11

99.1K 3.6K 9
                                    

Pernikahan Mora dan Zidan tidak terasa sudah memasuki bulan kesepuluh. Tidak ada masalah yang berarti yang melingkupi pernikahan mereka selama beberapa bulan, mungkin hanya Zidan yang marah-marah saat baju yang dikenakan Mora membentuk tubuh indah wanita itu.

Tapi, mungkin saat ini konflik mereka tidak semudah itu. Zidan menuduh Mora begitu saja saat melihat wanita itu sedang bercengkrama dengan salah satu pengunjung butiknya. Mereka berdua sedang berada di ruangan Mora yang untungnya kedap suara, jadi pertengkaran mereka tidak akan mengganggu pegawai atau pengunjung toko.

"Apa sih, Mas? Aku bahkan gak ada ngapa-ngapain sama dia!"

"Tapi, dia tadi pegang tangan kamu, Mora!"

Mora menatap jengah Zidan. "Itu tadi gak sengaja! Kamu aja yang salah persepsi!"

"Aku yang salah lihat? Mata aku masih berfungsi dengan baik! Dia pegang tangan kamu dan di situ kamu diam aja!"

"Mas ... Jangan buat kepala aku tambah sakit. Aku beneran gak ada niat apapun. Waktu dia pegang tangan aku dia gak sengaja karena katanya ada nyamuk."

Zidan menunduk, ia menatap Mora yang sedang duduk di sofa dengan menundukkan kepalanya itu. "Bullshit macam apa itu?"

Mora mendongak, ia menatap tajam Zidan yang berdiri di depannya dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana bahannya itu. "Terserah kalau gak percaya!"

Setelah mengatakan itu Mora bangkit. Ia dengan cepat mengambil tas dan kunci mobil yang ada di meja kerjanya. Hari ini Zidan berangkat duluan karena ada rapat, makannya Mora membawa mobil sendiri. Dengan kasar Mora langsung menutup pintu ruangannya dan itu menimbulkan berbagai tatapan dari pegawai dan pengunjungnya. Tanpa menoleh kepada Aini, Mora berkata, "Jangan lupa tutup butik."

Aini hanya bisa mengangguk. Pikirannya berkecamuk, ada apa dengan bosnya dan suaminya itu?

Sedangkan, di ruangan Mora Zidan meremas rambutnya. Ia terduduk di sofa. Apakah ia salah? Ia cemburu saat melihat kulit Mora bersentuhan dengan laki-laki lain. Zidan jelas-jelas melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa lelaki yang merupakan pengunjung butik Mora itu memegang tangan istrinya. Tetapi, seketika wajah pucat dan tatapan sayu Mora tadi langsung menghantamnya. Zidan dengan panik langsung berlari dari ruangan Mora. Wajah Mora tadi benar-benar pucat dan itu ia abaikan hanya karena ia mau meluapkan emosinya.

Zidan memasuki mobilnya dengan cepat, bahkan seatbelt saja tidak ia pasang. Ia mengemudikan mobilnya dengan pelan, takut ternyata Mora masih berada di sekitar sini. Tetapi, keberadaan mobil Honda jazz berwarna merah itu tidak ada. Ia sangat hafal plat nomor mobil Mora, dan itu tidak ada. Padahal Zidan sudah melirik ke kanan dan kiri. Zidan mulai mempercepat laju kendaraannya, tujuannya saat ini adalah apartemen yang memang Mora miliki.

Zidan memarkirkan asal Lexus miliknya ini. Ia tidak peduli dengan parkiran itu. Ia dengan cepat lari ke arah lift dan langsung menekan tombol 18. Zidan dengan berlari keluar dari lift dan ia langsung menghampiri pintu nomer 413 ini. Zidan langsung memasukkan sandi yang ia hafal di luar kepala, tapi nyatanya nihil. Bahkan, apartemen ini gelap gulita dan seperti sudah lama tidak dimasuki. Zidan menyalakan lampu ruangan, ia hanya berharap semoga Mora ada di dalam kamar apartemen ini. Tetapi, hasilnya nihil juga, kamar itu rapi. Dan, bisa dipastikan bahwa Mora tidak ada di sini.

Zidan keluar dari apartemen itu, tidak lupa ia menguncinya. Saat ini tujuannya hanyalah rumah orang tua Mora.

***

Di sinilah Mora, duduk diam meminum jus stoberi. Saat ini ia berada di apartemen Afni, sahabatnya. Ia yakin, saat emosi seperti itu Zidan tidak akan pernah terpikirkan ke arah rumah sahabatnya ini, mungkin hanya apartemen, rumah orang tuanya, ataupun rumah mertuanya.

Afni, perempuan 23 tahun itu menatap sebal sahabatnya. Untungnya hari ini ia tidak masuk kantor karena sakit di perutnya akibat period. Tetapi, baru saja ia akan terlelap menuju mimpinya, suara bel apartemennya langsung mengusiknya. Dengan sebal ia membuka pintu itu dan langsung menampilkan wajah pucat sahabatnya. Dengan panik Afni langsung mengajak Mora masuk.

"Lo kenapa? Ada masalah sama tuan raja?" Mora mendengus, panggilan Afni tidak pernah berubah kepada Zidan.

"Gue tidur di sini, ya?" Afni melotot tak terima. "Lo belum jawab pertanyaan gue dan tiba-tiba minta nginap di sini aja."

"Lo pasti udah tau lah, Ni." Afni menghela nafas kasar, ia menyenderkan punggungnya di sofa. "Kenapa lagi? Tuan raja cemburuan lagi?"

Mora hanya mengangguk. Ia bersyukur sahabatnya ini tidak masuk kerja. Mungkin kalau Afni tidak ada di apartemen ia akan pergi ke cafe untuk menenangkan diri. Ia hanya punya Afni sebagai teman dekatnya dari SMA.

"Lo mau di sini atau ikut gue ke kamar? Perut gue lagi sakit, biasa tamu bulanan."

Mora menyedot habis jus stroberinya itu sebelum berkata, "Gue ikut aja deh." Tetapi, kemudian mora menatap Afni dengan memelas. "Tapi, gue pinjem baju lo, ya?"

"Iya, iya. Ambil sana terserah lo." Mora berdiri, ia memeluk sahabatnya ini. "Gak sia-sia gue punya sahabat kayak lo."

***

Afni meneguk ludahnya kasar. Tubuhnya menegang saat melihat Zidan di hadapannya ini. Mora masih tertidur di kamarnya, sama sekali tidak terusik dengan suara bel yang memekakkan telinga itu.

"Mora ada?"

"Gak ada." Afni berbohong. Ia tadi dibilang Mora apabila Zidan mencarinya ke sini maka ia harus menjawab tidak.

Zidan mengangkat sebelah alisnya. Ia menyeringai melihat tubuh Afni yang menegang di tengah pintu. Tanpa aba-aba Zidan mendorong tubuh Afni agar masuk, tidak kasar, tapi lumayan kuat untuk Afni bergerak dari tempatnya. Tanpa memperdulikan bahwa ini apartemen orang Zidan langsung berjalan begitu saja ke arah kamar Afni.

Zidan membuka pintu kamar, kemudian ia menoleh ke arah Afni yang masih berdiri kaku sambil menundukkan kepala. "Itu bukan Mora, ya?"

Tanpa mendengar jawaban Afni, Zidan langsung memasuki kamar gadis itu dan mengangkat istri nakalnya itu ala bridal style. Zidan mengerutkan keningnya saat melihat baju yang dipakai Mora. Hanya tank top dan celana pendek. Zidan menurunkan Mora di atas ranjang lagi, ia membuka jasnya dan membalutkannya ke tubuh Mora. Setidaknya jasnya bisa menutupi tubuh terekspos milik sang istri. Ia juga mengambil tas dan ponsel Mora yang ada di atas nakas.

Zidan mengangkat Mora dengan hati-hati, ia tidak mau istri nakalnya itu terbangun. Sampai di depan Afni, Zidan tersenyum manis. "Makasih udah mau nampung Mora di sini."

Afni hanya termenung saja, ia tidak membalas perkataan Zidan itu. Ia hanya bisa melihat punggung Zidan yang sedang menggendong sahabatnya itu. Setelah hilang dari pandangan, barulah Afni menjawab, "Sama-sama. Semoga hubungan kalian cepat membaik."

Tbc ....

My Possessive Husband [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang