Enam Belas

906 49 1
                                    

Anniversary ke 20 bagi Rani dan Marcel mungkin sebuah kebanggaan tersendiri. Bertahun-tahun mereka menjalani kisah penuh suka duka. Pun tahun ini mereka dihadiahi keluarga baru. Menantu kesayangan mereka. Digelar sederhana, pesta itu tak luput dari keramaian. Istilah sederhana keluarga Lange ternyata seramai ini. Semua tamu yang hadir adalah rekan bisnis Marcel dan teman sosialita Rani. Semuanya high class community.

Bukannya mendampingi mertuanya, Kiara justru masih berada di apartmennya. Kiara masih sibuk mencari dress yang ingin ia kenakan. Akhirnya, pilihannya jatuh pada dress berwarna marun. Suara ketukan pintu yang berulang-ulang membuat Kiara kesal.  Itu pasti suaminya.

"Masuk. Nggak di kunci." Teriaknya.
Reagive berdiri di ambang pintu. Ia penasaran, apa saja yang dilakukan istrinya selama ini. Mereka bisa terlambat. Tapi lihat. Istrinya masih berpoles di depan cermin. Wanita memang semenyebalkan ini. Kiara memoles bibirnya dengan warna yang senada dengan dressnya. Ternyata Reagive masih memperhatikannya. Reagive mengusap wajahnya kasar, kala mendapati bibir Kiara yang terlihat begitu menggoda imannya. Kenapa jiwa liarnya datang di saat yang tidak tepat. Sejak kapan Kiara menjadi secantik ini? Reagive terus mengusap wajahnya yang semakin berkeringat. Sial. Ia sangat menginginkannya.

"Ck. Ra, lo bisa nggak ganti warna bibir lo?" Kiara menoleh. Ada apa?

"Kenapa?"

"Ya ganti aja. Gue nggak suka."

"Gue pake apa yang gue suka. Bukan apa yang lo suka." Bantahnya

"Cewek seumuran lo, belum pantes pake warna gelap  kayak gitu. Kayak tante-tante." Kiara segera menatap pantulan wajahnya dari cermin. Ia rasa, ini tidak terlalu buruk. Ia sengaja membelinya khusus untuk dipakai di anniversary mertuanya. Kiara terus menelisik wajahnya. Rasanya tidak ada yang salah.

"Cantik gini kok."

"Pokoknya hapus. Sini."

"Eh?" Reagive mengusap bibir Kiara menggunakan tisu. Reagive menahan napasnya, saat ibu jarinya tak sengaja menyentuh bibir lembut Kiara. Ia tidak boleh melakukannya. Sebisa mungkin, Reagive harus mengenyahkan pikirannya. Ia terus membersihkan pewarna bibir itu. Meski tubuhnya sudah panas dingin tidak karuan. Kiara tidak boleh berlebihan saat pergi keluar. Apalagi, rekan bisnis papanya pasti banyak yang mata keranjang. Ia tidak bisa membiarkan mereka menatap istrinya dengan dandanan seperti ini. Itu menjijikan.

"Gue suka warna bibir cery lo. Lo nggak perlu pake pewarna apapun. Lo udah cantik." Kiara terdiam cukup lama. Sepertinya, Reagive tidak pernah mengeluarkan kata-kata gombal. Tapi kata biasa saja, jika Reagive yang mengucapkannya akan terdengar sangat menyenangkan di telinganya. Kiara tersenyum. Reagive menghadapkan tubuh Kiara ke arah cermin. Ia menyelehkan separuh rambut Kiara ke depan.

"Nggak usah di kepang, yah." Bisik Reagive di telinganya. Kiara mengangguk pelan. Sepertinya, Reagive sangat paham tentang pakaian yang pantas untuknya. Ternyata, Reagive lebih menyukai rambutnya yang digerai. Padahal, kepangan adalah salah satu hal yang belum pernah ia tinggalkan saat pergi keluar. Tapi, berhubung kali ini Reagive yang memintanya, ia akan dengan senang hati untuk melakukannya.

Mereka sampai di acara, tepat sebelum acara pemotongan kue. Anak macam apa mereka, yang hadir terlambat di hari bahagia orang tuanya. Payah. Rani yang melihat kehadiran mereka, segera memanggilnya untuk berdiri di sampingnya. Mereka terlihat sangat serasi. Layaknya keluarga bahagia lain, mereka asyik berbagi suapan kue. Mereka saling menyuap kue satu sama lain. Manis sekali. Kiara sangat bahagia. Ia teringat akan kedua orangtuanya yang tak pernah merayakan anniversary, sampai tuhan mengambil bundanya. Ayahnya tipe workaholic yang tak jarang ke luar kota. Bundanya juga tak terlalu menyukai perayaan-perayaan yang tidak terlalu penting, menurutnya. Tapi, di keluarga ini, Kiara seperti mendapatkan apa yang tidak pernah ia rasakan dari kedua orangtuanya.

"Selamat yah, Ma, Pa." Ucap Reagive. Ia memeluk kedua orang tuanya erat.

"Makasih, Sayang."

"Ini ada kado dari kita, Ma, Pa." Kiara menjulurkan sebuah kotak kecil yang di bungkus rapi.

"Duh, ngapain repot-repot hah? Liat kalian bareng terus aja udah jadi kado spesial buat kita. Iya kan, Pa?"

"Harusnya, hadiahnya cucu, Give." Sontak ucapan Marcel membuat Reagive dan Kiara keki. Marcel tertawa melihat ekspresi keduanya. Meraka polos sekali.

"Papa bercanda, Give. Jangan dipikir serius. Kalian kan masih sekolah. Pikirin aja masa depan kalian."

"Kamu harus sabar, Give. Kiara kan adik kelas kamu juga. Jadi setelah kamu lulus pun Kiara masih jadi anak sekolahan. Jangan dimacem-macemin dulu." Ucapan yang lebih gila itu, ternyata keluar dari mulut Rani. Reagive yang tengah meneguk minuman pun tersedak. Ia terbatuk cukup lama. Orangtuanya sudah berpikir kelewat batas. Ini sungguh topik yang membuatnya dan Kiara jadi canggung. Kiara menyodorkan air putih pada Reagive. Ia menenggak habis semuanya secepat kilat. Otaknya butuh penjernihan, sepertinya.

"Kalian nginep di sini aja. Udah malem juga." Pinta Rani. Reagive menatap Kiara untuk meminta pendapat. Kiara hanya mengedikkan bahu. Itu tandanya, semua terserah pada Reagive. Reagive menganggukkan kepalanya. Ia rasa, di luar juga sudah terlalu dingin. Ia melihat Kiara, gadis itu hanya memakai dress selutut. Jika dipaksa pulang, dia bisa sakit. apartmennya juga lumayan jauh dari sini.

***

Reagive melihat Kiara yang sudah terbaring dan masih mengenakan dressnya.

"Nyaman, tidur pake baju kayak gitu?"

"Dinyamanin aja. Nggak bawa baju ganti juga."

"Pake kaos gue."

"Celana gue pendek banget, Kak."

"Biasanya juga gitu."

"Ish, Kak, ini bukan di apartmen. Kalo di sana kita cuma berdua. Di sini kan banyak orang. Malu lah gue."

"Terserah. Gue cuma nyaranin biar tidur lo nyenyak." Terpaksa, Kiara mau menuruti saran Reagive. Ia bisa membayangkan betapa tidak nyamannya tidur memakai dress.

Keluar dari kamar mandi, Kiara mendapati Reagive sudah terlelap di kasurnya. Kiara menggigit jarinya sendiri. Dimana ia akan tidur? Sepertinya, sofa yang biasa berada di sini sudah dipindahkan. Tidak mungkin ia akan tidur di lantai kan?

"Tidur di samping gue. Gue nggak bakal apa-apain lo, kok." Ternyata, lelaki itu belum sepenuhnya tidur. Ia masih bisa mendengar gerakan kaki Kiara yang mondar-mandir. Kiara mengambil dua guling sebagai pembatas tidur mereka. Ia juga mencari satu selimut lagi dari dalam lemari Reagive.

***

Tidur Kiara merasa terusik kala merasakan sesuatu yang melilit tubuhnya. Kiara membuka matanya dan langsung terpekik kaget. Ternyata, itu tangan dan kaki Reagive.

"Aaaaaaaaa. Kak, lepasin."

"Lo apaan sih. Masih pagi juga." Reagive yang belum menyadari apa yang terjadi, malah semakin mengeratkan pelukannya pada Kiara. Kiara melotot. Dimana guling yang menjadi pembatas mereka. Apa mereka berjalan sendiri? Mengapa Reagive malah menjadikannya guling? Sialan. Sekuat tenaga, Kiara berusaha melepaskan diri dari tangan dan kaki kekar Reagive.

"Sumpah, Kak, kaki lo berat banget." Teriaknya cukup kencang. Untung saja, kamar Reagive kedap suara. Kalau tidak, dimana ia akan meletakkan mukanya. Ini memalukan. Seorang istri yang berteriak tidak indah saat mendapati suaminya memeluknya. Sungguh tidak epik sekali.

"Eh? Sorry nggak sengaja. Gue kira lo guling." Dengan tanpa dosanya, Reagive langsung melencing ke kamar mandinya. Dan seringaian jahilnya itu menyebalkan. Kiara meraba tubuhnya sendiri. Takut-takut ada sesuatu yang dilakukan Reagive tanpa sepengetahuannya. Percaya diri sekali.

"Oh god, tubuh gue."

______________________________________

Waduh Si Abang udah berani yah. Gimana perasaannya, Bang? Eheee

Votementnya yuk Read. Jangan jadi sider yah. Nulisnya kan butuh mikir, Say.

Lup

R

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang