Pagi buta seperti ini, Kiara sudah dibuat kesal oleh kelakuan Reagive. Jam pun masih menunjukkan pukul 06.30 tapi suara klakson mobil Reagive sudah memekakan telinganya. Berulang kali Reagive memencet klakson mobilnya. Itu cukup membuat Kiara geram. Apa seperti itu cara memanggil perempuan dengan baik? Terlebih dia kan istrinya. Dasar menyebalkan.
"Kak, gue enggak budek. Kuping gue masih waras buat denger panggilan mulut lo." Nadanya terdengar sarkas.
"Lo harus biasa berangkat pagi." Jawab Reagive singkat.
"Berangkat pagi buta gini mau bukain gerbang sekolah, Lo?"
"Lo inget nggak gue siapa?"
"Iya, pak waketos." Kiara mencebik.
Dengan rasa yang amat malas, Kiara memasuki mobil Reagive. Suaminya ini benar-benar harus diberi banyak pelajaran. Mulai dari Bahasa Indonesia, etiket bicara, dan.... Ah ya, PKn, dia harus belajar norma kesopanan. Lihat saja sepanjang perjalanan, dia sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia jadi berpikir, menikah dengan manusia atau kulkas berjalan? Selama mereka menikah, ia belum sama sekali melihat senyum laki-laki itu. Apakah urat senyum Reagive sudah putus? Berbanding terbalik sekali dengan dirinya yang banyak bicara.
"Mm, Kak. Lo bisa nggak senyum dikiiittt aja. Gue bosen liat muka triplek lo." Reagive menatap dingin ke arah Kiara. Ditatap seperti itu membuat nyali Kiara menciut. Sungguh Reagive terlihat menyeramkan saat seperti ini.
"Gue udah kayak gini dari dulu. Gue nggak bisa rubah sikap gue gitu aja. Apalagi cuma gara-gara permintaan lo." Kiara menghembuskan napasnya lega, karena wajah Reagive sudah kembali menatap jalanan.
"Tapi kesannya, kita itu orang asing tau nggak."
"Emang gitu kan?" Jawab Reagive acuh. Ia sama sekali tak peduli dengan ucapan Kiara. Dalam hati Kiara, ia ingin sekali mengumpat tentang suaminya itu. Bagaimana tidak, Reagive menganggapnya orang asing. Jelas-jelas sekarang dia istrinya. Nona Muda Lange. Ya, meskipun hubungan mereka memang tidak lebih dari sekedar terpaksa. Tapi apa salahnya memang, jika kita berusaha dekat dengan suami sendiri. Toh dirinya bukan seperti perempuan alay di sekolahnya, yang suka membuntuti Reagive kemanapun dia pergi. Sudahlah. Rasanya memikirkan Reagive memang tak pernah ada habisnya. Dia tidak bisa memaksakan kehendak orang lain untuk mengerti dirinya.
Decitan rem mobil yang ditumpanginya, membuat Kiara tersadar dari lamunan unfaedahnya. Ia celingukan, mengedarkan pandangan ke sekelilungnya. Ini bukan sekolahnya. Ini pertigaan sebelum sekolahnya. Mengapa Reagive berhenti disini? Apa mobilnya kehabisan bensin? Tapi tidak ada SPBU disini.
"Kak, ngapain berhenti?"
"Nurunin lo, lah."
"Lah kok gitu? Kan belum sampe?"
"Lo mau, semua warga sekolah tau kalo kita ada apa-apa."
"Ya kan nggak harus gini juga."
"Ya terus, gimana?"
"Serah lo deh, Kak." Kiara membanting pintu mobil cukup kencang. Ia sungguh merasa kesal dengan tingkah Reagive. Bisa-bisanya ia diturunkan di pinggir jalan seperti ini. Benar-benar tidak berperasaan.
Kiara sampai di sekolah dengan kondisi tidak baik-baik saja. Pasalnya ia harus berjalan satu kilo meter untuk sampai di sekolah. Sialnya lagi, mengapa harus ada razia di saat seperti ini? Dan lihat, itu Reagive. Dengan wajah tanpa dosa berjalan ke arahnya. Tunggu, apa yang ia bawa? Gunting? Tissue? Dan...buku catatan skors siswa. Reagive menarik rok abu-abu milik Kiara, lalu menggunting ujungnya.
"Rok kamu kependekan." Ucap Reagive dengan bahasa formal, yang membuat Kiara mual.
"Udah berapa kali diingetin, ini sekolah bukan tempat nongkrong yang pakaiannya bisa kamu atur sendiri." Lanjutnya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSITHURISM
Teen FictionGadis itu tak pernah menyangka bahwa kematian sang ibu akan membawa petaka lain dalam hidup damainya. Ia dipaksa menikah dengan kakak kelasnya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu benar-benar merubah segalanya. Ketika ego masih menjadi senjata dari...