Hujan menjebak mereka dalam kemacetan sore itu. Kendaraan yang melintas sangat padat. Tidak ada celah bagi mereka untuk menerjang jalanan. Sempit sekali. Entah apa yang terjadi di depan sana, hingga menyebabkan kemacetan sepanjang ini. Suara klakson antar pengemudi, membuat suasana makin tidak karuan.
"Kak, macetnya lama nggak, yah?"
"Namanya juga Jakarta. Bisa berjam-jam kalo macet."
"Gue keluar, yah."
"Nggak. Nanti lo sakit. Gue kan nggak bisa urus orang sakit."
"Bentaran, ini baunya enak banget. Tuh liat aspalnya lagi nguap. Boleh, yah." Kiara Mengerjapkan matanya. Reagive mengangguk. Biarkan saja. Lagi pula, gadis itu yang memintanya sendiri. Ia dengar, aroma tanah saat hujan mampu menenangkan pikiran. Mungkin, Kiara ingin melepaskan penatnya sebentar.
Kiara selalu menikmati suasana kala hujan turun. Aroma yang menguar dari tanah membuatnya tenang. Sangat tenang. Ia menyukai alam lebih dari apapun. Ia terus menikmati alunan rintik hujan yang menerpa wajahnya. Bermain layaknya anak kecil semenyenangkan ini, ternyata. Dari balik kaca mobil, Reagive memandang gadis yang asyik bermain dengan air hujan itu. Wajahnya yang tak pernah berlebihan, selalu menampilkan cantik yang sesungguhnya. Reagive tersenyum. Mungkin, ikut bergabung dengan Kiara bukan hal buruk.
"Lo ikut turun juga?" Reagive tak menjawab, ia menengadahkan wajahnya ke langit. Membiarkan air hujan menerpa wajahnya. Kiara melihat ke arah Reagive. Ia tersenyum.
"Bau yang keluar itu, namanya petrichor." Ujar Kiara lumayan kencang. Reagive menoleh.
"Sejak kapan lo suka hujan?"
"Dari kecil, gue udah suka hujan. Gue suka banget denger alunannya. Gue inget banget, waktu bunda baru meninggal, gue ujan-ujanan sampe gue sakit. Gue demam tinggi sampe gue harus dirawat. Tapi, yang jelas, gue suka hujan karena gue yakin, bahagia gue dari hujan. Penghibur terbaik gue di waktu sepi gue." Kiara tersenyum kecut.
"Sekarang udah ada gue, gue bakal nemenin hari-hari sepi lo. Gue harap lo nggak bakal kesepian lagi." Kiara menatap lamat manik hazel Reagive.
Tanpa sadar, klakson mobil di belakangnya sudah bersuara. Kemacetannya sudah mulai mereda. Reagive dan Kiara segera kembali ke dalam mobil, sebelum mereka didemo para pengguna jalan.
"Kak, AC mobilnya matiin, yah." Reagive menghadapkan wajahnya ke arah Kiara. Sepertinya gadis itu kedinginan.
"Gue ada jaket di jok belakang. Pake gih." Kiara melirik ke belakang. Ia mengambil jaket berwarna navy itu.
"Lo nggak kenapa-kenapa, semisal jaketnya gue pake? Nanti lo masuk angin lagi."
"Kalo gue yang sakit, ada lo yang bisa urus gue."
"Dih. Gue nggak mau."
"Durhaka lo."
"Biarin."
***
Arti weekend bagi sebagian orang adalah, ketika kita bisa menghabiskan waktu sepuasnya, untuk hal yang bisa dibilang tidak terlalu penting. Namun bagu Kiara, weekend adalah hari paling menyebalkan. Dimana dia harus menjadi ibu rumah tangga seharian penuh. Mulai dari bersih-bersih, mencuci dan menyetrika pakaiannya. Ia benar-benar kehilangan segala kemewahan yang pernah ia dapat dari ayahnya. Banyak pembantu yang siap melayaninya kapan saja. Tapi sekarang, ia harus melakukan semuanya sendiri. Tidak ada pembantu, tidak ada bundanya, tidak ada ayahnya, tidak ada mertunya, semuanya sendiri. Melelahkan, memang. Resiko menikah muda.
Menyiapkan sarapan untuk suaminya, adalah hal wajib baginya. Sambil menunggu Reagive pulang dari kegiatan joggingnya, Kiara menata semua perlengkapan sarapan mereka. Ia bahkan sudah menyiapkan jus wortel kesukaan Reagive. Ia biasa mengonsumsinya seminggu sekali. Kiara juga bingung, kenapa laki-laki itu sangat menyukainya. Padahal, Kiara selalu hampir muntah saat meminumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSITHURISM
Teen FictionGadis itu tak pernah menyangka bahwa kematian sang ibu akan membawa petaka lain dalam hidup damainya. Ia dipaksa menikah dengan kakak kelasnya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu benar-benar merubah segalanya. Ketika ego masih menjadi senjata dari...