Tiga Puluh Satu

745 43 0
                                    

Beberapa hari ini, Shami terlihat mengurung diri di kamarnya. Ia tak mau keluar dengan alasan ingin sendiri. Ia tak mengerti kenapa ini semua bisa terjadi padanya. Ini memang salahnya. Ia salah langkah. Ia pasti sudah mengecewakan banyak orang. Dikala ia kehilangan simpati semua orang, mengapa hal ini harus terjadi. Ia takut jika tak ada lagi orang yang akan menghiraukannya.

Shami terkejut saat pintu kamarnya dibuka paksa oleh seseorang. Gina datang dengan amarah yang memuncak. Ia mendorong Shami hingga ia jatuh ke lantai. Gina melempar benda berbentuk persegi panjang dengan dua garis merah ke wajah Shami. Shami terpekik kaget saat melihat benda yang tak seharusnya dilihat mamanya. Ia merasa sudah membuang benda sialan itu ke tempat sampah tiga hari yang lalu. Gina menatap nanar ke arah putrinya itu. Bagaimana bisa ia memiliki putri sebejad Shamila. Air mata Shami sudah tak bisa dibendung lagi. Sakit sekali melihat orang yang paling ia sayangi kecewa padanya. Gina mencengkeram wajah Shami kencang.

"Jelasin kenapa ini bisa terjadi, huh?" Shamila menggeleng. Ia tak mampu berkata apapun. Jangankan berbicara, menatap mata Gina pun ia tak ada nyali.

"Jelasin, Shamila." Gina menekankan setiap kata-katanya.

"Apa maksud dari test pack ini?"

"Maaf, Ma." Hanya kata itu yang sanggup Shami ucapkan.

"Maaf kamu bilang? Kamu pikir maaf kamu bisa nyelesein semuanya? Enggak, Sham." Amarah Gina tak kunjung reda juga. Ia tidak hanis pikir hal semenjijikan ini akan menimpa putrinya.

"Ma...."

"Siapa?" Paham dengan maksud ucapan Gina, Shami hanya bisa menggeleng. Ia tidak tau siapa orang yang telah melakukan hal itu padanya. Air mata Shami dihapus secara kasar oleh Gina.

"Air mata kamu nggak akan bikin mama kasian sama kamu, Sham. Mama kecewa sama kamu. Kenapa kamu nggak bisa kayak Kiara, sih?"

"Berhenti nyamain Shami sama Kiara, kita beda, Ma. Anak mama Shami, bukan Kiara. Kenapa semua orang yang Shami sayang, diambil sama Kiara? Reagive, mama, semuanya ninggalin Shamila." Tangis Shami semakin menderu kencang.

"Kamu mikir dong, Sham,Kiara nggak pernah ngrebut kami dari kamu. Tapi kamu yang nggak bisa nerima keadaan." Bentakan Gina membuat Shami semakin terpukul. Ia kehilangan semuanya sekarang. Kenapa begitu semengejutkan ini?

"Ma, Shami minta maaf. Shami mohon, Ma, maafin Shami. Shami bisa kehilangan semua orang, tapi, Shami nggak bisa kehilangan mama." Ucap Shami sungguh-sungguh. Ia tak ingin kehilangan mamanya. Hanya mamanya yang ia butuhkan di saat seperti ini. Ia tidak mampu menghadapi ini sendirian. Shami memeluk Gina erat. Gina yang awalnya tak ingin membalas pelukan Shami, akhirnya luluh. Ia mengelus punggung Shami. Hatinya ikut hancur. Meski sempat marah, Gina tak bisa menyembunyikan naluri keibuannya. Ia tidak bisa melihat Shami seperti ini. Sakit sekali rasanya.

"Ma, mama mau maafin Shami."

"Iya, Sayang. Mama maafin kamu, kamu punya mama. Mama bakal ada buat kamu." Gina kembali memeluk Shami.

"Papa gimana, Ma? Shami takut."

"Nanti kita bicarain baik-baik sama papa." Gina mencoba menenangkan. Shami mengusap sisa air matanya yang mulai mengering. Ia tersenyum pada Gina. Ia bersyukur, ketika nanti tidak ada seorangpun yang akan menerimanya, setidaknya masih ada mamanya. Baginya itu sudah lebih dari cukup.

***

Reagive mengambil beberapa kelas tambahan sore ini. Ia mengirim pesan pada Kiara, jika istrinya itu bisa pulang duluan. Ia tidak mau Kiara menunggu lama, karena dia pasti akan pulang sangat sore.

"Give, lo tau kabar Shami? Udah beberapa hari ini dia nggak berangkat." Tanya Jean. Reagive hanya menggeleng. Ia memang tidak mengetahui apapun tentang Shami.

PSITHURISMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang