Part 13 - Dasar Pemaksa

135K 10.4K 710
                                    

============
Karya ini hanya di publish di Wattpad. Jika kalian membaca karya milik saya, Adellelia di platform selain Wattpad, berarti kalian membaca karya bajakan.    ===========

Wah, thanks for 100K viewers and 13K votes for less than a months.
Sebuah prestasi inih, 🥳🥳🥳

So, here they are the lucky bastard and sayap kupu-kupu merah muda, enjoy ... ☺️☺️☺️
***

I don't know what you're looking for
But I don't think it's me
I wish I could give you my all
Now could it make believe
I don't feel how you feel
I'm just telling it like it is
I don't need you to say those words
no more
I'm just telling it like it is
You got me
~ Like It is - Kygo, Zara Larsson ~
****

Winda POV

Kepalaku pening. Rasanya kedua lututku begitu lemas sehingga tak dapat menopang tubuhku. Tunggu. Tunggu. Ini maksudnya apa sih? Kenapa sudah membicarakan lamaran? Pernikahan? Ya Tuhan, ini semua pasti hanya mimpi kan?!

"Kamu kenapa mukanya kok begitu?" Suara Leonard tiba-tiba saja mengagetkanku. Sontak kutatap pria yang sedang duduk disebelahku. Di kursi plastik warna hijau, di dalam sebuah kedai Sate ayam yang berlokasi tak jauh dari apartemenku.

Wajahnya serius menatapku. Kulihat beberapa bulir keringat yang berada dikeningnya. Ya, mungkin pria ini kepanasan berada di kedai sate kecil seperti ini. Tapi mau bagaimana? Setelah menantang Leonard untuk melamarku, Papa meminta aku dan Leon untuk membeli sate ayam untuk makan malam. Jadi, disinilah kami saat ini, terjebak di sebuah kedai kecil, berdua. Sedang Naysha berada bersama kedua orang tuaku.

Sepertinya aku sanksi dengan perkataan Leonard yang menyatakan anaknya tidak suka berdekatan dengan orang asing. Buktinya pagi tadi anak kecil itu mau mau saja berdekatan denganku. Begitu pula dengan kedua orang tuaku. Saat Mama mengajaknya bercanda, anak itu langsung menanggapi dengan riang gembira. Bahkan, bisa-bisanya anak itu tidak menangis saat aku dan Leonard meninggalkannya hanya dengan kedua orang tuaku. Aneh. Semudah itu anak itu akrab dengan orang-orang yang baru pertama kali bertemu dengannya.

Kuhela nafas panjang menjawab pertanyaan dirinya. Kedua bahuku lunglai tak bersemangat. Bingung harus menjawab apa. Melihat polahku, kerutan di dahi Leonard pun semakin berlipat melihat ekspresiku.

"Kamu tidak merasa hutang penjelasan ke aku?" Kataku. Kutatap dirinya sembari memicingkan kedua mataku.

Leonard sempat tersentak sesaat, lalu wajahnya meringis. Terlihat tak enak hati dengan senyum kikuk yang menghiasi wajahnya.

"Maaf." Jawabnya pelan.

Hanya itu? Setelahnya pria itu malah diam dan mengalihkan tatapannya pada tukang sate yang sedang mengipas sate dipanggangan. Sungguh membuatku gemas. Akhirnya tanpa basa-basi lagi sebuah cubitan kuhadiahi di lengan kanannya yang berada disampingku.

"Aauuww." Pekiknya spontan, dengan suara lumayan keras. Membuat beberapa pengunjung yang sedang makan di kedai tersebut menoleh kepada kami.

"Sakit, Win." Ringisnya sembari mengusap-usap lengannya yang kucubit.

"Biarin! Abisnya kamu ngeselin!" Balasku ketus.

"Aku 'kan tadi sudah minta maaf." Balasnya. Ekspresi wajahnya, duhh... kenapa bikin makin gemes gitu sih?! Batinku. Antara kesal tapi suka. Duh, dilemma deh ini jadinya.

"Hanya itu? Hanya maaf?" Seruku kesal. "Kamu pikir dengan kamu minta maaf begitu terus aku mau maafin kamu, begitu?"

Dengan tampang lugu pria itu mengangguk lalu tersenyum kikuk. "Ya, 'kan di agama tidak baik kalau umatnya saling marahan. Kita harus saling memaafkan, Win." Jawabnya yang membuatku semakin gemas.

TOUCH! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang