Udara dingin malam ini, begitu menusuk tulang. Padahal siang tadi matahari seakan membakar kulitnya. Pancaroba bulan Mei selalu saja seperti ini. Kiara yang tengah bergelut dengan mimpinya pun terbangun. Ia merasa kerongkangannya sangat kering. Ia melirik nakas di sebelah tempat tidurnya. Gelas yang biasanya terisi penuh, tak bersisa sedikitpun. Dengan langkah gontai, Kiara mau tak mau harus mengambilnya dari dapur. Ia tidak akan tahan sampai pagi dengan kondisi kehausan seperti ini.
Saat melewati kamar Reagive, lampunya masih tampak menyala. Apakah suaminya belum tidur selarut ini? Apa yang dia lakukan? Dari pada penasaran, Kiara memilih untuk mengeceknya saja. Ia sedikit menggerakkan pintu, sehingga terdengar suara decitan. Reagive yang menyadarinya, menoleh ke sumber suara. Dilihatnya, kepala sang istri menyumbul dari balik pintu.
"Belum tidur?" Tanya Reagive pada akhirnya.
"Tadi kebangun, ambil minum. Lo juga belum tidur, Ngapain?" Kiara balik bertanya.
"Bikin makalah."
"Tugas mandiri?"
"Kelompok."
"Kok, dikerjain sendiri?" Yang ditanya hanya mengedikkan bahu acuh. Hal seperti ini sudah biasa, bukan? Dimana orang yang dirasa bisa diandalkan akan dibiarkan mengerjakan tugas kelompok sendiri. Anak milenial.
Entah ada angin Dari mana, Kiara merasa kasihan pada suaminya itu. Apakah ia lapar? Pasalnya Reagive tak makan malam semalam. Salah sendiri, meninggalkannya di apartment. Tapi, kalau dilihat, suaminya itu memang lapar. Ia beberapa kali memegangi perutnya. Kasihan.
"Kak, laper nggak? Aku buatin makan, yah." Reagive memandang Kiara aneh.
"Bisa masak?"
"Ngeremehin nih?"
"Lo kan udah tiga hari kasih makan gue mie instant." Reagive mengingat kembali, bahwa setelah mereka menikah, asupan makanan bergizinya berkurang. Ia hanya diberi mie instant setiap hari.
Kiara nyengir lebar memperlihatkan giginya yang putih rapi. Sebenarnya, ia cukup pandai dalam memasak. Tapi setelah bundanya meninggal, ia tidak pernah melakukannya lagi. Dan ia baru menyadari kalau mereka selalu makan mie instant setelah pindah. Sungguh sangat tidak menyehatkan.
"Kali ini, beneran, kok. Kalo nggak mau ya udah." Kiara hendak melangkahkan kaki, namun suara Reagive mengunterupsi.
"Latte aja." Kiara berdecih pelan. Suaminya ini sok jual mahal. Dan apa katanya? Latte? Tidak bisakah dia mengucapkan 'tolong'?
"Kak, ada kata 'tolong' kalo kakak lupa."
"Ikhlas nggak sih, tawarannya?"
"Iya. Gue buatin sekarang." Kiara tak berhenti menggerutu. Menyebalkan sekali. Seberapa tinggi harga dirinya, sih? Sampai meminta tolong dengan baik pun ia tidak bisa.
Kiara kembali dengan membawa secangkir latte panas. Ia meletakkannya di atas nakas secara asal.
"Thanks." Ucap Reagive singkat. Ia kembali fokus pada layar laptopnya.
"Gitu doang?" Kiara menurunkan dagunya. Menganga. Ternyata seperti itu, cara berterima kasih seorang Tuan Muda Lange. Singkat, padat, dan jelas.
Reagive malah menatap mata Kiara dalam. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Kiara. Semakin dekat. Jarak mereka semakin terkikis hingga menyiskaan tak lebih dari satu jengkal. Seakan tanpa dosa, Reagive terus menatap manik milik Kiara.
"Terus, mau lo apa, hmm?" Ucap Reagive yang kian membuat Kiara menciut. Kondisi jantungnya sudah tidak baik-baik saja. Sial. Mata itu, kenapa mata itu selalu membutanya mati kutu dalam sedetik.

KAMU SEDANG MEMBACA
PSITHURISM
Teen FictionGadis itu tak pernah menyangka bahwa kematian sang ibu akan membawa petaka lain dalam hidup damainya. Ia dipaksa menikah dengan kakak kelasnya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu benar-benar merubah segalanya. Ketika ego masih menjadi senjata dari...