Dua Puluh Tujuh

818 46 2
                                    

Waktu ujian yang tinggal sebentar lagi, membuat Reagive tak ingin melewatkan kesempatan yang masih ia miliki untuk fokus pada ujiannya. Ia tidak ingin kehilangan semua mimpinya yang selama ini ingin digapainya.

Reagive sudah meminjam buku-buku dari perpustakaan sekolah untuk referensi tambahannya.

"Barangkali haus." Shami menyodorkan sebotol air mineral.

"Makasih, Sham." Reagive kembali fokus pada bukunya.

"Give."

"Hmmm."

"Gue mau curhat, nih. Dengerin, yah."

"Biasanya juga gitu."

"Ish. Lo, mah, dengerin." Protes Shami.

"Iya, ini gue dengerin." Reagive meletakkan bukunya di atas meja.

"Gue kan pernah bilang tuh, kalo gue nggak mau mama nikah lagi. You know lah, papa gue dulu gimana? Tapi, sekarang, mama lagi deket sama seseorang. Dia sayang banget sama gue. Dia kayak berusaha banget buat ambil hati aku. Dan kayaknya dia orang yang baik banget yang dicari mama selama ini. Dan gue percaya sama calon papa baru gue."

"Jadi, lo berubah pikiran?"

"Maybe."

"Terus, masalahnya apa?"

"Katanya, papa punya anak perempuan. Dia satu tahun lebih muda dari gue." Reagive mengernyit. Dimana letak masalahnya?

"Gue emang egois, Give, gue nggak bisa berbagi. Gue nggak bisa liat papa deket sama anak kandungnya."

"Sham, kalo lo belum siap, lo tolak aja. Lo minta waktu buat mikirin mateng-mateng. Mereka pasti ngerti, kok."

"Tapi, gue pengin liat mama bahagia, Give."

"Berarti lo harus siapin diri lo."

"Gue boleh meluk lo nggak?" Reagive mengangguk. Shami menangis tersedu-sedu dalam dekapan Reagive. Ia tidak tau hendak menceritakan masalah ini pada siapa lagi. Ia tak punya teman cerita sebaik Reagive. Dari awal masuk SMA, hanya Reagive teman baiknya. Sampai, mereka bertemu dengan Azril, Milan, dan Jean. Reagive mengelus lembut punggung Shami, berharap bisa memberikan ketenangan pada gadis itu.

"Udah dong, Sham, nangisnya. Nanti dikira gue yang apa-apain lo."

"Sorry." Shamila segera melepaskan pelukannya dari Reagive.

"Udah ya, gue nggak mau liat lo nangis lagi. Sahabat gue itu, bukan orang yang lemah." Reagive mengusap air mata Shami. Baru kali ini ia melihat gadis periang seperti Shami menangis.

Dari kejauhan, sepasang mata menatap mereka sendu.

"Kamu anggep aku apa, sih, Kak?"

***

Kiara meremas jarinya sendiri. Ia benci saat rasa tak percayanya pada Reagive muncul. Ia selalu mencoba percaya pada Reagive. Namun, cemburu sialan ini terus mengadu domba hati dan pikirannya. Kiara melempar bolpoint yang dipegangnya ke arah papan tulis. Seisi kelas terkejut dibuatnya. Mereka menatapnya penuh tanda tanya.

"Ribut lagi lo, sama Kak Reagive?" Tanya Mei.

"Enggak juga."

"Begini nih, kalo udah jadi budak cinta."

"Lo ada masalah?" Tanya Ica lembut. Ica memang selalu mengerti bagaimana menghadapinya. Tidak seperti Mei yang malah menyalahkannya.

"Lo pernah nggak, ngerasa takut kehilangan. Gue hidup bukan ditakdirin buat sendiri, kan?"

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang