Setelah kejadian semalam, Rani melarang anak dan menantunya itu kembali ke apartmen. Namun, Reagive kekeuh menolak permintaan sang mama. Ia tidak bisa terus tinggal di sini. Karena bagaimanapun, sekarang rumahnya adalah apartmen. Bukannya tidak nyaman dengan rumah yang menjadi saksi masa kecilnya ini, tapi Reagive tak mau ambil zona nyaman dengan menumpang di rumah orang tuanya. Apartemennya mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mansion ini. Tapi, sekarang, apartmennya adalah tempat ternyamannya. Ia bisa menikmati apa yang ia miliki di sana. Hasil kerja kerasnya sendiri.
"Kamu beneran, nggak mau nginep di sini lagi?"
"Besok sekolah, Ma."
"Pulang pagi kan bisa."
"Nggak bakal keburu."
"Tapi mama masih khawatir sama kondisi kamu."
"Reagive udah gede, Ma. Lagian sekarang ada Kiara yang bisa ngurusin Reagive." Rani hanya bisa pasrah dengan keputusan sang anak. Keras kepalanya itu, entah ia tiru dari siapa. Apa mungkin dulu Marcel juga keras kepala?
"Padahal papa itu belum pulang, loh."
"Emang, papa pulangnya kapan?" Kini Kiara yang bertanya.
"Nggak tau tuh, diteleponin juga nggak bisa-bisa."
"Papa nggak bakal pulang kali, Ma." Sambar Reagive.
"Mulutmu, Give." Reagive nyengir. Ia sangat suka menggoda mamanya yang masih seperti anak muda itu. Meskipun sudah berumur, tapi jiwa mudanya masih berkobar. Tak jarang, mama dan papanya itu, bertingkah seperti pengantin baru. Dan itu cukup membuat Reagive menahan mual.
"Bercanda, Ma." Ucap Reagive seakan tanpa dosa.
"Kamu tuh kenapa sih, suka bikin mama kesel?" Rani bersungut marah. Kiara ingin tertawa melihat interaksi ibu dan anak itu. Mereka terlihat seperti keluarga yang sangat harmonis. Keributan yang mereka ciptakan hanya seperti pemanis. Mereka tetaplah keluarga bahagia yang diimpikan semua orang. Termasuk dirinya.
***
Kiara merasa hidupnya semakin bosan saja. Hari-harinya tidak berwarna sama sekali. Sekolah, beres-beres, masak, tidur, terus seperti itu setiap hari. Tidak ada yang berkesan. Hubungannya dengan Reagive pun terkesan jalan di tempat. Tidak ada perubahan sampai saat ini. Entahlah, laki-laki itu menganggap apa pernikahan ini. Meskipun terkadang, ia bisa berubah sangat manis. Tapi, ia tak pernah terang-terangan menyatakan status hubungan mereka.
Sore ini, Kiara memutuskan untuk pergi ke toko buku. Katanya, ada novel baru dari penulis favoritnya. Ia tak ingin melewatkan kesempatan ini. Ia harus pergi. Tapi masalahnya adalah, meminta izin pada Reagive tidak semudah itu. Laki-laki itu pasti akan bertingkah menyebalkan. Kiara berjalan ke arah Reagive yang tengah berdiri di balkon apartmennya
"Kak, gue izin keluar, yah." Reagive memandang Kiara dari ujung kepala sampai kaki. Gadis itu sudah rapi dengan sweater warna kuning kunyit dan celana jeans hitam panjang. Tak lupa ia menenteng sling bag hitam yang mempermanis tampilannya. Reagive terdiam beberapa saat, kemudian tersadar kembali.
"Kemana?"
"Toko buku."
"Ngapain?"
"Orang kalo ke toko buku ngapain?"
"Gue ikut."
"Ih...nggak. Ntar lo rese. Lagian, gue nggak bakal kenapa-kenapa juga kok."
"Tapi, gue yang kenapa-kenapa." Reagive menarik kunci mobilnya dari atas meja. Dagu Kiara sudah turun sejak tadi. Huh. Rencananya untuk menikmati sore yang indah kacau sudah. Padahal ia sudah berencana untuk ke toko kue, membeli gellato dan menonton film. Sudah lama ia tidak menonton di bioskop. Ia hanya menikmati film-film favoritnya di netflix. Kiara ingin berteriak sekarang. Kenpa suaminya ini sangat......arghhhhh.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSITHURISM
Teen FictionGadis itu tak pernah menyangka bahwa kematian sang ibu akan membawa petaka lain dalam hidup damainya. Ia dipaksa menikah dengan kakak kelasnya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu benar-benar merubah segalanya. Ketika ego masih menjadi senjata dari...