Chapter 32

22 8 5
                                    

Happy reading ^^



"Tanpa penolakan."

Setelah mengucapkan dua kata tersebut, Dian langsung menahan isak tangis yang terus membeludak. Ia menggigit bibirnya guna melakukan itu, segera Dian melepas sabuk pengaman mobil yang dipakainya.

"Bagus kalau itu yang kau lontarkan." Pergerakan tangan Dian terhenti saat ingin membuka pintu mobil.

"Karena itu yang memang ingin ku dengar," jeda mengisi sebentar, membuat Dian ingin memukul dadanya karena sakit yang bukan kepalang. "Kalimat atau mungkin sebuah pernyataan dari kekalahan seorang Diana Sheramita." Lanjut laki-laki itu, tentu saja Alvero.

Selesai sudah, pertahanan Dian runtuh untuk tidak meluncurkan tetesan air mata yang menurutnya sialan. Tanpa kata pamit, Dian pergi meninggalkan lelaki bermarga Galen itu.

Dan selesai sudah untuk semua kenangan yang tak pernah dilupakan, namun selalu menyakitkan. Terimakasih untuk semua peran yang sudah dilakukan hampir satu tahun ini.

Satu hal yang harus Dian ketahui, Vero tak pernah menatapnya saat mengucapkan dua kalimat yang menghunus dan membuat sirat kebencian hadir terpaksa bagi sang pendengar.

"Say goodbye to falseness in togetherness," lirih Dian sendu.

🕊️🕊️🕊️

Kamu seperti hujan.
Datang tanpa permisi...
Membuat cerita yang tersimpan di memori lalu pergi begitu saja.
Terima kasih karena kau terlalu menyakitkan untuk ku lepas.
Tapi kau jauh lebih menyakitkan jika dipertahankan...

Dian menutup 'buku' bersampul biru muda yang telah lama ia tak kunjungi. Walau hanya sekedar membaca, mengingat kenangan masa lalu yang membawanya ke masa sekarang.

Barulah saat ini ia menggoreskan tinta hitam yang sudah merubah warna kertas putih 'buku' tersebut.

Bersandar di kepala ranjang dengan kaki memeluk lutut, mungkin tidak buruk. Baiklah, Dian akan melakukan itu untuk beberapa saat.

🕊️🕊️🕊️

"Kenapa melihat gue seperti itu?"

Dengan pandangan yang tak lepas dari wajah Giny, Arsya menjawab.

"Kalau dilihat lebih jelas lagi, ternyata wajah lu natural,"

Giny terdiam. "Natural jeleknya." Lanjut Arsya membuat Giny mendelik tajam ke arahnya.

"Apa kau tidak lelah saya pukuli Tuan Arsya yang gila hormat?!" Giny membalas dengan tatapan tajam yang senantiasa menemani. "Bahkan bagi gue itu hanya angin lewat," balas Arsya kelewat santai.

"Iyakah?? Dicubit saja sudah teriak. Apanya yang hanya angin lewat?" Balas Giny membuat Arsya skakmat.

"Yakk! Itu karena kau curang nona bar-bar!"

"Curang darimana huh?! Aish... Dasar---"

"YAKK! GUE BELUM SELESAI NGEDUMEL!" Oceh Giny.

"Silahkan jika nona bar-bar ingin menjadi penghuni tetap stasiun ini," ucap Arsya melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti karena si nona bar-bar.

"DASAR TUAN GILA HORMAT!"

🕊️🕊️🕊️

"Kalau mau itu bilang, bukannya diam-diam tapi kepengen," Giny tersadar dan kaget seperti maling yang tertangkap basah. Hanya karena melihat dengan khidmat Arsya yang memakan semangkuk ramyeon.

"Gak."

Giny mengalihkan pandangannya, menatap sang bumantara. "Hari sudah mulai malam. Apa gak sebaiknya kita pulang?"

This FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang