"Sayang..." Mora hanya bergumam menjawab itu. Tangannya masih cekatan untuk memotong bahan-bahan untuk membuat sup ayam itu. Sedangkan, Zidan masih memeluknya dari belakang dengan tubuh shirtless-nya.
"Mas!" Mora terkesiap saat tangan Zidan meremas dengan keras payudaranya.
Suara kekehan di belakangnya membuat Mora geram. "Kamu kayak gitu lagi, siap-siap jari kamu yang aku masak."
"Astagfirullah, jangan gitu lah, Sayang. Sama suami sendiri jangan jahat-jahat."
"Bacot kamu! Sana mandi!"
Bukan mendapat pelukan di pinggangnya terlepas, tubuh Mora malah semakin di dekap erat oleh Zidan. Hidung Zidan juga sudah menyusuri tengkuk hingga bahu Mora yang terekspos.
"Kenapa sih kamu selalu ngegoda aku." Mora mendengus kesal. Bisa-bisanya Zidan berkata seperti itu.
"Kamu aja yang nafsuan."
"Nafsuan sama istri sendiri gak pa-pa atuh, Yang. Kalau aku nafsuan sama cewek lain baru itu gak boleh."
Mora mendelik tajam, "Sempat kamu kayak gitu, aku potong-potong burung kamu!"
Zidan langsung melepas pelukannya dan menatap horor ke arah Mora. "Jahat kamu, Beb."
Mora tidak memperdulikan itu, ia masih sibuk memotong wortel, "Udahlah, sana mandi!"
"Iya, iya." Sebelum pergi mandi satu kecupan mendarat di pipi dan bibir Mora.
"Dasar mesum!"
***
"Sayang ..." Mora menghembuskan nafas kesal. Sedari dulu sifat manja Zidan tidak pernah ada habisnya. Ia menatap Zidan dari kaca riasnya. Lelaki itu sedang mengancingkan kemeja putih yang melekat indah di tubuhnya, dada bidangnya bahkan sampai terbentuk.
Mora meneguk ludah kasar, mengapa saat ini Zidan seperti menggodanya. Rambut yang masih acak-acakan, lengan kemeja yang masih ia lipat hingga siku, dan fokus Mora ada pada bagian bawah tubuh suaminya yang menonjol itu.
"Liatin apa, Sayang?" Mora mengerjapkan matanya, ia langsung pura-pura memakai bedaknya padahal ia sedari tadi sudah memakai bedak.
Usapan di lengannya membuat Mora mendongakkan kepalanya. Zidan langsung mengecup kening dan bibir milik istirnya itu. Mora memejamkan matanya saat kecupan Zidan di keningnya terasa begitu dalam.
Mora membuka matanya saat merasakan kecupan Zidan terlepas. "Pasangin dasi aku."
Dengan cepat Mora berdiri. Ia membalikkan tubuhnya dan wajahnya langsung menghadap dada bidang suaminya itu. Mora meneguk ludahnya susah payah, dada di hadapannya ini begitu menggoda. Tapi, kesadarannya pulih kembali saat ia merasakan tiupan nafas Zidan di depan wajahnya.
"Jangan nengoin sampai kayak gitu dong. Aku malu loh."
Mora mendongak, ia mulai memasangkan dasi di leher Zidan dengan cekatan. "Siapa suruh punya dada yang bagus, aku kan jadi gimana gitu liatnya."
"Enakan dada kamu, empuk, kenyal, ahh..."
Mora dengan kesal mengencangkan simpulan dasi itu hingga menyekik leher Zidan. Zidan membulatkan matanya. "Kamu mau bunuh aku gitu?"
"Ya habisnya kamu sih, ngomong dijaga kek, malu tau."
"Dah siap!" Mora menepuk beberapa kali dada Zidan sambil tersenyum manis melihat hasil simpulan dasinya yang rapi itu.
"Yok, sarapan, aku laper, Beb." Mora mengangguk. Mora berjalan ke arah ranjang untuk mengambil tas miliknya dan jas milik Zidan.
"Kamu nanti pulang jam berapa?"
"Gak tau, jadwalnya belum jelas. Masih ada orang dari Singapur yang mau buat baju pernikahan dan dia masih belum jelas kapan datangnya."
Zidan mengacak pelan rambut Mora saat melihat wajah istrinya yang cemberut itu. "Jangan cemberut, cantiknya hilang loh."
"Mas! Rambut aku rusak!" Bukannya meminta maaf Zidan malah mencium pipi istrinya yang menggembung. Satu kebiasaan Mora dari dulu yang selalu ia lakukan saat sedang kesal, menggembungkan pipinya.
"Maaf, Sayang." Mora hanya bisa mengerucutkan bibirnya saja.
"Silahkan duduk, bidadari." Entah kenapa pipi Mora langsung bersemu merah. Kekesalannya terhadap Zidan langsung menguap begitu saja.
"Beb, suapin aku." Kekesalan Mora yang baru menguap tadi seketika langsung muncul lagi. Mora mendelik ke arah Zidan dengan tajam.
"Hehehe, ayo lah, Beb."
Dengan pipi yang sudah menggembung, terpaksa tidak terpaksa Mora harus mengikuti kemauan bayi besarnya ini. Zidan tersenyum lebar. Saat Mora akan duduk di kursi sampingnya, Zidan dengan cepat menarik tubuh Mora hingga terduduk di pangkuannya dengan posisi miring.
"Kalau minta disuapin, disuapin aja, jangan modus!" Zidan hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal melihat mata Mora yang melotot kesal.
"Ayo dong, bentar lagi udah jam setengah delapan, Beb." Mora menyendokkan satu sendok penuh itu langsung ke mulut Zidan. Zidan membelalakkan matanya, bahkan untuk mengunyah makanannya itu terasa sulit sangking penuhnya.
Zidan meneguk air yang sudah disiapkan Mora setelah makanan di mulutnya sudah habis. "Kamu mau bunuh aku gitu? Kayaknya hari ini banyak kali percobaan pembunuhan kamu sama aku."
"Ya, kamu sih." Zidan mengerjapkan matanya. Mengapa saat ini ia yang salah?
"Kok aku?"
"Gak tau lah! Masih mau aku suapin atau makan sendiri?"
Mendengar nada ketus Mora itu membuat Zidan langsung mengambil alih sendok yang ada di tangan Mora. "Aku makan sendiri aja deh. Aku masih mau hidup."
"Nah, gitu dong baru anak baik." Zidan mendengus saat Mora turun dari pangkuannnya sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti anak kecil.
Mereka makan dalam keheningan, sesekali Mora tertawa pelan melihat cara makan Zidan yang asal-asalan. Mora tau, sebenarnya Zidan sudah tidak mood untuk sarapan pagi ini. Tetapi, biarkan sajalah, biar Zidan tidak manja terus kepada Mora.
Mora bangkit saat nasi di piring Zidan sudah habis. Ia membawa piring itu ke belakang dan mencucinya. Memang nanti ada Mbok Sari-Pembatu rumah tangga yang akan datang. Tetapi, apa salahnya cuma mencuci dua piring bekas dirinya dan Zidan?
"Mora, udah siap belum?"
Mora memukul punggung Zidan dari belakang yang menyebabkan lelaki itu mendelik tajam. "Gak usah teriak-teriak, aku udah di belakang kamu."
Zidan mendengus, ia berjalan duluan ke arah garasi mobil meninggalkan Mora yang terkekeh gemas di belakangnya. "Suamiku kalau ngambek lucunya nauzubillah. Pengen ku karungin terus dikasih ke ikan hiu aja."
"Mas." Zidan mengangkat alisnya saat Mora baru saja duduk di sebelahnya.
Tanpa aba-aba Mora langsung naik ke pangkuan Zidan yang sudah memegang stir itu. "Ehh ...." Mora terkekeh melihat wajah Zidan yang sepertinya syok itu.
Mora mengelus kedua rahang Zidan. "Mukanya biasa aja dong, rasanya aku pengen gigit kalau muka kamu kayak gini."
Zidan menahan nafas, istri nakalnya ini dengan sengaja menggesekkan bagian bawah tubuh mereka. Rok milik Mora pun sudah tersingkap ke atas yang membuat paha putih itu langsung nampak.
"Hari ini aku ada rapat, Sayang. Jangan ganggu adik kecil dulu." Mora terkekeh, ia mengecup rahang dan memberi tanda pada leher Zidan sebelum turun dari pangkuan Zidan.
Mora menetap geli celana Zidan yang sudah menggembung. Ia menepuk-nepuk tonjolan itu. "Maafin Mora ya adik kecil, nanti malam deh kita mainnya. Sekarang gak bisa, pemilikmu masih mau rapat dulu."
Zidan menganga melihat kelakuan Mora hari ini. Entah setan apa yang merasuki istrinya ini.
Tbc.....
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Husband [Selesai]
RomanceAlmora Ziudith Pangestu. Seorang desainer cantik yang awalnya berasal dari keluarga Revano. Mora, seorang desainer yang bahkan kostum rancangannya sudah terkenal di dunia, bahkan tahun lalu ia diundang di acara New York Fashion Week. Nama keluarga R...