Tiga Puluh Tujuh

1K 41 0
                                    

Mungkin, hari ini adalah hari terakhir Kiara melihat Reagive. Untuk beberapa tahun ke depan, ia akan jauh dari laki-laki itu. Siapkah? Kiara yang akan merasa sendiri lagi. Kepada  siapa ia akan menyandarkan tubuh lelahnya? Pada siapa pula ia akan meminta bantuan mengerjakan soal-soal sulit? Dan pada siapa ia akan membagi keluh kesahnya? Kiara takut menghadapi hari-hari sendirinya nanti. Meski, ia akan tinggal bersama Rani dan Marcel, ia akan tetap merasa sepi.

Reagive memeluk tubuh Kiara dari belakang tanpa seizinnya. Membuat Kiara menoleh ke arah Reagive. Wajah mereka begitu dekat. Hingga Kiara dapat merasakan dengan jelas, deru napas hangat dari Reagive.

"Jangan nangis." Ucap Reagive lembut.

"Aku takut kamu nggak balik lagi."

"God. Kiara, keluarga aku di sini. Semua orang yang perlu aku bahagiain ada di sini. Termasuk kamu. Aku pasti pulang, Ra."

"Come back soon." Kiara menarik kerah Reagive lebih dekat ke arahnya. Reagive mengernyit bingung. Sejurus kemudian, Kiara sudah mendaratkan bibirnya di bibir Reagive. Hanya kecupan singkat namun sukses membuat keduanya terdiam cukup lama.

"Ra."

"Ciuman perpisahan." Ujar Kiara singkat. Ia seperti tak punya muka untuk memandang wajah Reagive.

"Kecupan, Ra, bukan ciuman."

"Sama aja."

"Beda, mau aku tunjukin?" Sepertinya Kiara menyesal telah memulai duluan. Reagive benar-benar menunjukkannya. Lain kali ia tidak akan melakukannya lagi. Tidak akan.

Kiara memegang bibirnya sendiri. Apa itu tadi? Reagive memberikan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan. Ia malu sekali, sudah memancing jiwa liar Reagive. Kiara masih mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Sedangkan, dengan santainya, Reagive malah menampilkan tatapan devilnya. Tidakkah ia tau, bahwa jantungnya mungkin sudah tidak berada di tempatnya lagi?

"Sekarang udah tau?" Kiara menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Ia menghindari tatapan Reagive.

"Kenapa sih, wajahnya pake di tutup segala."

"Aku malu, Kak. Aku nggak punya muka buat liat kamu. Kamu nyebelin." Reagive menarik Kiara ke dalam dekapannya. Ia tersenyum melihat tingkah polos Kiara. Istri kecilnya ternyata sepolos ini.

"Tadi itu, buat ngingetin kamu, kalo kamu milik aku selamanya."

"Harus kayak gitu? aku masih sekolah, Kak."

"Ra, tadi kita cuma ciuman, nggak lebih. Nggak akan terjadi apa-apa sama kamu. Mau nglakuin seribu kali pun kamu nggak bakal kenapa-kenapa."

"Tapi kamu jahat. Aku malu banget."

"Udah dong, Ra. Kamu istri aku, bukan orang lain." Reagive jadi merasa telah merampas permen dari seorang anak kecil. Ia mengelap bibir Kiara menggunakan ibu jarinya.

"Itu tandanya kamu milik aku. Dan aku nggak mau, ada orang lain yang bisa memiliki kamu. Karena hanya aku yang boleh melakukannya." Kiara diam, ia tidak paham dengan ucapan Reagive. Yang dapat ia tangkap hanya laki-laki itu sangat menyayanginya. Tidak ada hal lain yang bisa mengubah rasa cinta mereka. Rasanya akan tetap sama meskipun nanti jarak menjadi pemisah mereka.

***

Bandara Soekarno-Hatta sangat ramai. Semua orang bersiap untuk mengantarkan kepergian Reagive. Ada hal yang menarik di sini. Lama tak terdengar kabarnya, Ica dan Juan telah resmi berpacaran. Hal itu, tak luput dari Ica yang berjuang keras untuk membantu Juan keluar dari masa lalunya.

Juan pun tidak pernah menyangka, bahwa masa depannya adalah sahabat SMP nya, Ica. Sebenarnya, Ica sudah menyukai Juan saat mereka masih SMP. Namun, Ica tak pernah sudi untuk menunjukkannya. Ia terlalu naif membiarkan Juan jatuh cinta pada Kathya. Awalnya, Ica pikir, setelah kepergian Kathya, ia akan bisa bersama Juan. Justru hal itu membuat mereka semakin jauh. Persahabatan mereka berantakan. Hingga pada awal masa SMA, ia kembali dipertemukan dengan Juan yang malah jatuh cinta pada sahabatnya, lagi. Kiara. Setelah melewati bermacam-macam hal yang begitu rumit, akhirnya laki-laki itu menyadari tentang perasaan Ica untuknya. Perasaan yang lebih besar dari rasa cintanya pada Kathya.

"Wih, nggak ada angin nggak ada hujan, Neng Ica udah lengket aja sama A Juan." Ledek Azril.

"Apaan sih, lo. Mau gue kepang mulut lo."

"Sadis amat sih, Bu."

"Biarin."

"Ca, lo jahat banget, yah, nggak ngasih tau gue soal lo sama Kak Juan." Kali ini, Kiara yang ikut berkomentar.

"Nggak sempet."

"Lo juga, Kak, lo kenapa nggak bilang sama gue coba?" Kiara beralih menatap Juan.

"Gue juga nggak tau, nggak ada rencana buat gue jadian sama Ica. Tapi, takdir tuhan yang udah nyatuin kita."

"Ciahhh, sok puitis lo." Komentar Milan pedas.

Kiara tersenyum, akhirnya semua masalahnya dapat terselesaikan. Meski hari ini, Shami tidak ikut untuk mengantarkan Reagive, namun Kiara dapat merasakan perubahan diri Shami. Di tengah morning sicknya, Shami masih mau berepot-repot membuatkan bingkisan untuk Reagive. Hal itu membuat Kiara merasa sangat lega.

Kembali pada tokoh utama. Air mata Kiara kembali lolos saat operator bandara mengatakan bahwa penerbangan menuju London tinggal sepuluh menit lagi. Reagive menyalami semua orang yang hadir di sana. Giliran ia menatap Kiara. Ia tau gadis itu tengah menahan air matanya.

"Jangan nangis, Ra."

"Nggak, aku cuma kelilipan." Kiara mengucek matanya yang mulai memerah.

"Alesan klasik. Bandara terlalu steril untuk debu yang membuat mata merah." Reagive mengecup puncak kepala Kiara lama.

"Nyebelin."

"Kalo kamu minta aku buat nggak pergi, aku nggak bakalan pergi."

"Ya jangan lah. Perusahan butuh kamu, dan anak aku butuh papa yang berpendidikan hebat."

"Aku cuma pergi sebentar."

"Empat tahun itu lama." Elak Kiara

"Cuma empat puluh delapan bulan."

"Tapi, ada seribu empat ratus enam puluh hari."

"Niat banget ngitungnya?" Ledek Reagive untuk menghibur Kiara.

"Jangan nyebelin. Aku juga udah nyiapin kalender empat tahun kedepan."

"Jaga baik-baik istri gue, yah, Bro." Ucapnya pada Milan dan Azril.

"Siap, calon CEO Lange's Corp." Ucap mereka kompak sambil memberi hormat layaknya sedang upacara bendera.

"Aku bukan anak kecil, yah. Nggak perlu lah."

"Aku takut kamu ke lain hati, gimana?"

"Yang harusnya takut itu aku. Kan di Inggris banyak bule cantik." Ujar Kiara sinis.

"Kalo cinta aku udah stuck di kamu?"

"Tau lah. Udah sana masuk." Kiara mendorong tubuh Reagive agar menjauh darinya.

"Ma, Pa, Reagive pamit. Doain Reagive ya, Ma, Pa. Reagive nitip Kiara juga."

"Kamu nggak usah khawatir soal Kiara. Dia itu bukan menantu kami, tapi putri kami."

Reagive melambaikan tangannya ke arah Kiara dan orang-orang yang berada di sana. Ia memasuki kabin pesawat tepat sebelum pintu pesawat ditutup.

Kiara menatap pilu saat British Air Force mengudara. Ia memeluk Rani erat. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar ditinggalkan Reagive. Meski untuk sementara, tapi, sukses membuat Kiara merasa kehilangan, lagi.

'Sampai jumapa untuk beberapa ribu hari ke depan, Tn. Muda Lange.'

______________________________________

End.

Tinggal satu part lagi yah. Epilognya.

Votementnya yukkk

Lup

R

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang