Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Kiara masih berada di kamar Reagive. Ia bingung, sepagi ini apa yang harus ia lakukan. Ini bukan rumahnya. Mungkin ia akan kembali tidur jika ini bukan di mansion keluarga Lange. Ia tidak mungkin melakukannya. Bisa-bisa citranya sebagai gadis penurut dan rajin akan sirna. Apalagi ia baru satu malam berada disini.
Kiara melirik wajah tenang Reagive yang masih terlelap. Mungkin ia akan meminta bantuan dari laki-laki itu. Jika dia bisa dimintai tolong, tapi rasanya sulit. Ah, apa salahnya mencoba.
"Kak, bangun." Kiara mengguncang lengan Reagive berkali-kali.
"Berisik tau nggak sih, Ra." Reagive menggeliat di balik selimut tebal miliknya.
"Kak, aku bingung mau ngapain. Aku malu buat ke bawah."
"Ya tinggal ke bawah. Ngapain harus malu." Jawab Reagive dengan mata yang masih ia tutup rapat dan suara serak khas bangun tidur.
"Terus, di bawah ngapain?"
"Bantuin mama sama bibik di dapur." Reagive semakin menutup rapat tubuhnya dengan selimut. Mengisyaratkan bahwa dia tidak mau diganggu dan melanjutkan tidurnya.
Kiara memilih untuk turun ke bawah dan mengikuti saran Reagive. Mungkin Mama Rani akan membutuhkan bantuannya. Dilihatnya, Mama Rani tengah sibuk mempersiapkan sarapan mereka. Ia memasak semua sendiri, tanpa pembantu seperti yang diucapkan Reagive.
"Biar Kiara bantu, Ma." Ujar Kiara lembut
"Udah bangun, Sayang. Gimana tidurnya? Nyenyak?" Kiara mengangguk.
"Mama masak apa?" Tanya Kiara untuk memecah canggung dalam dirinya.
"Cuma nasi goreng. Ini juga udah mau selesai." Kiara merasa tak enak hati, pasalnya ia bangun terlalu siang untuk porsi seorang ibu rumah tangga. Ia jadi tidak bisa membantu orang-orang di sini. Meski ia bukan datang sebagai pembantu, tapi Kiara enggan jika hanya sekedar numpang hidup di rumah mewah mertuanya. Setidaknya ada pekerjaan yang bisa ia lakukan untuk mengisi waktu luangnya, selama ia masih cuti sekolah.
"Maaf yah, Ma, Kiara bangun kesiangan."
"Nggak papa kok, Ra. Mama maklumin, pengantin baru kadang emang suka lupa sama semuanya." Rani terkekeh pelan. Kiara yang menyadari maksud ucapan mertuanya itu, langsung mengatupkan mulut rapat-rapat dengan mata yang membelalak lebar. Bagaimana Mama Rani bisa berfikir sejauh itu. Lagi pula kan ia dan Reagive masih SMA. Untung saja Reagive masih waras dengan tidak melakukan apapun padanya. Kalo tidak, bisa runyam mentalnya. Kiara menggelengkan kepalanya cukup keras. Kenapa ia jadi ikut memikirkan hal itu. 'Sadar Kiara'.
Suasana makan di rumah Reagive terasa begitu khidmat. Entah kapan kali terakhir Kiara merasakan hal semacam ini. Ah, lebih tepatnya ia tidak pernah merasakannya. Ayahnya akan pergi pagi-pagi sekali dan mengabaikannya. Ketika teman sebayanya pergi ke sekolah di antar oleh ayah mereka, Kiara hanya bisa tetsenyum getir. Hatinya sudah rapuh sejak ia kecil. Sehari-hari, ia hanya melihat bundanya menangis. Lucu sekali hidupnya.
Di tengah acara sarapan mereka, suara Reagive terdengar menginterupsi.
"Ma, pa, Reagive pengin tinggal di apartment aja." Ucapan itu membuat Marcel dan Rani saling bersitatap. Apa yang ada dalam benak putra mereka? Apakah rumah yang selama ini mereka tempati tak bisa membuatnya nyaman? Bukankah Reagive tak pernah berniat menghuni apartment? Mengapa sekarang ia jadi meminta untuk tinggal di sana?
"Nggak, Give, kamu nggak bisa ninggalin kita kayak gini dong, apa rumah ini kurang besar buat kamu sama Kiara? Atau gimana, sih, Kok tiba-tiba kamu mau ninggalin mama." Protes Rani.
"Enggak gitu, Ma. Sekarang kan Reagive udah punya istri, Reagive pengin menjalani hidup Reagive sendiri. Reagive pengin mandiri, Reagive pengin ngidupin istri Reagive pake cara Reagive sendiri. Nggak pake uang papa lagi." Terang Reagive meyakinkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
PSITHURISM
Roman pour AdolescentsGadis itu tak pernah menyangka bahwa kematian sang ibu akan membawa petaka lain dalam hidup damainya. Ia dipaksa menikah dengan kakak kelasnya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu benar-benar merubah segalanya. Ketika ego masih menjadi senjata dari...