Dua Puluh Sembilan

725 44 0
                                    

Dengan langkah gugup, Kiara memasuki restaurant. Ia mencari meja yang telah dipesan Sang Ayah. Dari jauh, ayahnya melambaikan tangnnya. Kiara tersenyum lalu menghampiri mereka.

"Malem, Yah." Kiara mengecup punggung tangan ayahnya. Kiara sama sekali tak tertarik untuk menyapa Gina. Namun, sepertinya wanita itu tak mau kehilangan kesempatan untuk mengambil hati Kiara. Gina meyuruh Kiara untuk duduk di sampingnya.

"Sayang, kamu mau pesen apa?"

"Nanti aja lah, Tan."

"Shami belum dateng, Gin?"

"Masih di jalan, katanya."

"Ss..Sha...mi?" Pekik Kiara kaget.

"Iya, anak Tante, kamu kenal?"

"Enggak, Tan." Kegugupan Kiara semakin bertambah saat nama perempuan itu disebut. Ia tak bisa menyembunyikan wajah gugupnya. Beberapa kali Kiara mengelap tangannya yang basah. Reaksi alaminya saat gugup memang seperti ini. Matanya tak bisa biasa saja, saat menangkap wajah orang yang dikenalnya. Perempuan itu, Shami yang sama.

"Hai, Ma, Pa. Maaf Shami telat." Shamila memeluk dua orang di depannya. Mereka terlihat sangat akrab. Banyak sekali Kiara melewatkan hal-hal yang wah...menarik. Kiara baru tau kalau Shami sudah memanggil ayahnya dengan sebutan papa. Ia merasa seperti nyamuk yang mengganggu kebersamaan sebuah keluarga. Kiara berdehem pelan, dan membuat mereka menyadari kehadirannya yang seperti tidak dianggap.

"Ini anak papa, Sham, namanya Kiara." Ayah memperkenalkan Kiara pada Shami. Kiara juga baru tau kalau ayahnya menyebut dirinya papa untuk Shami. Mereka saling bersalaman dan melempar senyum.

"Lo istrinya Reagive?" Kiara hanya tersenyum menanggapi.

"Selamat yah, buat pernikahan lo." Shami mengucapkannya dengan senyum yang dibuat-buat. Miris sekali, kenapa harus Kiara yang menjadi istri Reagive? Bahkan, Kiara akan segera menjadi adik tirinya. Dunia terlalu sempit untuk hidup yang penuh drama.

"Reagive nggak ikut?" Tanya Shami, lagi.

"Dia ada kerjaan." Shami membulatkan bibirnya. Masih terasa pelik untuknya menerima apa yang terjadi. Rasa yang ia harapkan akan berbalas, justru membawa luka.

"Reagive itu baik banget orangnya, dia selalu ada buat gue. Dia yang selalu kasih masukan-masukan yang masih gue pake, bahkan sampe sekarang. Dia itu tipe gue banget." Ujar Shami dengan raut wajah yang membuat Kiara mendengys kesal. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu di depannya. Dasar tidak punya perasaan.

Pukul sepuluh malam, Tante Gina dan Shami sudah pulang terlebih dahulu. Kini tinggal Kiara dan ayanhnya yang masih berada di sana.

"Kamu mau ayah anter?"

"Nggak usah, nanti Kak Reagive jemput."

"Ya udah, papa duluan boleh?" Kiara mengangguk kemudian menyalami ayahnya. Laki-laki paruh baya itu pergi dari hadapan Kiara. Ia tinggal menunggu Reagive menjemputnya. Tak perlu menunggu lama, Reagive sudah berada di depan restaurant.

"Gimana makan malemnya?"

"Nggak gimana-gimana." Jawab Kiara dengan wajah kusutnya.

"Kalo nggak gimana-gimana, kenapa mukanya ditekuk gitu?"

"Aku heran aja, kok kayaknya Kak Shami semangat banget cerita tentang kamu?"

"Kamu cemburu?" Ledek Reagive.

"Ya nggak lah, ngapain? Nggak guna." Jawab Kiara jutek.

"Beneran?"

"Kenapa sih, harus dia yang jadi kakak tiri aku?"

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang