Aku menatap Jungkook tidak percaya. Mana mungkin dia berpikir untuk mengamati dari jauh saja meski mengetahui Jimin sengsara? "Aku tidak bisa. A-aku … masih memiliki hati nurani."

"Ini bukan tentang hati nurani. Tetapi tentang siapa yang dalam bahaya dan bahaya itu sendiri. Kau tidak boleh masuk terlalu dalam Hye, nyawamu yang akan dipertaruhkan."

Aku menatap Jungkook yang tampaknya menyembunyikan sesuatu. "Kau ingin mengatakan sesuatu padaku?"

Jungkook menggeleng. Menghindari kontak mata. "Aku pernah terlibat dengan semua ini Hyebin-ah. Dan hasilnya tidak baik. Insiden itu tidak boleh terulang, aku tidak mau kau ... hilang. Aku takut."

Kulihat mata bulat itu mulai berkaca-kaca. Aku tidak tahu apa yang Jungkook simpan, tapi aku yakin kejadian itu teramat mengerikan. Bahkan dia sampai takut jika aku, apa katanya? Hilang? Aku tahu ada yang disembunyikan. Ada yang terjadi. Ada yang tidak beres diantara Jimin dan Jungkook.

Aku memajukan diri dan memeluk tubuh kekar itu erat. Menenangkan dan mengelus punggungnya hingga ia balas memeluk tubuhku. Menelan saliva pelan, "Semuanya akan baik-baik saja, Jung. Aku yakin itu."

[]

Konfliknya udah mulai naik ya. 😊

Bad Boy | PJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang