Tiga Puluh Empat

757 40 1
                                    

Kiara menutup pintu lumayan kencang. Saat ia membalikkan tubuhnya, Oma sudah berdiri di depannya. Kiara terlonjak saat mendapati Sang Oma.

"Kamu ngapain keluar, Ra?"

"Tadi, ada Kak Reagive."

"Reagive? Suami kamu?" Kiara mengangguk.

"Sekarang dia dimana?"

"Udah Ara suruh pulang."

"Kenapa disuruh pulang? Dia pasti capek banget nyari kamu sampe ke sini." Ucapan Oma membuat Kiara berpikir, apakah Reagive baik-baik saja? Apa dia sudah keterlaluan tadi? Mengusir Reagive setelah dia datang jauh-jauh untuk mencarinya. Bodoh. Ia tidak bisa menyikapi permasalahannya sendiri dengan baik. Harusnya, Reagive sudah bisa beristirahat kalau dia tidak mengusirnya. Jutaan hal tentang Reagive melintas bebas dalam benaknya. Bisakah ia meminta maaf pada laki-laki itu?

"Ara salah yah, Oma?"

"Iya, kamu salah. Harusnya kamu lebih mendengarkan suamimu. Selesaikan masalah kalian bersama, bukan malah memaksakan keputusan kamu." Kiara termangu. Rasa bersalahnya sempurna sudah.

"Ara harus gimana, Oma? Ara bingung, Mama Gina bener, Kak Shami lebih membutuhkan Kak Reagive." Kiara terisak dalam pelukan Omanya.

"Apa Reagive juga mau menerima keputusan kamu? Apa dia juga akan membawa kebahagiaan untuk Shami?"

"Oma, Ara cuma nggak mau terus dirundung rasa bersalah karena Ara udah mengambil hal yang paling berarti buat Kak Shami."

"Oma cuma memberi saran, semua terserah kamu. Kamu sudah dewasa dan cukup pintar untuk mengambil jalan hidup kamu sendiri." Oma mengecup puncak kepala Kiara lembut. Cucu manisnya menangis karena sesuatu yang belum saatnya ia dapatkan. Usianya masih terlalu dini untuk memikirkan hal seperti ini. Kadang sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir baik. Semua sudah terlanjur. Keputusan menantunya membawa petaka dalam hidup damai cucu kesayangannya.

***

"Pantas Kiara pergi dari rumah. Ternyata kamu meminta hal memalukan pada anakku." Ayah Kiara meluapkan emosinya pada Gina. Ia tidak habis pikir bahwa Gina akan setega itu pada Kiara. Gina hanya bisa menangisi kebodohannya. Ia dibutakan oleh kasih sayangnya pada Shami. Tidak ada kebahagiaan yang lebih berarti dari kebahagiaan putrinya. Persetan dengan anggapan orang lain.

"Aku cuma pengin Shami bahagia. Dia juga berhak bahagia seperti Kiara."

"Bukan dengan mengambil hidup Kiara." Ayah menekankan setiap kata-katanya.

"Kita bisa mencari solusi untuk Shami bersama-sama. Dia juga putriku, Gina. Aku selalu menganggap Shami seperti putri kandungku. Sama seperti Kiara." Lanjutnya.

Dari balik sekat yang menghubungkan ruang keluarga dan dapur, Shami dapat mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan mereka. Shami mengepalkan tangannya erat. Semua orang begitu memikirkan keadaan Kiara. Sedangkan dirinya, siapa yang peduli? Hanya Mamanya, mungkin.

Shami pergi ke kamarnya lalu menatap pantulan tubuhnya dari cermin. Ia mengelus perutnya yang kini terdapat makhluk kecil tidak berdosa hasil kebodohannya. Jika saja dia tidak punya hati seperti ayah Sang Bayi, mungkin Shami tidak akan membiarkan bayi ini menyusahkan hidupnya. Namun, Shami bukan wanita yang mempunyai hati sehina itu. Ia masih berperikemanusiaan untuk melakukan aborsi pada bayinya.

"Nak, maafin Mama. Mama nggak bisa jadi ibu yang bisa kamu banggakan nantinya. Tapi kamu bisa anggep Uncle Reagive seperti papa kamu. Dia pasti sayang sama kamu." Shami tersenyum membayangkan bayi kecilnya berada di pangkuan Reagive. Membayangkan kasih sayang yang begitu besar dari laki-laki itu.

Senyum yang mengembang di bibir Shami, perlahan memudar saat mengingat bahwa Reagive sudah memiliki istri. Lebih pahit lagi menghadapi kenyataan bahwa istri Reagive adalah adik tirinya sendiri. Kenapa dunia begitu tidak adil padanya? Kenapa dunia tidak pernah memihaknya untuk bahagia? Bisakah ia diizinkan memiliki Reagive kali ini? Miris sekali hidupnya. Ia ingin menertawai nasib sialnya.

***

Reagive pulang ke rumah orang tuanya dengan kondisi kacau. Ia tidak tidur semalaman demi mencari Kiara. Tapi, hasilnya kenapa malah semenyedihkan ini? Ia tidak habis pikir dengan perlakuan Kiara padanya. Rasa lelahnya berujung kecewa yang mendalam. Keinginannya menyusul Kiara ke Bogor berujung rasa sakit karena penolakan Kiara. Bagaimana ia akan menikahi Shamila jika hubungannya dengan Kiara menolak selesai. Ia bukan laki-laki yang bisa membagi hati untuk orang lain.

Rani dan Marcel yang melihat kondisi Reagive, tidak bisa melakukan apapun. Putranya harus menghadapi kenyataan pahit diusianya yang masih sangat muda.

"Give, Kiara gimana?" Tanya Rani pelan.

"Dia di rumah Omanya."

"Dia baik-baik aja, kan?"

"Dia minta Reagive nikahin Shamila. Mama tau kan, Reagive nggak akan lakuin itu?"

"Kok Kiara bisa mikir sampe ke situ?"

"Reagive juga nggak habis pikir, Ma."

"Ya udah, kamu istirahat dulu aja, Mama udah siapin makan buat kamu."

"Reagive belum laper, Ma."

"Give, kalo boleh Mama saranin, besok kamu temuin Shamila, dia pasti butuh kamu. Gina bilang, Shami pengin banget ketemu kamu." Reagive hanya mengangguk lalu pergi ke kamarnya. Ia tidak tertarik melakukan apapun. Yang ia inginkan hanya Kiara. Kiaranya kembali padanya. Sesederhana itu, tapi sulit sekali digapai.

Reagive merogoh saku celananya untuk mengambil gelang yang sempat diberikan Kiara semalam.

'Gelangnya lucu' Ucapan Kiara terngiang jelas di kepalanya. Tingkah lucu gadis itu selalu membuatnya tertawa. Gadis yang sudah memberi warna pada hidup hitam putihnya. Kini, gadis itu malah meminta sesuatu yany tidak mungkin ia lakukan. Reagive manarik napasnya dalam, lalu menghembuskannya kasar. Foto pernikahan mereka masih terlihat sangat bersih. Berdebu sama sekali, mengingat usia pernikahan mereka yang madih seumur jagung. Rasanya baru kemarin ia mencoba memulai hidup dengan cara yang baru bersama Kiara. Tapi, hari ini, semua cita-citanya sirna sudah. Angan untuk terus bersama Kiara benar-benar diambang batas. Baru kali ini ia merasa takut kehilangan.

***

Tak jauh berbeda dengan Reagive, Kiara pun sama kacaunya. Sejak pagi, ia masih setia dengan sayuran yang tak kunjung selesai ia bereskan. Ia sibuk melamun. Akhir-akhir ini, hidupnya sangat sulit. Bahkan, rasanya semua yang ia lakukan selama ini sia-sia. Apa yang bisa ia harapkan dari hidup yang serba menyudutkannya. Perasaannya tidak pernah munafik. Ia masih sangat mencintai suaminya. Ingin sekali ia menyingkirkan seluruh rasa kasihannya pada Shamila. Ia tidak ingin Reagive pergi darinya. Adakalanya pengorbanan yang ia lakukakan akan menghancurkannya sehancur mungkin.

"Ra, makan yah?" Oma membawa seporsi makanan untuk Kiara.

"Biasanya, Ara nungguin Kak Reagive pulang dulu. Jam segini dia pasti belum pulang. Jadwal lesnya padat sekarang."

"Ra, kalo kamu mau melupakan Reagive untuk Shami, lakukan dari hal-hal kecil. Kamu harus terbiasa hidup tanpa bayangan suami kamu." Oma benar. Ia harus terbiasa. Reagive tidak akan bersamanya lagi di kemudian hari. Terlebih, Reagive akan menjadi kakak iparnya. Ia pasti akan lebih sering bertemu Reagive. Tidak menutup kemungkinan juga, ia akan satu atap. Akan sangat berbahaya jika dia masih memiliki perasaan pada Reagive.

______________________________________

Udah mau selesai aja nih cerita. Mau happy apa sad ending nih readers?

Votementnya jan lupa

Lup

R

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang