a Lovely Friend II

1.1K 94 2
                                    

Malam itu, di kantin rumah sakit tempat Kinanti di rawat, Tante Anggie bercerita banyak.

Rupanya banyak kesalahpahaman antara gue dan Kinanti. Mirip kayak waktu nyokap gue kira gue menyempatkah pulang karena Kinanti sakit. Padahal gue aja udah hampir semingguan gak ada kontak sama Kinanti.

Tante Anggie bilang kalau depresi nya Kinanti kumat lagi. Terjadi sekitar sebulan lalu. Kalau memang sebulan lalu mulai depresi lagi, itu tepat saat gue mulai jarang hubungan sama dia. Semenjak kuliah, Kinanti suka pulang malam, lebih ke subuh, kadang gak pulang. Katanya sekarang Kinanti suka dugem. Berarti yang tempo hari gue liat foto dia sama temennya itu bukan yang pertama kali.

Kata Tante Anggie, Kinanti dirawat karena percobaan bunuh diri. Beberapa hari sebelum dirawat, Kinanti dibawa ke klinik untuk berobat, karena beberaap hari Kinanti gak makan dan berujung sakit, obat yang didapat dari klinik waktu itu ditenggak semua sekaligus.

"Si bego!" Pikir gue saat Tante Anggie bilang Nanti mau bunih diri. Ntah gue menyumpah serapahi Kinanti atau diri gue sendiri.

Katanya, waktu sadarkan diri dirumah sakit, Kinanti sering nangis. Awalnya Kinanti gak mau cerita, tapi akhirnya dia bilang katanya karena gue yang udah gak butuh dia lagi. Saat Tante Anggie bilang gitu, gue kaget lah. Karena gak ada sedikitpun pemikiran gue kalau gue udah gak butuh Kinanti.

Ternyata, selama kita gak kontak, sama-sama ada kesalahpahaman pemikiran. Gue mikirnya Kinanti udah seru sama temennya, dan kebetulan diwaktu yang bersamaan gue juga sibuk. Dan ternyata Kinanti mikirnya gue jadi males sama dia karena gue nge-geb dia pergi dugem.

Gue dan Tante Anggie terlalu serius ngebahas Kinanti, sampai gue lupa ada Ratu didepan gue yang secara langsung memperhatikan kita.

"Memang kamu mau sekolah di luar?" Tanya Tante Anggie, bermaksud konfirmasi sebelum lanjut menceritakan tentang Kinanti.

Selain Kinanti berpikir gue udah gak butuh dia, dia juga stress mikirin gue yang mau sekolah di luar negeri, gitu kata Tante Anggie.

"Kenapa gue ngerasa jadi salah banget ya." Gitu kata otak gue. Tapi setelah gue berpikiran seperti itu, seolah Tante Anggie tau apa yang gue pikirin, beliau bilang "Tapi, ini bukan salah mu ya Kirana. Jangan pernah salahin dirimu sendiri..."

"...Ratu. Makannya tambah lagi ya." Kata Tante Anggie tiba-tiba memecah keseriusan pembicaraan kami. Ratu juga terlihat kaget, karena sangat jelas Ratu mendengar dan memperhatikan dari awal pembicaraan kita.

"Eh, Iya Bu, saya udah kenyang." Respon Ratu dengan sangat canggung.

Tante Anggie senyum pada Ratu, "Kalau mau nambah bilang ya."

Lalu Tante Anggie menggenggam tangan gue, dan dengan lirih Tante Anggie bilang "Kalau Kirana cowok... Tante nikahin kalian sekarang juga."

Gue agak tertegun. Gak tau mau respon apalagi.

Saat gue menoleh ke arah Ratu, kami kembali bertabrakan mata, kali ini Ratu terlihat dua kali lebih canggung buru-buru memalingkan pandangannya ke arah yang lain.

Gue melepas genggaman tangan Tante Anggie, dan mencoba menenangkan beliau.

"Tante pikir, dengan salah satu dari kalian menjauh, Kinanti bisa ter-distract dan cepet move on. Tapi malah memperburuk kondisi Kinanti." Lanjut Tante Anggie.

Kata-kata Tante Anggie terdengar seperti memojokan gue ya.

Meskipun Tante Anggie meminta gue untuk gak menyalahkan diri gue sendiri, tapi semua ucapannya seolah membuat gue terlihat jadi tersangka yang membuat Kinanti seperti ini sekarang.

Kinanti & Kirana (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang