Nine : Eye Contact

1.8K 199 7
                                    

Enjoy! 💜

***

Aku menguap begitu lelah saat Kim Ssaem begitu asik menerangkan materi tanpa melihat siswa-siswanya tidak peduli dengan apa yang pria itu bicarakan.

Diam-diam aku menarik earphone dari dalam tas lalu menghubungkannya dengan handphone. Aku tidak peduli lagi dengan hukuman karena siswa-siswa yang duduk di sekitarku juga melakukannya.

Aku hanya berharap waktu cepat berlalu. Rasanya terlalu membosankan karena sehari-harinya kehidupanku hanya diisi dengan mendengarkan guru berceloteh.

Aku juga sering berpikir, untuk apa manusia diciptakan jika digunakan hanya untuk belajar, menikah, dan akhirnya kembali lagi menjadi abu?

Rasanya sangat tidak adil.

Bukankah juga seorang balita berumur 2 tahun seharusnya menikmati waktunya tertawa dan bermain karena mereka tidak ditimpa masalah?

Lalu kenapa ada orang tua yang malah memasukkan anak-anak mereka ke dalam sekolah untuk belajar dan bahkan dititipkan hanya demi bekerja?

Otak mereka bahkan masih belum berjalan sempurna. Apa yang harus mereka pelajari jika akhirnya 10 tahun kemudian akan dilupakan juga?

Menyadari pemikiranku yang mulai melantur keluar jalur, aku menghela nafas dan memutuskan untuk mencuci muka. Berharap mendapat penyegaran diri.

Daripada memikirkan para balita itu, lebih baik aku memikirkan cara agar aku tidak mengantuk saat pelajaran selanjutnya.

"Ssaem." Panggilku setelah melepas earphone. "Boleh aku ke toilet?"

Kim Ssaem hanya mengangguk dan melanjutkan materi.

Dengan senang hati aku keluar dari kelas dan menikmati udara musim semi. Begitu menyenangkan.

Saat aku berjalan menuju arah toilet, entah kenapa aku melihat siluet seseorang di samping toilet. Lebih tepatnya, di taman belakang sekolah tempat aku dan Jungkook membolos.

Karena penasaran, aku melupakan niatku untuk mencuci muka dan memilih melihat siapa yang membolos sama sepertiku.

Park Jimin?

Aku terdiam melihat berandalan itu sedang asik menyesap rokok dan menyemburkannya ke udara. Asap dari rokok itu dibentuknya menjadi bentuk yang sedemikian rupa.

Sebenarnya aku tidak peduli jika siswa-siswa disini merokok, bahkan tidak tertarik juga karena malas mencari masalah. Apalagi mencampuri urusan si bedebah yang notabene anak dari pemilik sekolah itu. Oleh karenanya, kuputuskan untuk berbalik dan pergi darisana.

Krak!

Sial. Aku merutuki diri saat sepatuku tidak sengaja menginjak ranting pohon hingga menimbulkan suara yang cukup keras.

Aku bertaruh, Jimin pasti menyadari dan mendengarnya.

"Ya, siapa itu?"

Dan benar saja, dapat kudengar langkah kakinya yang perlahan berjalan kemari. Mendekatiku.

"Kim Hyebin?"

Aku berusaha menetralkan ekspresi senatural mungkin. "Y-ya?"

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Berjalan-jalan." Ucapku berbohong. Aku juga sejujurnya masih kesal dengan kejadian beberapa hari kemarin.

"Kau melihatku merokok kan?"

Aku menggeleng. "Tidak."

"Jangan bohong. Kau melihatku lalu berniat melaporkannya kan?"

Aku menghela nafas kasar dan menatapnya kesal. "Apa kau memang dibuat untuk selalu berpikir sesukanya?"

"Kau marah padaku dan ingin membalas dendam dengan melaporkanku kan?" Tanyanya balik. "Kejadian waktu itu bahkan sama sekali tidak spesial. Kau begitu ingin tenar dengan memanfaatkanku?"

Amarahku meninggi mendengarnya merendahkanku. Mencari tenar dengan memanfaatkannya? Aku sama sekali tidak tahan untuk menampar wajahnya yang angkuh itu. "Omonganmu sama sekali tidak berisi. Bagaimana bisa kau memfitnahku seperti itu? Menjijikkan. Aku bahkan sama sekali tidak berpikir untuk melakukan hal rendahan seperti katamu barusan, idiot."

"Idiot katamu?" Matanya menajam dan tubuhnya maju lalu memojokkanku pada dinding.

"Ya! Kau idiot! Kau selalu saja berpikir sepele dan berbicara serampangan. Kau tidak tahu betapa sakit hatinya aku karena omonganmu? Aku bahkan tidak berpikir untuk mencari masalah karena aku tahu posisiku! Kau anak pemilik sekolah dan melaporkanmu juga tidak ada gunanya, Park Jimin!"

Jimin terdiam namun kemudian terkekeh sinis. "Lalu kenapa kau membuntutiku?"

"Membuntutimu?" Aku menghembuskan nafas panjang. "Percaya diri sekali. Aku bahkan tidak tertarik melihatmu merokok."

"Kau mau mencari perhatian dariku?" Tanyanya semakin tidak jelas.

"Bisakah kau minggir? Kau membuatku sesak." Aku berusaha meloloskan diri dari kekangan tubuhnya. Namun sialnya, tangannya buru-buru ditempatkan di kedua sisi kepalaku agar aku terkunci.

"Tidak semudah itu, Nona manis." Sikapnya tiba-tiba saja berubah.

Aku sama sekali tidak mengerti dengan karakter pria ini. "Lepaskan."

"Kau harus membayar atas apa yang kau lihat barusan."

"Sudah kubilang aku tidak akan melaporkanmu!"

"Tapi aku harus tetap berjaga-jaga. Bagaimana jika tiba-tiba saja kau melaporkanku?"

"Itu tidak akan pernah terjadi."

"Apa jaminannya?"

"Omonganku."

"Omongan wanita itu tidak bisa dipercaya, Nona."

Aku mengerang frustasi, melihatnya mempermainkanku. "Kalau begitu aku tidak peduli mau kau percaya atau tidak padaku. Sekarang lepas!"

Dengan bar-bar, aku memukul dadanya dan menarik tangannya agar menyingkir dariku. Namun entah kenapa kakiku malah terpeleset dan membuatku jatuh hingga Jimin tidak mampu menampung berat tubuhku.

"Akh!" Kami sama-sama memekik hingga jatuh menyentuh tanah. Lebih tepatnya Jimin dibawah dan aku diatas.

Menyadari posisi, aku terdiam dan mata kami tidak sengaja bertemu. Sial. Kenapa jantungku malah berdebar?

Aku meneguk saliva pelan dan membiarkan mataku bertatapan dengannya.












Namun tanpa kami berdua sadari, ada sepasang mata yang tak sengaja melihat kami dalam posisi seperti ini.

Ia menghela nafas kasar dan membuang muka. Entah kenapa, hatinya terasa panas saat melihat kami bertatapan.

[]

JiHye! Full moment. ❤

Thankyou for 1k readers!

Bad Boy | PJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang