🌳[ 7 | THE BEGINNING OF HAPPINESS ]🌳

517 46 0
                                    

Setelah sampai di rumah, Jiwan membuka pagar rumahnya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan pelan menuju pintu belakang untuk masuk ke dalam rumah.

Setelah berhasil masuk lewat pintu belakang yang memang tidak dikunci, Jiwan langsung memasuki kamarnya setelah membuka pintu kamarnya, ia mendapati Mama nya berada di dalam kamarnya duduk di kasur dengan punggung yang bersandar pada dashboard kasur sambil menatapnya tajam.

"Darimana saja Kamu Jiwan?!"

Jiwan tersentak, ia menundukkan pandangan dengan kedua tangan yang bergetar kecil. Jiwan bingung harus menjawab apa. Apa ia harus jujur kalau ia baru saja kabur dari rumah lewat jendela kamarnya?

Tidak.

Itu sama saja dengan bunuh diri. Mama nya akan memarahinya habis-habisan.

"I-itu Jiwan..."

"Dari luar rumah?" Mama nya menyahut dan  masih menatapnya tajam, namun kini dengan suara yang agak pelan.

Nafas Jiwan tercekat mendengar itu. Bagaimana mungkin Mama nya bisa tahu?

"Jiwan, sini Nak!" Wanita itu mengubah posisinya menjadi duduk di pinggiran kasur dan menepuk kasur di sebelahnya, menyuruh putrinya duduk di sana.

Jiwan tidak berani memandang wajah Mama nya, ia sangat takut jika Mama nya yang biasanya tenang itu sudah marah. Dengan sisa-sisa keberanian dalam dirinya, Jiwan melangkah perlahan ke arah Mama nya kemudian duduk disamping wanita itu.

"Jujur sama Mama, Jiwan darimana? Keluar rumah?" tanya wanita itu sepelan mungkin agar tidak membuat takut putrinya.

Walaupun Jiwan takut Mama nya akan marah, ia tetap jujur dan menganggukkan Kepalanya pelan.

Wanita disamping Jiwan itu terlihat menghela nafasnya kemudian memandang Jiwan yang masih menunduk dengan tatapan sendu. "Tidak apa kalau Jiwan ingin keluar rumah. Mama mengerti jika Jiwan merasa tertekan dan harus di dalam rumah terus."

Jiwan terkejut mendengar ucapan Mama nya itu. Sontak pandangannya teralih pada Mama nya yang kini sedang tersenyum lebar padanya. Jiwan mengira Mama nya akan memarahinya saat tahu bahwa ia tadi kabur dari rumah, tapi dugaannya itu salah.

"Tapi kalau Papa tahu bagaimana, Ma?" Ya, Jiwan masih takut mengingat larangan Papa nya.

"Tentang Papa, biar Mama yang mengurusnya. Kamu tidak perlu memikirkan itu, kalau Jiwan ingin bermain keluar rumah,  Mama akan mengizinkan. Jiwan pasti ingin pergi hang out bersama teman-teman dan mengajak teman Jiwan ke rumah, iya kan?"

Hatinya menghangat mendengar ucapan lembut milik sang Mama. Jiwan masih tak menyangka Mama nya akan mengatakan itu.

"Mama tahu Kamu ingin seperti itu. Dan Mama tidak ingin anak Mama sendiri merasa terkekang karena harus pergaulannya dibatasi."

"Mama akan mencoba untuk membuat Papa mu mengerti," wanita itu tersenyum sambil mengelus puncak kepala Jiwan dengan lembut. Ada siratan kecewa dalam bola matanya.

"Tapi Ma. Jiwan tidak ingin kalian bertengkar lagi..." Jiwan menunduk. Ada perasaan takut ketika ia mengatakannya.

Wanita itu tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya. Jadi Jiwan mendengar mereka bertengkar tadi?, pikirnya. Namun, akhirnya ia hanya bisa menghela nafas dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja meskipun ada rasa penyesalan yang menggerogoti hatinya.

"Iya. Mama berjanji akan membicarakan hal ini dengan Papa baik-baik. Papa pasti akan mengerti."

"Mama tidak akan bertengkar lagi dengan Papa kan?"

"Mama berjanji," Wanita itu mengecup kening putrinya penuh cinta.

Wanita itu sebenarnya tidak tahu apa alasan suaminya membatasi pergaulan Jiwan dan dirinya dengan dunia luar. Tapi ada yang lebih penting daripada jawaban atas semua pertanyaannya selama ini, Jiwan tidak boleh merasa terkekang pada masa remajanya. Krena masa remaja adalah masa pencarian jati diri seseorang dan ia tahu masa seperti itu tidak akan datang dua kali.

Ia tidak akan membiarkan putrinya selalu merasa terpuruk akan keadaan seperti ini. Mungkin ini adalah ujian bagi seorang ibu sepertinya. Ia harus bisa membuat putri tunggalnya itu merasakan kebebasan dan kebahagiaan pada masa mudanya.

"Tapi lain kali kalau Kamu ingin keluar rumah, minta izin Mama dulu, ya?"

"Hehehe, maaf Ma. Lain kali Jiwan akan meminta izin kok."

Setelah mendengar perkataan Mama nya tadi, Jiwan merasa lebih tenang dan senang. Akhirnya setelah bertahun-tahun ia di dalam rumah, kini ia bisa mengunjungi dan bermain bersama teman-temannya. Jiwan sangat senang kali ini. Ia juga bisa mengundang teman-temannya kerumahnya juga, tapi tentu menunggu izin dari Papa nya terlebih dahulu.

Dan Jiwan sangat berharap bahwa masalah seperti ini akan berakhir secepat mungkin. Ia ingin sekali menjadi gadis remaja normal seperti yang lainnya.

Atau mungkin tidak?

Jiwan juga berharap bisa tahu apa pekerjaan Papa nya sampai mempengaruhi dirinya seperti ini.




🌳








Saat keluar dari rumah sampai memasuki ruang kelasnya, Jiwan tidak bisa membendung perasaan senangnya. Gadis itu terus saja tersenyum sampai para siswa dibuatnya heran kali ini.

"Ih, dia kenapa?"

"Aneh, senyum-senyum sendiri."

"Tapi Jiwan cantik juga ya kalau senyum."

"Dia gila atau apa ya, dari tadi senyum terus?"

"Kok, Aku ngeri ya? Tapi senyum—"

Jiwan tidak mempedulikan gunjingan yang ia dengar dari para siswa itu dan memilih masuk ke kelasnya dengan langkah yang terlihat bahagia.

"Jiwan, Kamu kenapa?" tanya Saehyun yang sejak awal sudah sampai dikelasnya lebih dulu.

"Aku? Aku kenapa?"

"Tidak seperti biasanya,"

"Memangnya, Aku yang biasanya seperti apa?" Jiwan tidak benar-benar bertanya, itu hanya responnya sesaat. Karena ia kemudian duduk disamping Saehyun.

Saehyun agak berpikir, namun matanya tetap fokus pada ponselnya yang berwarna pink itu. "Eum... Bagaimana menjelaskannya, ya? Kali ini Kamu terlihat lebih ceria, itu saja sih." Saehyun mengetik sesuatu pada ponselnya lagi. Lalu sedetik kemudian ia tersadar. "Eh? Memangnya ada apa sih, Jiwan?"

"Kepo!"

Saehyun mendecih tak terima, lalu memilih tidak peduli dan kembali bermain ponsel. Keheningan terlihat pada mereka berdua. Kedua gadis yang baru saja akrab itu tampak asik dengan dunia mereka sendiri. Memainkan ponsel sambil menunggu bel pelajaran dimulai, hal yang dominan dilakukan para siswa di sekolahnya.

Ditempat lain, salah satu teman mereka sekarang sedang meratapi nasibnya.

Park Jisa.

Gadis itu telat bangun dan sekarang sedang menunggu bus di halte. Lima belas menit lagi gerbang sekolah akan ditutup dan ia masih di halte. Jalanan hari ini tampaknya tidak begitu ramai bahkan bus yang sebelumnya datang sudah lewat dari setengah jam yang lalu.

Jisa mulai gelisah. Uangnya tidak akan cukup untuk memesan taxi, jadi ia hanya bisa menunggu bus selanjutnya datang.

"Aah!! Kenapa belum ada bus sih?!!"

Ditambah lagi, ia belum sempat sarapan pagi. Karena baru bangun jam 06:36, complete sudah kesialannya hari ini.






*******







Next...

IDOL ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang