Tiga Puluh

804 42 0
                                    

Hari yang paling ditakuti Kiara, akhirnya tiba. Hari ini adalah hari pernikahan ayahnya dan Tante Gina. Kiara merasakan pedih yang mungkin dirasakan bundanya diatas sana. Pesta yang sangat meriah. Ia bahkan tak pernah menemui hal semacam ini ketika bundanya masih hidup. Kiara memandang foto bundanya dari ponsel. Senyum wanita itu tak pernah lekang meski jiwanya sudah tiada.

"Bun, bunda bahagia?" Kiara mengusap potret wanita yang seolah tersenyum padanya. Air mata Kiara mengalir deras.

"Kenapa di sini?" Kiara menoleh saat suara Reagive menelisik inderanya.

"Nggak mau masuk?" Tanyanya lagi.

"Nggak suka rame." Reagive tersenyum lalu menatap maklum. Tidak ada anak yang rela melihat ayahnya bersanding dengan wanita lain selain ibunya. Apalagi, Kiara adalah orang yang paling dekat dengan bundanya. Tidak heran, jika banyak hal dari teman mamanya itu, yang menurun pada putrinya.

"Masuk bentaran yuk. Belum ngucapin selamat, kan?" Ucapan Reagive ada benarnya juga. Ia tidak ingin di cap sebagai anak durhaka oleh tamu yang tak menyukai image ibunya. Banyak dari mereka yang tidak terima bahwa bundanya yang kampungan, menikah dengan ayahnya yang seorang konglomerat. Masa lalu yang terlalu menyedihkan untuk dikenang.

"Anterin, yah." Reagive mengulurkan tangannya pada Kiara. Ia menyambut uluran tangan Reagive dengan senyum getirnya.

Keputusan untuk meninggalkan pesta lebih cepat, mungkin akan menjadi solusi terbaik bagi dirinya. Keakraban ayahnya dengan keluarga barunya sangat menyakitkan bagi Kiara. Ia bahkan tidak diajak foto keluarga bersama. Ayahnya terlihat bahagia. Ayahnya bahkan tak mencarinya sama sekali. Seakan ia adalah orang yang sangat tidak diharapkan kehadirannya.

Kiara dan Reagive menemui ayah. Kiara tidak akan mau kalau harus sendirian.

"Ayah, ayah bahagia?"

"Sangat, Sayang." Rona itu memang tak dapat ditutupi sang ayah. Ia memang saat yang membahagiakan, bukan?

"Kalo gitu, Ara turut bahagia. Ara pamit pulang dulu." Kiara menyalami ayahnya, setelah Reagive juga mengucapkan selamat pada ayahnya.

"Kamu nggak mau nginep di sini, Ra?" Tawar Gina.

"Enggak, Tan. Kak Reagive ada urusan." Elaknya. Padahal, Reagive sedang free hari ini. Ia sengaja mempercepat segala urusannya untuk ayah mertuanya. Tapi, sepertinya Kiara belum sudi untuk menerima keluarga barunya.

"Ya udah, jagain istri kamu baik-baik, Give. Ayah nitip dia sama kamu." Ayah mengusap bahu Reagive.

"Ayah tenang aja." Reagive merangkul Kiara posessive. Memang sudah kewajibannya untuk menjaga Kiara. Tanpa dimintapun Reagive sudah pasti melakukannya.

Shami tak tahan melihat pemandangan di depannya. Hatinya nyeri. Kenapa harus Kiara, yang sekarang sudah menjadi adik tirinya. Ia tidak menyukainya. Shami enggan menatap mereka. Ia pura-pura memainkan buket bunga milik mamanya. Sesak sekali melihat laki-laki yang sangat ia sayangi bersama orang yang tidak ingin ia kenal sama sekali.

"Sham, kita pamit." Cicit Reagive. Shami tersenyum kecut, tak ingin menjawab.

***

Kiara membanting tubuh lelahnya di kasur. Hidupnya kian terasa berat saja. Ia rindu bundanya. Biasanya, ketika Kiara sedih, bunda akan selalu memberinya coklat panas dengan berbagai topping. Apakah Tante Gina juga akan sesayang itu? Atau minimal seperti Mama Rani. Kiara megusap wajahnya kasar. Ia mencoba memejamkan matanya. Sulit sekali terlelap malam ini. Padahal udaranya tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas.

Kiara membuka ponselnya, ia membuka aplikasi oranye yang biasa ia pakai untuk mengusir rasa bosannya. Kiara terus membaca sampai larut. Ia tak sadar jika jam terus berjalan dan sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Alarm dari kamar Reagive pun berbunyi nyaring. Kiara terlonjak kaget. Ia sudah membaca 10 judul buku, ternyata. Ia segera memejamkan matanya, mungkin tidur satu jam akan menghilangkan mata pandanya. Belum sempurna terlelap, Reagive sudah riweuh dan mengganggu tidurnya. Seperti biasa, Reagive akan meminta tolong padanya untuk dicarikan ini itu. Padahal, terkadang benda-benda itu sangat mudah ditemukan di lemarinya.

"Ra, kamu ada liat jas OSIS aku nggak?" Kiara mendengus, matanya bahkan belum terbuka sempurna.

"Cari di lemari, Kak." Jawab Kiara malas.

"Udah aku cari tapi nggak ada."

"Nanti kalo ada, awas yah?" Reagive mengedikkan bahunya. Kiara beranjak dari kasurnya menuju ke kamar Reagive. Ia membuka lemari Reagive dan mulai mencarinya. Baru beberapa kali ia mengedarkan netranya, ia sudah menemukan benda bernama 'jas' itu. Kiara mencebik, lalu menatap Reagive horor. Ia membeber jas Reagive di depan wajah pemiliknya.

"Ini apa? Kalo aku bilang ada ya ada."

"Sumpah tadi nggak ada." Reagive mengacungkan jari telunjuk dan jari tenganhya. Kiara bersungut kesal lalu, melengos begitu saja. Selalu seperti itu. Benda yang sudah di depan mata saja kadang tidak bisa dilihat. Entahlah, tapi saat ibu rumah tangga yang mencarinya, tak akan butuh waktu lama untuk menemukannya. The power of emak-emak, memang.

***

"Give, lo udah dapet apa dari Kiara?" Semua yang berada di sana mentap Azril aneh sekaligus penasaran.

"Maksud lo gimana?"

"Ya maksud gue, lo kan udah kawin sama Kiara, lah sebagai laki-laki pasti lo dapet hak, dong?"

"Ck. Kawin bahasa lo. Nikah woy, nikah." Tukas Milan.

"Gue makin nggak ngerti lo ngomong apaan, Ril."

"Susah bener sih, ngomong sama lo. Maksud gue itu, lo udah ngapain aja sama Kiara, Bego."

"Ngapain emang?" Reagive semakin berbelit-belit. Azril memang keterlaluan. Membicarakan hal seperti ini di depan banyak orang. Dikira rumah tangganya adalah konsumsi publik?

"Lo bego apa gimana, sih?"

"Gue melakukan apa yang harusnya dilakukan suami istri." Reagive dengan santainya menjawab Azril. Ia tidak tau kalau ucapannya barusan membuat orang-orang yang tengah bersamanya melongo. Reagive menautkan kedua alisnya. Mengapa mereka menatapnya seperti itu. Apa yang salah dengan ucapannya? Ia rasa sudah benar, dirinya dan Kiara memang sudah melakukan kewajiban masing-masing. Ia mencari nafkah dan Kiara mengurus keperluan rumah tangga.

"Lo bener-bener udah kawin? Jadi pengin kawin gue." Azril menggeleng tak percaya.

"Bukannya lo kolektor pengaman sejati?" Ledek Milan.

"Kalian bahas apaan sih?" Shami berdecak kesal. Pembahasan macam apa ini? Tidakkah mereka tahu bahwa hatinya memanas? Baiklah tidak ada yang peduli tentang perasaannya memang. Dunia semenyebalkan ini.

"Beb, sekarang lo sama Reagive udah jadi adik sama kakak ipar?" Ujar Azril.

"Apaan sih, lo." Shami menjawab ketus. Ia beranjak dari tempatnya dan pergi dari orang-orang menyebalkan seperti mereka.

"Lo lagi kenapa sih, Sham? Nggak biasanya lo kayak gini."

"Lo pikir, kalo lo masih punya otak." Shami meninggalkan mereka.

"Kenapa, sih?" Yang lain hanya mengangakat bahu. Shami tidak pernah berubah. Ia selalu bertingkah kekanakan untuk masalah kecil. Tidak mau memahami orang lain tapi selalu menuntut kepahaman yang lain.

______________________________________

Votementnya

Lup

R







PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang