Delapan

1K 65 1
                                    

Hari ini mungkin hari paling sial bagi pasangan itu. Mereka bangun terlambat di hari Senin. Hari yang entah kenapa akan terasa sangat tergesa-gesa bagi yang melaluinya. Bagi pelajar seperti mereka, tentu saja ada upacara bendera. Meskipun mereka sekolah di British IHS, yang notabennya adalah sekolah internasional. Tidak hanya anak dalam negeri, yang bersekolah di sana. Tapi juga banyak anak remaja asing ataupun blasteran.

Kembali pada Reagive dan Kiara. Keduanya tengah sibuk berlarian kesana kemari untuk mempersiapkan kebutuhan sekolah mereka.

"Ra, dasi gue mana, sih?" Teriak Reagive dari dalam kamarnya.

"Ya cari dong. Gue juga lagi sibuk."

"Kan, lo yang natain barang-barang gue." Sewot Reagive. Kiara tak terima dengan ucapan Reagive. Kiara pergi ke kamar Reagive dan mulai mencari barang bernama dasi itu. Baru saja ia membuka laci, ia sudah menemukannya. Kiara berdecih pelan. Reagive memang menyebalkan. Ia jadi belum siap untuk pergi ke sekolah.

"Lo tuh gimana sih, Kak. Makanya kalo istri lagi beres-beres itu bantuin. Bukannya asyik mainin hp. Jadinya tau letak barang-barang." Sewot Kiara tak mau kalah.

"Ok thanks. Gue udah siap. Yuk berangkat." Ucap Reagive tanpa dosa.

"Loh, berangkat gimana? Gue belum dandan kali."

"Udah, nggak usah dandan, kelamaan." Reagive menarik pergelangan tangan Kiara.

"Ehh...tapi.. Kak." Tanpa berpikir untuk mendengarkan Kiara, Reagive terus menariknya.

Dalam mobil, Kiara terus mendiami Reagive. Ia menampilkan mimik wajah cemberut. Ia sangat sangat sangat membenci Reagive. Dia selalu saja merusak harinya. Tidak bisakah ia memiliki hari yang cerah sehari saja. Ia sangat merindukan hari-harinya dulu. Saat ia masih bebas menjadi seperti remaja pada umumnya.

Suasana gerbang sekolah sangat ramai. Banyak siswa yang terlambat. Biasa, rutinitas hari Senin.

Kiara tak berhenti menyalahkan Reagive. Hingga keributan mereka menarik perhatian dewan kesiswaan. 

"Ehh, kalian udah telat malah ribut lagi."

"Maaf, Pak."

"Give, kok kamu sekarang jadi kayak gini sih? Kamu itu masih waketos sekarang." Omel Pak David.

"Kan tinggal dua bulan lagi, Pak." Jawab Reagive.

"Udah berani jawab kamu ya?" Pak David menatap garang pada Reagive.

"Sekarang ikuti instruksi dari lapangan. Kalian ikut upacara dari sini." Pak David mengayunkan tongkat kayu keramatnya. Menatap tajam pada setiap siswa. Sedangkan Kiara dan Reagive masih saling melempar pandangan tak suka.

"Ini semua, gara-gara lo. Citra gue sebagai waketos ancur."

"Kok gue? Enak aja. Gue juga telat kali."

"Ehh kalian! Bisa diem nggak? Atau mau saya tambahin hukumannya? Mau berdiri di sini sampe siang?"

Baik Kiara maupun Reagive hanya diam saja. Bisa rumit kalau mereka menjawab Pak David lagi. Mereka masih tak berhenti perang mata. Dalam hati mereka masing-masing, mereka masih memgalunkan sumpah serapahnya. Mengutuk sedalam-dalamnya kelakuan pasangan mereka.

Nampak di barisan kelas dua belas, Juan pun ikut terlambat. Sepertinya ia baru datang. Semoga saja, tadi Juan tak melihatnya dengan Reagive keluar dari mobil yang sama. Bisa gawat kalau itu sampai terjadi.

Upacara sudah usai sedari tadi, tapi bukan berarti hukuman bagi siswa yang terlambat pun ikut usai. Mereka harus menjalani hukuman selanjutnya. Apalagi kalau bukan berdiri di depan tiang bendera, sambil memberi hormat. Terik matahari semakin menyengat. Padahal waktu pun masih kurang dari jam delapan. Tapi panasnya, sudah seperti tengah hari. Puh.

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang