Chapter 34

22 9 4
                                    

"Lho Kak Dian?"

Dian mencari sumber suara yang memanggil namanya. "Giny?" Dian berjalan menghampiri Giny yang berada di depan pintu belakang rumahnya.

"Kamu baru pulang?" Tanya Dian menyelidik. "Iya kak. Tapi, kakak omelin aja tuh teman kakak! Dia yang memaksa aku, bukan mengajak. Nyebelin kan?" Adu Giny.

"Siapa?" Dian mengerutkan keningnya.

"Tuan gila hormat, Arsya."

"Hah? Kamu dekat sama dia??" Dian curiga, sudah sejauh mana hubungan mereka.

"Ish amit-amit deh kak. Ogah banget dekat sama spesies semenyebalkan itu," ucap Giny geli.

Dian hanya tertawa kecil melihat adik sepupunya. Giny sekarang yang menyelidiki Dian. "Kakak, kok pucat sih??"

Giny merasa telapak tangannya panas saat menyentuh dahi Dian.

"Kakak demam!"

🕊️🕊️🕊️

Giny sedang merawat Dian yang wajahnya memerah akibat demam. Giny mengompres Dian supaya demamnya turun. Ia juga sudah mengantisipasi dengan menyediakan air putih, setahunya air putih itu bisa menurunkan suhu tubuh yang panas karena demam.

Giny terdiam melihat napas kakak sepupunya teratur, menandakan Dian sudah tertidur pulas.

Giny merasa hari ini Arsya berbeda. Menyebalkan sih masih ada, tapi dia merasa sikapnya tak semenyebalkan di awal pertemuan mereka.

•Flashback ON•

"Giny."

"Hmm?" Balas Giny yang masih sibuk memakan ramyeon.

"Mulai saat ini lu adalah sahabat gue," ucap Arsya seperti sebuah perintah.

Giny keselek saat memakan ramyeon. Apakah lelaki ini tidak tahu momen yang tepat? Tapi, apakah ini sebuah karma bagi Giny?

"Sahabat?!" Kaget Giny setelah meredakan rasa pedas di kerongkongannya dengan meminum es teh yang tadi ia pesan.

Arsya mengangguk. "Kau gak usah merasa kepedean dulu. Ini adalah tebusan atas kesalahan yang kau perbuat."

Giny memutar bola matanya malas. "Terserah apa kata kau!"

"Tunggu! Untuk menjadikan kau seorang teman saja harus berpikir panjang. Apalagi sahabat. Dasar ya kau gila!" Lanjut Giny seperti ada pedas-pedasnya gitu.

"Pedas juga omongan lu. Bisa diterima, tapi tidak ada pembantahan atau penolakan," balas Arsya.

•Flashback OFF•

Giny merasa kantuk menyerangnya, dirinya yang tak siap harus berakhir dengan ketiduran. Alhasil, Giny tertidur pulas di kamar Dian.

🕊️🕊️🕊️

Giny terbangun saat jam menunjukkan pukul 3 pagi. Ia memutuskan pindah ke kamarnya dan melanjutkan perjalanan di alam mimpi.

Bel pintu rumah Dian berbunyi.

"Arsya?"

"Dian?"

"Lu mau ngapain pagi-pagi ke sini?" Tanya Dian setelah mengizinkan Arsya masuk.

"Wajah lu kenapa Di? Kok merah?" Arsya tak menjawab pertanyaan Dian.

"Gue demam semalam. Tapi, sudah baikkan kok setelah Giny merawat gue,"

Arsya menepuk dahinya, ia baru ingat tujuan utama ke rumah Dian adalah menjemput Giny.

"Giny mana?"

"Kayaknya masih tidur."

"Anter gue ke kamarnya. Lu tunggu di depan kamarnya, supaya gak jadi masalah yang aneh-aneh."

Dian mengangguk










"Ampun dah anak gadis masih tidur jam segini?!" Omel Arsya saat melihat Giny yang menggulung dirinya dengan selimut. Sekarang, Giny seperti kepompong.

"Hmmmppp." Arsya memencet hidung Giny sampai ia terusik dan bangun dari tidurnya.

Giny memukul tangan Arsya kesal. "Lu gila apa?! Ngapain coba pake begitu tadi?!"

"Supaya lu bangun tidur," jawab arsya merasa tak bersalah.

"Gue tau itu bisa bangunin orang yang tidur. Tapi, itu bisa juga membuat orang tidur selamanya!!" Semprot Giny.

"Sorry, lu bersih-bersih sana. Gue tunggu di ruang tamu. Kita jalan hari ini," ucap Arsya, kemudian berlalu dari kamar perempuan yang menjadi sahabatnya.

🕊️🕊️🕊️

"Mau kemana lagi?" Giny bertanya saat suasana hening menyelimuti.

"Stasiun lagi? Atau mau kemana?" Balas Arsya seperti sebuah penawaran.

"Eum... Boleh deh ke stasiun lagi. Gak terlalu buruk suasananya. Tapi, gue saranin setelah dari stasiun kita nonton bioskop!" Ucap Giny dengan wajah cerianya, kemudian memandang wajah Arsya yang fokus saat mengendarai mobil.

"Itu memang maunya lu. Tapi boleh juga sih."














"Kenapa lu suka banget sama tempat ini?" Tanya Giny ke Arsya, lalu melihat pemandangan sekitar stasiun.

"Sebenarnya, ini tempat yang ingin gue kunjungi bersama perempuan yang gue sukai."

"Eung? Terus gue---maksudnya siapa---eum... Kenapa lu justru mengajak gue ke sini? K-kan harusnya perempuan yang lu maksud," Giny merutuki dirinya sendiri yang gugup.

"Lu salah! Lu harus minta maaf sama perempuan itu!" Lanjut Giny terkesan marah, padahal itu adalah taktik supaya Arsya tidak memperhatikan rasa gugupnya.

Arsya hanya tersenyum kecut. "Untuk apa? Dia belum resmi milik gue. Dia masih jadi milik orang lain," ucap Arsya memandang lurus.

Giny tertegun. "Lu... Menyukai perempuan yang menjadi milik orang lain?" Tanya Giny pelan.

"Siapa?" Tanya Giny lebih lanjut.

"Kakak sepupu lu," balas Arsya. Giny kaget bukan main, beruntung saat ini Arsya masih memandang lurus ke depan.

"Bodoh bukan?" Tanya Arsya.

"Justru gue yang bodoh," gumam Giny lirih, namun masih terdengar oleh lelaki di sebelahnya.

"Lu bicara apa tadi?"

Giny tak bisa membalas dengan suara, namun dengan gelengan kepalanya. Semilir angin datang menemani mereka berdua. Giny bingung, apakah semilir angin bisa membuat pandangannya buram dan berair?

"Gue gak tau itu suatu hal yang bodoh atau bukan. Jujur, gue belum pernah merasakan apa yang lu rasakan."

Arsya menoleh ke arah Giny yang juga menatapnya. "Lu belum pernah merasakan? Lu belum pernah menjalin hubungan? Atau menyukai seseorang?"

Giny menggeleng. "Wajar sih, lu galak gitu. Siapa yang mau?"

Giny menggeram kesal. "Gue serius."

Arsya melihat wajah Giny yang serius. "Tapi, untuk merasakan rasa nyaman dengan seorang lelaki... Pernah," lanjut Giny pelan untuk menahan sesuatu.

"Siapa orang itu yang bisa menaklukkan hati mak lampir seperti lu?" Tanya Arsya penasaran.

Giny tersenyum miris, tapi samar.

"Lu gak perlu tau siapa dia. Intinya, gue yakin rasa nyaman ini akan segera hilang dan gak akan pernah tumbuh menjadi rasa yang lebih---" jawab Giny dengan suara tercekat di akhir.

"Dari sebuah kenyamanan." Lanjutnya.


🕊️🕊️🕊️

TBC

Vote and comment ya reader's!

Love,

Tiara

This FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang