10

113K 3.5K 21
                                    

Saat ini Mora sedang menggambar sketsa keempat gaun pernikahan untuk client yang berasal dari Malaysia. Rasanya Mora ingin mencakar wajah client yang satu ini. Ini benar-benar client yang menguras emosi untuk Mora. Bagaimana tidak? Mora sudah menggambar 3 sketsa sesuai yang diminta, tetapi kemudian client itu minta ganti model gaunnya. Saat kemarin ia tidak masuk, client itu menelfonnya dan minta untuk ganti model gaun lagi.

Pintu ruangannya diketuk. Mora hanya  menjawab dengan deheman. "Mbak." Mora hanya bergumam untuk menjawab itu. "Di depan ada client yang dari Malaysia itu."

Mora mengangkat kepalanya. "Aku gak salah tanggal kan? Ini masih tanggal 23. Bukannya dia bilang bakalan ke sini lagi tanggal 25?"

"Gak tau, Mbak. Tapi, di depan dia lagi marah-marah nyari Mbak Mora."

'Kenapa lagi dengan client satu itu?' Batin Mora menggerutu.

Mora bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke tempat duduk yang memang disediakan untuk client. Sebelum duduk, Mora menampilkan senyum terpaksa ya dulu.

Mora duduk di depan client itu dengan anggun. "Ada apa, Kak?"

"Ganti model." Jawaban singkat dan ketus itu membuat Mora membelalakkan matanya. Ini sudah kelima kalinya!

"Kak, saya buat gaun bukan cuma punya Kakak aja. Ini udah kelima kalinya Kakak minta ganti model." Mora harus sabar.

"Saya tak suka sama model gaunnya."

"Astaghfirullah, bahkan kemarin Kakak yang minta sendiri gimana modelnya. Gimana sekarang bisa diubah lagi? Saya udah gambar 4 sketsa, Kak."

"Ya, saya berubah pikiran."

Client ini memang berasal dari Malaysia. Ia menatap dan menjadi warga sana. Tapi, sebenarnya seratus persen ia merupakan orang Indonesia, makannya bisa berbahasa Indonesia.

"Saya nyerah. Saya akan ngembaliin uang DP Kakak. Seratus persen bakalan balik ke tangan Kakak. Saya permisi, pesanan saya bukan cuma milik Kakak aja."

Mora bangkit, ia berjalan kembali ke ruangannya. "Butik kayak gini aja udah sok-sokan."

Ingatkan Mora untuk sabar dengan orang seperti itu. Mora membalikkan tubuhnya menghadap orang itu. "Maaf, Kak. Kalau Kakak gak suka, Kakak bisa langsung pergi dari sini."

Orang itu mengangkat dagunya dan tersenyum sinis. "Saya yakin butik kamu gak ada laris lagi setelah ini."

Mora menghela nafas panjang setelah pintu kaca butiknya itu ditutup dengan kasar. "Dia jelmaan setan atau manusia, sih?"

Mora masuk ke dalam ruangannya lagi dan mulai berkutat dengan kertas-kertas lagi. Menggambar adalah kesenangannya sejak ia masih kecil. Apalagi menggambar seorang princess dengan gaun yang mewah. Saat lulus SMP sebenarnya ia ingin masuk SMK jurusan tata busana, tetapi saat itu cita-citanya belum tetap.

Pintu ruangannya terbuka yang membuat Mora menggeram. "Kamu gak tau sopan santun atau gimana?" Merasa tidak ada jawaban Mora mengangkat kepalanya dan melihat sang suami yang sedang memperhatikan dirinya di pinggir pintu.

Zidan terkekeh pelan, ia berjalan ke arah Mora dan mengecup puncak kepala Mora. "Kenapa sih judes amat?"

Mora membuang sketsanya asal. Ia berdiri dan memeluk Zidan. Ia membenamkan wajahnya di lekukan leher Zidan. "Kesel. Masa aku udah buat sketsa empat kali dan tiba-tiba tadi dia minta ngerubah lagi."

Zidan mengusap punggung Mora. "Yang dari Malaysia itu?"

"Iya. Tapi, aku dah batalin. Bentar lagi aku bakalan suruh Aina transfer balik DP yang udah dia kasih."

"Udah, jangan kesel-kesel lagi." Zidan melepaskan pelukannya. "Mau makan?"

"McD boleh?" Zidan hanya mengangguk. Mora langsung mengecup bibir Zidan beberapa kali. Tumben suaminya ini memperbolehkan Mora makan fast food.

Mora mengambil ponselnya dulu. Zidan terkekeh saat melihat wajah gembira dari Mora itu. Ia memang beberapa kali tidak membolehkan Mora makan fast food, alasannya hanya untuk menjaga kesehatan Mora. Zidan melingkarkan tangannya di pinggang Mora. Mereka berdua keluar dari ruangan Mora.

"Aini, titip butik dulu. Nanti kalau udah masuk waktu istirahat dan aku belum balik tutup aja dulu butiknya."

Aini, orang kepercayaan Mora dalam mengurus butik ini mengangguk ramah. "Siap, Mbak."

Aini tersenyum manis saat melihat pasangan itu keluar dari butik dengan tawa bahagia. "Kapan aku bisa seperti itu?"

***

Selesai makan dari McD tadi, Mora langsung dibawa Zidan ke Pangestu Corp. Mora mengelap nafas kasar. "Aku beneran disuruh duduk diam nengoin kamu kerja gini?"

Zidan menolehkan kepalanya dan melihat Mora yang menyenderkan kepalanya di sandaran sofa itu. "Iya."

"Tapi aku bosen, Mas." Zidan berdiri, ia berjalan ke arah meja kerjanya dan mengambil beberapa kertas, pensil, dan penghapus.

"Tuh, kamu buat sketsa sana. Aku bakalan cepat kok ngerjain ini."

Mora mengangguk. Ia langsung berkutat dengan kertas-kertas itu. "Gitu kek dari tadi, jadi suami yang peka kalau istrinya itu gabut." Tangannya dengan lihai membuat sketsa baju itu. Sesekali ia mengetuk-ngetuk pensilnya di dagu untuk mendapatkan ide.

Zidan menutup laptopnya, ia menoleh ke arah Mora yang masih berkutat dengan kertas-kertas itu. Rambut Mora yang digerai membuat rambut itu menutupi sebagian wajahnya Mora. Zidan mendekati Mora dan menyempitkan beberapa helai rambut itu di telinga Mora. "Kamu bawa ikat rambut?"

Mora mengangguk. Ia merogoh kantong kemejanya. Setelah itu ia memberikan ikat rambut merah itu kepada Zidan. Zidan dengan cepat menerima ikat rambut itu dan membuat rambut Mora menjadi satu. Ia akan mengikat rambut Mora. Rasanya ia yang risih sendiri saat melihat rambut Mora yang menutupi sebagian wajahnya Mora itu.

Zidan tersenyum puas melihat hasil ikatannya itu. Walaupun tidak rapi, setidaknya itu bisa membuat Mora nyaman.
Zidan melepas sepatunya. Ia berdiri di atas sofa dan langsung duduk di belakang Mora begitu saja. Pahanya mengapit tubuh Mora di depannya.

"Mas, astaghfirullah, kaget aku tuh!" Mora mencubit paha Zidan.

"Hehehe. Udah kamu lanjut aja gambarnya aku mau nikmatin indahnya punggung kamu aja." Mora menggelengkan kepala mendengar alasan Zidan yang tidak masuk akal itu. Ia tidak memperdulikan Zidan yang saat ini entah menggambar apa di atas punggungnya yang masih berbalut kemeja biru dongker itu.

Mora merasakan jari Zidan mulai nakal. Zidan mulai menarik-narik tali bra-nya. Mora menolehkan wajahnya dan menatap tajam Zidan. "Astaghfirullah, gak usah mesum bisa gak sih?"

Ctakkk ....

"Mas!" Zidan hanya terkekeh. Ia baru saja menarik dengan kuat tali bra istrinya itu.

"Sebentar lagi aku siap, gak usah ganggu dulu. Kalau kamu mau gambar, gambarlah abstrak di punggungku, jangan main narik-narik tali orang aja."

Zidan tersenyum mendengar omelan Mora. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Mora dan membenamkan wajahnya  di tengkuk Mora. Bibirnya pun tidak bisa diam, Zidan sibuk mengecup basah tengkuk Mora yang terekspos itu. Rambut yang baru saja ia ikat ternyata memiliki manfaat tersendiri. Ia jadi bisa menikmati tengkuk Mora.

"Ya Allah punya suami mesum amat."

Tbc ....

My Possessive Husband [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang