06

142K 4.4K 37
                                    

Malam ini Zidan menganga saat melihat penampilan istrinya. Bukan masalah gaun yang terbuka, tetapi istrinya itu semakin cantik.

Gaun yang dikenakan Mora memiliki panjang sampai lutut kaki, berwarna hitam. Bagian lengannya panjangnya 3/4. Di bagian dadanya terdapat renda-renda bunga berwarna merah. Rambut sepinggang Mora dibiarkan terurai dengan bentuk bergelombang di bagian bawahnya. Make up tipis, tetapi entah kenapa membuat wajah Mora semakin enak untuk dipandang. Sepatu heels merah itu membuatnya menjadi lebih tinggi dari biasanya.

Mora terkekeh saat melihat ekspresi suaminya. "Mas." 

"Kita gak usah pergi, ya? Aku mau ngurung kamu di rumah aja."

"Udah, gak usah banyak bacot! Ayo jalan, kita kelamaan entar."

Zidan hanya pasrah saja saat Mora menarik tangannya. Ia memandangi punggung di hadapannya ini. Shit! Mengapa ia bisa memiliki istri secantik Mora? Ia tidak rela kecantikan Mora ia bagi-bagi kepada yang lainnya.

Coba saja ini bukan ulang tahun perusahaan milik sahabatnya, mungkin saja ia benar-benar akan mengurung Mora di kamar. Ia harus datang, kalau tidak mungkin sahabatnya satu itu akan mengamuk.

Mereka sudah duduk di dalam mobil Zidan. Mora sudah memasang seatbelt.

"Ini beneran pergi?"

Mora langsung menoleh ke arah Zidan. "Kan kamu tadi yang bilang ada acara. Kok sekarang nanyanya gitu?"

"Gak rela aku kamu ditengok sama orang lain."

Mora memutar bola matanya malas. Sifat posesif Zidan sudah menguar ke permukaan lagi. Mora melepas seatbelt nya dan merubah arah duduknya menjadi menghadap Zidan.
"Kamu mau Sony marah gitu sama kamu karena kamu gak datang ke ulang tahun perusahaan dia?"

"Enggaklah. Dia best friend aku dari masa aku masih umbelen."

"Ya udah, sekarang, ayo kita pergi. Aku bakalan selalu ada di samping kamu. Aku gak bakalan kemana-mana. Mereka juga gak bakalan berani gangguin aku, orang pawangnya aku udah ada di sebelah aku terus."

"Iya sih."

"Dah, sekarang ayo pergi!"

Zidan mengangguk dan mulai memakai seatbelt. Ia mulai membelah jalanan perumahannya yang tampak sepi. Ini masih jam setengah delapan, tetapi para tetangganya masih sibuk mencari uang. Mereka berdua tinggal di kawasan elit yang berisi pengusaha-pengusaha terkenal.

"Dimana acaranya?"

"Hotel dia sendiri." Mora mengangguk. Mora bahkan mengenal baik sahabat Zidan ini. Dari awal Mora pacaran dengan Zidan, Sony selalu ada. Sony sudah dianggap abang oleh Mora. Sifatnya yang tegas dan bijak membuat Mora menganggap Sony sebagai abang.

Mobil terhenti di depan pintu masuk hotel. Zidan keluar dan membukakan pintu untuk Mora. Mora tersenyum dan langsung melingkarkan tangannya di lengan Zidan. Zidan memberikan kunci mobilnya kepada orang yang memang disediakan di sana untuk memparkirkan mobil.

"Selamat, Bang." Sony berbalik dan tersenyum saat melihat Mora dan Zidan. Ia tidak suka Mora, Mora benar-benar ia anggap adik selama ini.

"Makasih, Mora." Mora tersenyum manis menjawab pertanyaan Sony itu.

Zidan melepaskan tangan Mora dari lengannya. Ia memeluk Sony ala lelaki. "Selamat, Bro. Gak nyangka gue sahabat gue bisa ngembangin perusahaan keluarga sampai sesukses ini."

Sony tertawa, ia memukul pundak Zidan. "Iya dong, gini-gini temen lo ini bisa diandalkan."

"Iya, tapi dalam hal percintaan gak bisa diandalkan."

Sony melotot kesal. "Sahabat laknat lo!"

Sony memang masih sendiri. Posisinya sebagai CEO tidak mempengaruhi kejombloannya. Memang banyak perempuan yang mendekati Sony, tetapi Sony selalu menolaknya. Bukan Sony penyuka sesama jenis, tapi Sony hanya ingin yang terbaik untuknya.

Merasakan ujung jasnya tertarik Zidan mengalihkan tatapannya ke istri imutnya ini. "Apa, Sayang?"

"Mau makan."

Zidan dan Sony tertawa. Suara dan raut wajah Mora yang polos membuat kedua orang itu gemas.

Sony mencubit pipi Mora. "Gemes banget sih, adiknya siapa ini?"

"Adiknya Bang Sony." Sony mengacungkan dua jempolnya di depan wajah Mora. Ia tidak menyadari bahwa pawang Mora memandang mereka sebal. Sony memang sahabatnya, tetapi bukan berarti ia dengan seenaknya bisa menyentuh Mora begitu saja.

"Ya udah, gue ke sana dulu ya, Son."
Sony mengangguk.

Zidan dan Mora mulai berjalan ke arah meja yang dipenuhi makanan itu. Tatapan Mora langsung berbinar senang saat melihat ada kue stoberi di sana. Apapun yang berhubungan dengan stoberi, Mora menyukainya.

Mora langsung mengambil kue itu. Ia tersenyum saat merasakan rasa manis dan asem yang muncul di dalam mulutnya. Mora menyendokkan kue itu dan ia arahkan ke bibir Zidan. "Mas, mau?"

Zidan menerima suapan itu. Rasanya memang enak, pantas saja istri cantiknya ini suka. Bahkan, Mora sudah mengambil kue kedua.

Zidan tersedak ludahnya sendiri saat melihat Rosa. Rosa Revalina Temat, gadis yang selalu mengejarnya saat ia berkuliah dulu. Kakak tingkat Zidan yang selalu mengejar di manapun Zidan berada.

Zidan membalikkan tubuhnya. Ia lebih memilih memperhatikan Mora yang saat ini masih asyik dengan kuenya itu. Jantungnya berdegup saat merasakan tangan lain menyentuh pundaknya.

"Idan."

Tamat sudah! Hanya Rosa yang memanggil Zidan dengan panggilan itu. Entah darimana Rosa tau bahwa itu dirinya. Padahal Zidan yakin, Rosa tadi tidak mungkin melihat dirinya.

Zidan tersenyum kikuk, ia mulai membalikkan tubuhnya. "Hehehe, iya."

Mora mengerutkan keningnya bingung saat melihat interaksi suaminya dengan gadis yang lebih mirip seperti tante-tante ini. "Siapa, Mas?"

Zidan menggaruk tengkuknya. "Dulu dia kakak tingkat aku waktu kuliah."

"Eh, kamu siapa ya?" Mora mengerjap bingung. Entah mengapa sekarang ia yang menjadi seperti orang baru di hadapan orang dua ini.

Mora mengulurkan tangannya, ia tersenyum ramah. "Almora, istrinya Mas Zidan."

Rosa mengerjapkan matanya. Apa ia tidak salah dengar? Waktu zaman kuliah dulu bahkan Zidan tidak dikabarkan dekat dengan gadis manapun. Tetapi, kenyataannya sekarang Zidan sudah memiliki istri.

Rosa tersentak saat mendengar deheman Zidan. Ia menyambut tangan Mora. "Rosa, Kaka tingkat Idan."

"Ya udah, Kak, kami permisi dulu."

Zidan tersenyum dengan terpaksa sambil menggenggam tangan Mora. Ia tidak ingin lama-lama dengan kakak tingkatnya itu. Ia ingat sekali bagaimana dulu kakak tingkatnya itu mengejarnya. Bahkan, Rosa nekat menunggunya di depan toilet pria. Ia tidak pernah menceritakan ini semua kepada Mora, karena ia takut Mora akan salah paham dan mengganggu fokus Mora saat Mora sedang ujian nasional.

"Kok kayaknya dia deket sama kamu, Mas?"

"Nanti aku ceritain di rumah deh. Di sini gak enak." Zidan menatap lembut Mora. "Sekarang mau pulang?"

"Iya deh, gak tau kenapa aku capek banget hari ini."

Zidan mengangguk. Ia membawa Mora ke hadapan Sony untuk mereka pamit pulang. Zidan mengepalkan tangannya saat melihat Sony dengan seenaknya memeluk istrinya itu. Yang lebih mengesalkan, Mora membalas pelukan Sony dengan lapang dada.

Tbc ....

My Possessive Husband [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang