Chapter 41

23 5 0
                                    

Happy reading ^^




Pandangan Cindy kini mengarah ke lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya.

"Kau serius?" Tanya Cindy.

"Kau meninggalkan sebuah kalimat retoris, Nona." Jawab sosok laki-laki itu. Sudah jelas bahwa sebelumnya ia menanyakan perihal melamar pekerjaan di cafe yang dibangun oleh Nyonya Artesyarana, Ibunya Cindy.

"Tapi apa alasannya?" Tanya Cindy yang sebelumnya menatap Dian dan Angel di meja nomor 08. Mereka tampak memperhatikan dirinya yang melakukan interview dadakan di meja lain.

"Apakah itu termasuk ke dalam interview?"

Cindy berdecak kesal. "Kau sangat menyebalkan, Arsya!"

Arsya terkekeh sebentar. "Lalu bagaimana? Apa saya diterima bekerja di cafe ini, Nyonya Cindy?" Arsya bertanya dengan tenang.

Cindy menatap Arsya sebelum menjawab,





"Saya ingin sekali memecat Anda sebelum bekerja, Tuan!" Jawab Cindy.


🕊️🕊️🕊️

"Bagaimana?" Tanya Dian seperti menyerbu, saat Cindy kembali ke meja yang mereka tempati.

"Biarkan aku bernapas dulu, Di." Tahan Cindy.

"Sebelum-sebelumnya kau tak pernah bernapas? Begitu?" Tanya Angel polos. Entah itu polos atau pura-pura polos. Mungkin lebih tepat option kedua.

Cindy menatap kekasih Joshua tajam. "Dia benar-benar niat bekerja paruh waktu di cafe ini," cerita Cindy.

"Rajinnya." Komentar Angel.

"Apa kamu tau alasannya apa? Gak mungkin karena faktor ekonomi. Kita tau kan ia berasal dari kalangan yang seperti konglomerat? Ah, mungkin itu perumpamaan yang lumayan tepat." Cerocos Dian.

"Apa kamu mau menyusul Vero?"

"Gak nyambung. Kenapa ujungnya membahas dia?" Ada apa ini??? Dian tidak paham.

"Jerman. Hanya itu alasan yang diberikan oleh Arsya."

Dian terdiam. Oh God! Apakah dirinya sudah melakukan kesalahan??

"Kalian ingin berlibur ke Jerman?" Gabung Angel tidak nyambung.

"ANGEL!!"

🕊️🕊️🕊️

Dian membaringkan tubuhnya ke kasur miliknya. Menatap langit-langit kamar yang membuatnya teringat kejadian beberapa waktu lalu.

•Flashback ON•

"Menyerahlah!!"

"Tentu tidak. Biarkan gue melakukan sebuah perjuangan." Balas Arsya tenang.

Dian menatap tak percaya. "Cukup Sya! Apa lu gak cukup menorehkan luka?"

"Anggap itu badai. Dan sekarang, gue akan datang sebagai penangkal badai itu," balas Arsya.

"Terserah. Anggap gue sudah melakukan sebuah kesalahan, karena sudah memberitahukan keberadaan Giny ke lu. Tapi, manfaatkanlah kesalahan gue ini sebagai peluang." Ucap Dian ke Arsya yang enggan meninggalkan stasiun.

"Akan gue usahakan."

•Flashback Off•

Dian tersenyum mengingatnya. Takjub akan kegigihan Arsya. Bolehkah Dian berharap? Bolehkah dirinya berharap kegigihan itu menular ke Alvero?

This FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang