04

224K 5.2K 54
                                    

Zidan panik saat mendapati tubuh di pelukannya ini terasa panas. Apakah ini gara-gara semalam? Semalam, ia dan Mora kembali bermain di bawah guyuran shower selama dua jam.

"Mora." Bukannya terusik Mora malah semakin mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya semakin dalam di dada Zidan.

Zidan mengelus rambut Mora dengan sayang. "Badan kamu panas, Sayang. Aku mau buatin sarapan kamu dulu."

"Nggak mau. Kalau kamu lepas pelukannya aku kedinginan." Zidan semakin panik saat mendengar suara serak dari istrinya itu. Nafas yang menerpa dadanya pun sudah terasa panas dan menandakan suhu tubuh Mora sedang tidak normal.

"Ya udah, kamu di gendongan aku aja, terus aku masak. Kalau kamu nanti gak makan malah tambah sakit, Sayang."

Mora hanya mengangguk. Zidan membawa kedua lengan Mora melingkari lehernya. Ia bangun dengan hati-hati. Setelah berdiri, Mora langsung saja melingkarkan kakinya di pinggang Zidan. Wajahnya menyusup ke leher Zidan.

"Kok tumben sih kamu bisa sakit gini?"

"Ya, mana aku tau."

Zidan mulai membuka kulkas, ia mengambil telur, sosis, keju, paprika, dan tidak lupa cabai. Pilihannya untuk masak pagi ini jatuh ke omelette. Istri mungilnya ini semakin mengeratkan pelukannya saat Zidan mulai menggoreng omelette itu. Zidan menghela nafas panjang, ia merasa bersalah karena membuat istrinya menjadi seperti ini karena mengikuti nafsunya semalam.

"Dah jadi, makan dulu, ya?"

Mora mengangkat wajahnya dari leher Zidan, ia memandang Zidan dengan wajah memelasnya. "Mau susu."

Zidan terkekeh gemas, ia mengecup puncak hidung Mora, "Siap, Princess!"

Zidan membawa sepiring dan segelas susu itu ke ruang keluarga. Ia mendudukkan dirinya di sofa dan tubuh Mora yang di pangkuannya.

"Makan dulu, Sayang. Habis makan nanti minum obat, ya?"

Mendengar kata 'obat' Mora langsung melepaskan pelukannya. Ia memandang Zidan dengan wajah cemberurnya. Ia tidak suka obat, bau, warna, apalagi rasanya membuatnya mual.

"Harus minum obat, ya?" Zidan mengangguk sambil menyelipkan anak rambut Mora ke telinga Mora.

"Obatnya peluk aja, ya? Udah pasti sembuh kok."

Zidan menaikkan sebelah alisnya, "Kalau nanti sore gak sembuh berarti harus minum obat bener. Deal?"

Dengan terpaksa Mora mengangguk. "Laper, Mas."

Zidan mengetuk-ngetuk pipi kirinya dengan jari telunjuk. "Cium dulu." Dengan cepat Mora mencium pipi Zidan dengan sayang.

Zidan tersenyum sumringah. Ia mengambil piring dan dengan telaten menyuapi Mora.

"Udah." Zidan mengerutkan keningnya. "Belum ada setengahnya kamu makan, Sayang. Makan lagi, sampai setengah aja deh gak papa."

"Pahit rasanya."

"Dua suap lagi deh."

Dengan terpaksa Mora menerima dua suapan dari Zidan. Perutnya bergejolak, rasanya ia tidak dapat makanan itu. Bukan karena rasanya tidak enak, bahkan masakan Zidan rasanya enak. Tetapi, rasa lidahnya hanya pahit.

Mora langsung menenggelamkan wajahnya di leher Zidan saat suapan kedua sudah ia telan. Perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi, rasa mualnya sudah sampai di ujung, tetapi harus Mora tahan. Zidan mengusap punggung Mora.

"Mau minum?" Mora menggeleng.

"Kamu mau muntah?" Merasakan Mora mengangguk di pelukannya membuat Zidan kembali berjalan ke arah dapur, dengan Mora yang masih ada di gendongannya.

Zidan menurunkan Mora di atas meja pantry. "Lepas dulu, makan ini dulu biar gak mual lagi."

Tatapan Mora berbinar saat melihat buah stroberi ada di hadapannya. Dengan cepat ia membuka mulutnya dan menerima suapan Zidan itu. Buah stroberi adalah buah kesukaannya.

"Lagi?" Mora dengan cepat mengangguk. Rasa mualnya sedikit demi sedikit hilang akibat rasa manis dan asem stroberi ini.

"Udah, ya? Magh kamu nanti kambuh kalau kebanyakan makan ini."

"Iya."

Mora mendongak untuk melihat Zidan. "Mas, gak ke kantor?"

"Enggak. Istri lagi sakit, masa Mas tega ninggalin dia ke kantor?"

"Kan nanti ada Bibi. Gak papa, Mas berangkat aja. Nanti kalau gak berangkat kerjaan Mas numpuk."

Zidan menggigit pipi Mora dengan gemas. "Nanti Mas suruh Andre bawa ke sini aja semua berkasnya."

Andre, sekretaris pribadi Zidan. Dari awal sekretaris Zidan adalah seorang lelaki, karena Zidan tidak mau menimbulkan salah paham sama Mora kalau sekretarisnya perempuan. Ia tidak mau akan ada cerita seperti di novel-novel begitu.

"Kamu mau tidur atau gimana?"

"Maunya Mas." Zidan memutar bola matanya malas. Dalam keadaan sakit seperti ini masih bisa saja istri mungilnya ini menggodanya.

"Mas ...."

Zidan menunduk untuk membalas tatapan Mora. "Apa?"

"Belum morning kiss."

"Astaghfirullah, Mas kira apaan, Sayang."

Mora hanya meringis malu, Zidan mencubit gemas pipi Mora. Ia mulai mendekatnya wajahnya ke arah Mora. Zidan terkekeh saat melihat Mora sudah memejamkan matanya.

"Udah siap aja, Beb." Mora membuka matanya dengan kesal mendengar suara Zidan. Ia mengerucutkan bibirnya sebal.

Cup ....

Zidan memiringkan kepalanya, ia melumat halus bibir Mora. Mora memejamkan matanya lagi, menikmati gerakan bibir Zidan di bibirnya itu. Mora pun menggerakkan bibirnya mengikuti pergerakan bibir Zidan. Tangan Zidan mengalung di pinggang Mora, dan tangan Mora melingkar indah di leher Zidan.

Zidan melepaskan ciumannya, keningnya masih menyatu dengan kening Mora. Ia tersenyum saat melihat bibir Mora yang bertambah merah dan bengkak. Mora membuka matanya dan membalas tatapan Zidan itu.

Zidan Alfian Pangestu, satu nama yang sudah ada di hatinya sejak SMP. Satu nama yang selalu membuat hatinya menghangat. Satu nama yang bisa membuat gila karena sentuhannya itu.

Zidan, dulu seorang remaja SMP yang bisa dibilang nakal sudah merebut hatinya. Bahkan, Mora tidak akan pernah menyangka hubungannya yang berjalan dari SMP akhirnya bisa bertahan sampai jenjang pernikahan. Ia tersenyum geli saat mengingat bagaimana Zidan memintanya untuk menjadi pacarnya dulu.

Flashback on....

Mora mengerutkan keningnya bingung. Untuk apa kakak kelasnya ini duduk di bangkunya?

Mora dan Zidan berbeda dua tahun, Mora yang saat itu masih kelas 7 dan Zidan yang sudah kelas 9. Nama Zidan begitu akrab terdengar di telinga Mora, bukan karena prestasinya, tapi karena ulahnya yang sering keluar masuk BK. Tetapi, ulahnya itu tidak menjadi masalah apabila wajah sudah ganteng.

"Ehm ... Permisi, Kak. Saya mau duduk, ini tempat saya." Mora berkata dengan menunduk, ia takut terhadap kakak kelasnya satu ini.

Zidan berpenampilan urakan, baju dikeluarkan, dasi sekolah yang diikat di kepalanya. Tetapi, jangan pernah lupa senyum manis yang selalu bertengger di bibirnya itu.

"Tau nama gue, kan?" Mora mengangkat kepalanya, matanya langsung bertabrakan dengan mata elang milik Zidan. Mora terdiam beberapa saat, ia terbius dengan tatapan mata itu.

Zidan tersenyum, ia menggerakkan tangannya di depan wajah Mora. "Hei, lo tau nama gue, kan?"

Mora gelagapan. Ia dengan cepat mengangguk.

"Ya udah, kalau kayak gitu, mulai sekarang lo jadi pacar gue!"

Tbc ....

My Possessive Husband [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang