Kiara menatap pusara bundanya penuh pilu. Hari ini pemakaman bundanya. Tidak banyak yang hadir, hanya sedikit keluarga dan kerabat yang datang. Ah iya, bundanya memang tidak sepenting itu di mata keluarga besar ayahnya.
Kiara berpikir hidupnya berantakan. Tidak ada yang bisa menjadi tempatnya bersandar. Bundanya, satu-satunya manusia yang paling memedulikan Kiara, kini pergi sudah. Kemana ia akan pulang? Rumah yang selama ini ia anggap sebagai tempat kembali, tak lain hanyalah sebuah bangunan tinggi nan angkuh, dingin dan seperti tanpa kehidupan. Hanya ada ia dan beberapa pembantu yang menemaninya. Buakn rumah seperti itu yang diinginkan Kiara. Tidak ada tawa hangat yang seperti anak-anak sebayanya dapatkan. Hidup dilingkungan yang tidak diinginkan tidak semudah itu. Ia hanya anak hasil dari kecelakaan orang tuanya.
Bundanya hanya karyawan biasa yang bekerja di kantor ayahnya. Suatu saat ayahnya mabuk dan melakukan hal yang sama sekali tidak diinginkan terhadap bundanya. Tidak ada yang menginginkan Kiara di dunia ini selain bundanya. Bahkan ayahnya sendiri pun hanya menganggapnya sebagai bentuk tanggung jawab, bukan sebagai rasa syukur serta kasih sayang atas kehadiran dirinya.
Bagaimana Kiara bisa rela, satu-satunya sumber cinta yang bisa ia rasakan, harus pergi jauh dan meninggalkannya sendirian.
Sepi, kosong, hampa.
Hanya itu saja yang bisa ia rasakan.
Ditengah lamunannya, sebuah telapak tangan mengusap punggungnya lembut. Kiara menoleh. Wanita paruh baya itu mencoba tersenyum pada Kiara. Wanita itu bernama Rani. Sahabat bundanya.
"Ayo, Ra, kita pulang."
"Tan, Kiara mau di sini aja nemenin bunda." Kiara masih saja sesenggukan.
"Udah mulai gelap, Sayang. Bunda pasti sedih banget di sana liat Ara nggak mau pulang. Ara yang paling tau penderitaan bunda. Bunda sekarang udah nggak sakit lagi, udah bahagia, Ara brati juga harus bahagia." Rani mencoba mengangkat tubuh Kiara mengajaknya berdiri.Dengan berat hati Kiara mulai melangkah pergi. Rani masih merangkulnya. Jaga-jaga kalau Kiara terjatuh, mengingat gadis itu yang tidak bertenaga sama sekali.
Sesampainya di kediaman Kiara, ia langsung pergi ke kamarnya. Sedangkan Rani dan Marcel, suaminya, berniat menemui Farhan, ayah Kiara. Mereka berdua menghampiri Farhan di ruang kerjanya. Farhan mengernyit melihat kehadiran Marcel dan Rani di ruangannya.
"Mau ke mana?"
"Aku ada urusan di Blitar. Meeting resort baru."
Rani menatap nanar Farhan yang sudah mempersiapkan keperluan kerjanya di luar kota.
"Han, kamu gila? Istri kamu baru aja meninggal dan kamu malah mau ke luar kota? Otakmu dimana, Han?"
Farhan menarik napas dalam, "ini klien penting, Ran, aku harus ke sana."
"Kiara gimana? Dia butuh support dari kamu. Dia butuh teman yang bisa nenangin dia." Kali ini Marcel ikut buka suara.
"Jangan terlalu mencampuri urusan aku, Cel. Kiara anak aku dan aku kerja juga buat dia. Dia udah hidup enak selama ini tanpa kekurangan apapun, apa lagi?"
"Mulai sekarang,Kiara tinggal sama aku." Ucap Rani final.
Farhan melengos lalu menghembuskan napasnya kasar. Ia mendekat ke arah Rani dan Marcel.
"Aku titip Kiara." Farhan pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Rani tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada ayah sejenis Farhan di dunia ini. Marcel menenangkan Rani yang berusaha untuk mengejar Farhan.
"Nggak ada gunanya ngejar Farhan. Kita harus ngomongin ini sama anak kita dulu. Ayo pulang."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PSITHURISM
Teen FictionGadis itu tak pernah menyangka bahwa kematian sang ibu akan membawa petaka lain dalam hidup damainya. Ia dipaksa menikah dengan kakak kelasnya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu benar-benar merubah segalanya. Ketika ego masih menjadi senjata dari...