Thirty Two : Lunch

938 143 0
                                    

"Jimin-ah, maaf aku bertemu dengan Hyorim tanpa sepengetahuan dirimu."

Aku meremas kedua tangan bersalah, bahkan tak berani menatap Jimin.

"Kenapa menyembunyikannya dariku?"

Aku menggigit bibir bawahku pelan, "Aku hanya ingin meluruskan semuanya untukmu, sehingga nanti kau hanya tinggal bekerja sama dengan Hyorim." Hela nafasku kasar, "Maaf."

Jimin tersenyum tipis. "Aku akan melakukannya."

"Apa?"

"Aku akan melakukannya jika memang ibuku terbukti bersalah."

Aku menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, entah merasa bersalah atau malah menghangat karena perasaan tulus itu terasa sekali.

"Jimin-ah," Panggilku lalu mengambil tangannya. "Aku akan tetap disisimu. Jika kau tidak sanggup, peluk saja pacarmu yang serampangan ini. Mengerti?"

Jimin tersenyum dan mengusap suraiku pelan. "Terima kasih."

"Oh ya, katanya hari ini kau mau membawaku jalan-jalan?" Tanyaku berusaha mengalihkan topik. Aku tidak mau Jimin memikirkan lebih lanjut dan membuat hatinya sakit.

"Aku mau mengajakmu ke suatu tempat."

"Suatu tempat?" Tanyaku mengangkat sebelah alis.

Jimin mengangguk dan menatapku rahasia. "Suatu tempat yang sangat berarti untukku."

•••

"Ini rumah siapa, Jim?" Aku menengadah melihat lingkungan yang tampak kurang familiar.

Jimin mengajakku ke sebuah lingkungan di dekat Hanam-dong tanpa mengatakan akan membawaku kemana. Nyatanya dia membawaku ke sebuah rumah yang tampak sedikit kusam dan sederhana.

"Aku ingin memperkenalkanmu pada Halmeoni."

"Halmeoni? Kau punya nenek?" Mataku melebar tidak menyangka. Kukira seluruh garis keluarga Jimin berasal dari kelurga konglomerat dan tidak akan menjamah tempat seperti ini. Maksudku, ini cukup sederhana untuk keluarga seperti Jimin.

"Dia adalah ibunya eomma."

"Ibunya ibumu … berarti," Aku terdiam selagi otakku bekerja memahami. "I-ibunya Ny. Park?"

Jimin mengangguk dan tanpa aba-aba menarik tanganku. "Ayo masuk."

"Ya, kau yakin aku boleh kemari?" Bisikku pada Jimin. Menggigit bibir bawahku cemas. Seperti memasuki area terlarang.

"Tenang saja, Halmeoni tidak seperti yang kupikirkan. Dia baik."

Baik?

Aku ragu dengan pemikiran berandalan itu. Baik dalam artiannya, bisa saja jahat dengan artian baik milikku.

"Jim—"

"Jimin-ah, kau datang?"

Ucapanku tak sengaja terpotong begitu pintu mendadak terbuka dan menampilkan sosok wanita tua memakai tongkat yang tersenyum lebar melihat ke arah kami.

"Bagaimana kabarmu?"

Jimin tersenyum begitu manis. "Sangat baik, oh ya halmeoni aku kemari ingin memperkenalkan gadis yang selalu aku bicarakan padamu."

Bad Boy | PJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang