Tiga puluh Enam

850 38 2
                                    

Hari demi hari kian cepat berlalu. Hari ini Reagive sudah menyelesaikan ujian nasionalnya. Ia sengaja pulang cepat-cepat untuk memberi kejutan pada Kiara. Kejutan karena dia sudah tidak lagi menjadi pelajar di British IHS. Aneh memang. Tapi itulah Reagive. Akhir-akhir ini, ia sering memamerkan kebebasannya dalam berseragam. Ia sering mengejek Kiara yang  sibuk menyetrika almamaternya. Di tambah, setelah resmi keluar dari OSIS, ia sering berpenampilan tidak rapi ke sekolah. Hal itu membuat Kiara berdecak kesal. Citranya sebagai mantan waketos yang bersahaja sirna jika ia terus seperti ini. Setiap diingatkan, Reagive pasti menjawab, waktu remajanya selalu ia habiskan untuk taat pada peraturan yang mengikat. Ia juga perlu menjadi anak normal yang pernah melanggar peraturan sekolah.

Belum sempurna ia memasuki apartemennya, Reagive sudah mencium aroma cokelat yang menyeruak indera penciumannya. Tidak salah lagi, istri cerewetnya pasti tengah memasak masakan lezat untuknya. Berulang kali Reagive memanggil nama Kiara, namun sepertinya, gadis itu terlalu sibuk memasak. Hingga panggilannya pun tidak diindahkan oleh Kiara.

"Lagi ngapain sih?" Tanya Reagive mengejutkan Kiara. Kiara yang terkejut, tanpa sengaja menjatuhkan pisaunya hingga hampir mengenai kaki Reagive.

"Ngapain ngagetin sih, pisaunya jadi jatuh, kan. Untung nggak kena kaki. Nggak bisa apa ucap salam dulu." Kiara berbicara sambil memeriksa kaki Reagive. Bibir Reagive terangkat sedikit. Ia senang, saat kecerewetan istrinya kembali. Ia menyukianya.

"Aku udah panggil kamu sejak dari pintu. Kamunya aja yang nggak denger. Ngapain sih?"

"Ini, aku bikin brownis perdana. Aku lagi motong-motong brownisnya tadi."

"Kayaknya enak tuh."

"Nggak tau juga, soalnya dapet resep dari youtube. Cobain nih, aaaaaa." Kiara menyuapi Reagive dengan potongan brownis berukuran kecil.

"Gimana? Enak?"

"Biasa aja." Raut wajah Kiara berubah kecewa. Sulit sekali mendapat pujian dari Reagive. Tentu saja, Reagive berbohong tadi. Brownis buatan Kiara sudah sangat enak untuk ukuran pemula seperti Kiara. Apalagi, langsung disuapi oleh tangan Kiara. Double nikmat gengs.

"Enak gini kok." Kiara menyuapkan sepotong brownis ke dalam mulutnya. Reagive tertawa melihat muka aneh istrinya.

"Mukanya biasa aja. Tambah jelek tau nggak?"

"Jadi kangen Mama, kalo bikin kue kayak gini."

"Tumben."

"Mama udah jarang ke sini, sekarang."

"Tinggal ke rumah Mama."

"Aku doang, kamu enggak?"

"Yang kangen Mama kan kamu."

"Ish. Kok gitu sih?"

"Ya udah kita ke sana." Reagive berkata malas.

"Aku siapin kue dulu buat dibawa ke rumah Mama."

Setelah berkutat dengan kuenya sekian lama, Kiara bersiap untuk mengganti pakaiannya. Kiara mendapati Reagive yang tengah tertidur di sofa mereka.

"Kok tidur sih, Kak. Katanya mau ke rumah Mama?"

"Ngantuk, Ra."

"Tidurnya nanti aja di rumah Mama."

"Kan ngantuknya sekarang."

"Ishhh. Ayo." Kiara menarik lengan Reagive supaya laki-laki itu beranjak dari rebahannya.

"Udah siap, emang?"

"Aku cari bungkus buat kuenya dulu." Reagive menurunkan dagunya. Ia menganga. Sejak tadi, apa yang dilakukan gadis itu? Berjam-jam ia sibuk dengan kuenya, malah belum juga dikemas? Sama sekali? Malas menunggu, akhirnya Reagive kembali merebahkan tubuhnya di sofa.

"Kok malah tidur lagi? Ayo cepetan bangun, Kak." Dengan mata yang masih sulit terbuka, Reagive mengekor di belakang Kiara.

"Jangan lelet deh, Kak. Ayo."

"Kenapa jadi aku yang dibilang lelet. Yang bikin telat siapa coba?" Reagive mencebikkan bibirnya. Dasar cerewet.

***

"Ra, Mama kangen banget sama kamu. Mama pikir, kamu udah lupa sama Mama. Kamu masih mantu Mama, kan?" Rani membidik Kiara dengan segudang pertanyaan yang membuta Reagive memutar bola matanya.

"Masih lah, Ma. Kalo nggak, ngapain Reagive bawa Kiara ke sini?"

"Mama nggak tanya kamu."

"Dih." Kiara tertawa melihat interaksi ibu dan anak itu.

"Oh iya, Ma, ini Ara bawa brownis buat Mama sama Papa." Kiara mengulurkan sekotak brownis yang telah ia buat tadi.

"Iya tuh, Ma, Kiara udah ribet dari siang buat bikin itu brownis."

"Kamu bikin sendiri?" Kiara hanya tersenyum menanggapi.

"Kita makan di ruang keluarga aja. Papa juga lagi di sana."

Mereka menyusul Marcel di ruang keluarga. Perbincangan mereka selalu hangat. Kiara merasa beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga Lange. Keluarga penuh kehangatan dan sejuta kesan harmonis.

"Give, gimana cafe kamu?" Tanya Marcel tiba-tiba.

"Baik kok, Pa."

"Kamu jangan terlalu sibuk sama cafe kamu. Gimana pun, kamu itu calon penerus Lange Corp."

"Iya, Pa. Kan dari awal Reagive cuma jadiin cafe Reagive sebagai kerjaan sampingan."

"Kuliah kamu gimana?"

"Kamu jadi ke UK?" Kali ini Rani yang bersuara.

Rani tidak sadar, jika ucapannya membuat Kiara terdiam. UK? United Kingdom? Inggris, maksudnya?

"Inggris?" Tanya Kiara penasaran.

"Iya, Ra. Kamu pikir, Reagive sekolah di British IHS nggak ada tujuannya? Dia udah ngincer banget masuk sana biar bisa gampang masuk Oxford. Dari kecil, dia pengin banget bisa belajar di Inggris. Kamu nggak dikasih tau sama Reagive?"

"Ara permisi ke belakang dulu." Kiara melangkah lebar setengah berlari menuju dapur. Reagive yang menyadari ada yang salah dengan Kiara, segera menyusulnya.

Kiara kembali menitikkan air matanya. Untuk hal sepenting ini pun, Reagive sama sekali tidak memberitahunya. Sebenarnya ia anggap apa hubungan mereka? Wajarkah seorang suami tidak memberitahu istrinya tentang cita-cita dan masa depannya?

"Ra, aku minta maaf."

"Buat tau apa keinginan kamu pun aku nggak berhak."

"Ra, aku udah berniat ngasih tau kamu, tapi aku takut kamu nangis kayak gini."

"Lebih sakit saat aku tau dari Mama. Kesannya aku jadi istri nggak tau apa-apa tentang kamu. Aku kayak orang bego di depan orang tua kamu."

"Ra, Please. Dengerin aku, aku nggak ada niat buat nggak terbuka sama kamu."

"Kenapa kamu selalu buat aku merasa kehilangan kamu? Kamu tau kan, aku nggak bisa jauh dari kamu?" Kiara memalingkan wajahnya dari Reagive.

"Ra, aku pergi buat balik lagi. Ini cita-cita aku dari dulu, aku harap kamu mau dukung aku kali ini. Demi masa depan kita." Tatapan Reagive membuat pertahanannya runtuh. Ia benci, saat ia merasa lemah di depan Reagive.

"Apa buat aku nangis itu udah jadi hobi baru kamu? Aku takut kehilangan lagi, Kak. Tapi, kalo itu mau kamu, aku akan nunggu kamu sampai kapanpun."

"Beneran?" Kiara mengangguk sambil tersenyum. Kali ini, ia harus rela. Ia yakin Reagive akan kembali padanya meski entah kapan. Bukan haknya melarang impian suaminya itu. Ia tidak akan menahan Reagive kali ini. Ia pun akan benar-benar jauh dari Reagive untuk waktu yang lama.

_____________________________________

Huh, Reagive akhirnya pergi. Mereka harus LDR dungss? Aku sebenernya sedih tau harus nulis scene mereka pisah.

Votementnya yukkk

Lup

R

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang