Entah apa yang aku lakukan sekarang ini. Niatku yang ingin segera pulang dan tidur tanpa memedulikan apapun nyatanya harus ditunda hanya karena hati nuraniku yang jauh lebih dominan.
Logikaku berkata kalau Jimin sudah didampingi Hyorim, yang notabene adalah calon istrinya jadi aku bisa pulang dengan tenang. Namun hatiku malah berkata sebaliknya bahwa aku harus mengikuti mereka. Apapun itu.
Oh God.
Seketika saja aku menyesal karena menuruti hati dan perasaan bodohku karena mereka terlihat sama sekali tidak butuh bantuan. Gadis yang sempat dimaki oleh Jimin itu juga tampak telaten membantu Jimin berjalan.
Hyorim mengusap luka di sudut bibir berandalan itu dengan hati-hati dan membersihkan seragamnya yang kotor akibat hantaman preman-preman tadi.
"Kalau jadinya seperti ini, lebih baik aku pulang." Gumamku seorang diri. Memutuskan untuk berbalik dan tidak lagi memikirkan tentang pria itu. Kalau dipikir-pikir lagi, aku juga terlalu ikut campur dengan urusannya.
Bruk!
Disaat aku berbalik, aku mendengar suara orang terjatuh. Dengan spontan aku menoleh, ingin mengecek suara apa itu.
Dan adegan yang kulihat adalah Jimin yang jatuh tersungkur dan anehnya, gadis yang kukira kekasih Jimin itu hanya diam dengan sorot mata tajam.
"Kau jahat Jim. Kau tahu aku juga membencimu."
Jimin terkekeh seolah luka dan lebam di wajahnya tidak sakit sama sekali. "Kalau tahu aku jahat, kenapa masih mengemis padaku dan keluargaku?"
Hyorim terdiam dan kulihat air mukanya menahan kekesalan. Aku heran sebenarnya kenapa setiap kali bertemu Jimin, gadis itu selalu saja menahan emosi seolah Jimin selalu membuatnya kesal setengah mati.
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa mengantarmu pulang."
Mataku membulat begitu Hyorim meninggalkan Jimin sendirian. Gadis itu menyeka mukanya dan pergi tanpa menoleh kebelakang sama sekali.
Kulihat Jimin juga tidak peduli dan memilih untuk bangkit berdiri. Dia mengusap lukanya sekilas, lalu meringis saat mencoba memegang sudut bibirnya.
Jadi lelaki itu menahan sakitnya sedari tadi? Wah hebat. Dia masih bisa berpikir untuk tidak menunjukkan titik lemahnya kepada orang lain.
Disaat aku masih asik mengawasinya, jantungku tiba-tiba saja berdegup kencang. Gila. Aku seketika saja meruntuk saat matanya tidak sengaja melihatku.
Dia mengangkat sebelah alisnya namun tetap berusaha menghampiriku. "Kim ... Hyebin?"
Aku mengumpat menyesali kebodohanku. "Park Jimin?" Aktingku seolah-olah terkejut. "Kenapa wajahmu seperti itu?"
"Kau melihatku dengan Hyorim kan?" Tanyanya yang seketika membuatku menutup mata menyesal.
"Aku tidak bermaksud, sungguh. Tadinya aku hanya ingin pulang dan tidak sengaja melihatmu dipukuli oleh preman-preman itu. Makanya ..."
"Bisa tolong antar aku pulang?" Selanya membuat mataku membulat.
"A-apa?"
"Kau melihatku dari awal, itu berarti kau tahu seberapa parah lukaku kan?"
Aku menelan ludah kasar. Ya, tentu saja aku tahu. "Kenapa disaat gadis itu menawarimu kau malah menolak?"
Jimin membuang muka, tampak tidak suka saat aku mengangkat pembicaraan dengan gadis itu. "Kalau kau tidak mau mengantarku, aku pulang sendiri saja."
"Tidak!" Aku lagi-lagi meruntuk karena mulutku berbicara sendiri tanpa kusadari. "A ... aku akan mengantarmu."
•••
"Jadi namanya Kim Hyorim?" Tanyaku memulai pembicaraan karena sedari tadi suasananya amat sangat hening.
"Kau tidak perlu tahu." Jawabnya acuh.
"Jadi benar ya. Kenapa kau selalu bersikap kasar padanya? Kulihat dia cukup baik."
"Bukan urusanmu."
Aku menghela nafas kasar meski di dalam kepala sudah tersusun sebuah rencana untuk memukul wajah berandalan ini jika tidak ingat keadaannya yang hampir mati.
"Kalau kau selalu bersikap menyebalkan seperti ini, orang-orang akan membencimu, Park Jimin."
"Kau juga kan? Aku tidak peduli mereka mau membenciku atau tidak."
"Terserah." Daripada menanggapi lebih lanjut aku lebih memilih memutar bola mata jengah.
"Kenapa kau tidak menolongku sewaktu preman-preman itu memukulku?" Tanyanya pelan.
"Kau mau aku ikut mati? Aku tidak seperti gadis-gadis di dalam drama yang dengan bodohnya datang seperti pahlawan tanpa memperhitungkan tenaga mereka cukup atau tidak. Ini kan dunia nyata."
Kudengar Jimin terkekeh. "Lalu kau akan membiarkanku mati?"
"Tadinya aku berniat menghubungi polisi bodoh. Lagipula kenapa mereka memukulimu? Kau membuat masalah diluar sekolah?"
"Kau tidak akan percaya jika aku bilang mereka itu suruhan ibuku kan?"
"Apa? Kau gila?" Tentu saja aku tidak akan percaya. Orang tua macam apa yang tega mengirim orang untuk memukuli anaknya sendiri.
Jimin tersenyum tipis meski terlihat dipaksakan. "Aku tahu kalau Hyorim juga datang karena ibuku menelfonnya. Kalau tidak, aku bisa bertaruh gadis itu juga tidak akan sudi untuk datang ke daerah seperti ini."
"Tapi kenapa? Kenapa ibumu ..."
"Karena dia ingin aku menganggap Hyorim sebagai penyelamat untukku. Dia tahu kalau aku akan menentang gadis itu sampai kapan pun. Ibuku itu akan melakukan segala cara demi menikahkanku dengan nya."
Aku menatap Jimin dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Entah kasihan, atau tidak percaya. Semuanya bercampur menjadi satu. "Kenapa kau tidak menuruti ibumu saja?"
"Kalau kau ada diposisiku, dimana kau dipaksa menikah dengan orang yang tidak kau cintai. Kau mau?"
Aku terdiam, mengerti perasaan Jimin. Aku juga tidak akan munafik dengan mengatakan aku akan setuju saja demi kebahagiaan orang tua. Bagiku, itu terlalu klise.
"Kenapa ibumu bersikeras menjodohkanmu dengannya?"
"Karena ibuku gila harta. Dalam kamus hidupnya, keluarga adalah yang kedua. Dia akan melakukan segala cara demi mendapatkan uang bahkan ... sampai menjualku sebagai pengganti harta tersebut."
[]
Spoiler : Jimin House.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy | PJM ✔
Fanfic[COMPLETE•Follow first] † "He is a bastard, a fucking idiot, and the sexy one." Namanya Park Jimin. Tampan sih, aku akui. Keren dan juga seksi untuk pria berumur 18 tahun. Tapi menurutku semua keunggulan itu tertutupi oleh sifat bajingannya. Dia ada...