28

89.2K 2.5K 31
                                    

Mora langsung membuka pintu rumah saat mendengar deru mobil Zidan. Ia memperhatikan lelaki dengan kemeja putih yang di lipat sampai siku itu dengan seksama, tidak ada yang aneh, tidak ada yang berubah. Tapi, ada apa dengan perasaannya yang tidak enak tadi?

"Sayang? Ngapain di luar? Dingin loh."

Tanpa menjawab pertanyaan itu Mora memeluk tubuh Zidan. "Kok lama?" adu nya kepada suaminya itu.

Zidan mengecup puncak kepala Mora. "Kantor cabang gak sedeket itu, sayang." Zidan mengelus punggung Mora. "Masuk, yuk."

Mora mengangguk, ia melepas pelukannya dan membawa tas kerja Zidan. Ia jalan duluan di susul Zidan yang sedang menutup pintu. "Kamu juga kenapa gak ngabarin sih?"

"Maaf, sayang ku, my baby, tadi aku fokus nyelesaiin masalah di sana," jawab lelaki dengan rambut coklat kehitamannya itu.

"Aku takut kamu kenapa-kenapa."

"Emang kamu ngerasain apa?"

Mora duduk di pinggir kasur, ia menatap Zidan yang sedang membuka kemejanya. "Tadi perasaan aku gak enak, mana HP kamu di hubungin gak bisa-bisa. Tanya sama mbok, aku tadi mecahin gelas karena tiba-tiba pikiran aku gak enak."

Mata Zidan membulat, gerakannya yang akan membuka kancing kemeja ketiganya ia gagalkan. Ia kemudian berlutut di hadapan bumil itu. Ia memeriksa tubuh Mora. "Kamu gak papa? Ada yang kena pecahan kacanya? Atau syok mungkin? Atau gimana?"

Mora mengusap pipi Zidan. "Gak papa, sayang. Tadi kamu kenapa?"

Zidan menghela nafas lega, ia menjatuhkan kepalanya ke paha Mora. Tangannya memeluk pinggang Mora. "Kok kamu bisa ngerasain sih?"

"Ngerasain apa? Kamu kenapa?" Sekarang ganti Mora yang panik.

"Baru sampai kantor cabang aku tadi di datengin sama orang gila. Ibu-ibu terus langsung meluk aku. Dia ngomongnya 'Suami aku akhirnya muncul, anak kamu di rumah udah nungguin kamu. Pulang yuk, sayang.' Masa dia ngomong gitu ke aku, untung security cepet langsung narik aku."

"Ha?" Mora cengo mendengar cerita itu.

Zidan meletakkan dagunya di paha Mora, ia mengangguk sambil menatap istrinya. "Iya, orang gila. Mungkin gara-gara itu perasaan kamu gak enak."

Mora menahan tawanya, sudah terbayangkan bagaimana wajah Zidan saat di peluk orang gila itu. Melihat wajah Mora, Zidan mendekatkan kepalanya ke perut buncit Mora. "Ketawa aja kalau mau ketawa. Mana dia bawa boneka yang kepalanya udah putus. Rambut dia udah gimbal, terus ahh pokoknya gitu deh."

Mora tertawa. "Lama gak di peluk sama dia?"

"Gak lah. Aku masih kaget karena dapat pelukan gitu jadi kan belum dorong dia, eh aku sadarnya udah di bawa sama security ke dalam kantor aja. Orang-orang yang liat nahan ketawa semua." Zidan mengecup perut Mora. "Malu daddy, dek."

"Uhh, suami ku baru pelukan sama cewek lain."

Zidan memberengut. "Dek, liat mommy."

Setelah pengaduan Zidan itu, bayi yang ada di dalam perut Mora langsung memberi jawaban. Tendangan keras yang membuat Zidan langsung menjauhkan kepalanya dari perut Mora. Setelah sadar Zidan memukul pelan perut Mora. "Ih, kalau mau nendang ngasih kode dulu, daddy kaget!"

Mora terkekeh, ia mengusap perutnya. Lagi dan lagi tendangan ia rasakan dari dalam perutnya. "Pengen di ajak ngomong ya?"

"Emang gitu?"

Mora mengangguk. "Nyatanya tadi kamu ngomong sama dia, dia langsung nendang. Coba aja ngomong lagi, dia kangen sama daddy nya tuh."

Zidan tersenyum, matanya berbinar saat mengangkat dress rumahan Mora dari bawah hingga menampilkan paha dan perut Mora. Zidan mengelus lembut perut Mora. "Ganteng daddy ...."

My Possessive Husband [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang