Berbelanja keperluan bulanan, kini menjadi hal rutin bagi Kiara dan Reagive. Kebutuhan rumah tangga ternyata sebanyak itu. Pantas saja, pengahasilannya jadi pas-pasan. Padahal, uang yang ia hasilkan lumayan banyak. Untung saja apartemennya sangat dekat dengan super market dan berbagai ruko lainnya. Maklum, high class people. Tempat tinggalnya pun sangat strategis. Kiara turun dari mobil dan langsung menyambar trolli di depan pintu super market.
"Lo mau ikut belanja?" Kiara melirik Reagive yang berdiri tepat disampingnya.
"Emang nggak boleh?" Kiara hanya mengangguk pelan.
Kiara dengan cekatan, mengambil barang-barang yang ia perlukan. Mulai dari sayur, perlengkapan mandi, dan lain sebagainya. Banyak hal yang sudah habis ternyata. Oh, Kiara hampir melupakannya. Ia harus membeli benda itu. Kiara berhenti di bagian perlengkapan wanita. Kiara melirik ke arah Reagive sebentar. Syukurlah, lelaki itu masih setia menatap layar ponselnya. Secepat mungkin, Kiara mengambil dan meletakkannya ke dalam troli. Hembusan napas lega keluar dari bibir Kiara. Akhirnya, dia sudah melewati bagian itu. Reagive sebernarnya tau bahwa Kiara memperhatikannya. Apalagi saat Kiara ingin mengambil barang privasinya, Reagive ingin sekali tertawa. Tapi, ia pura-pura saja tidak tau. Toh, apa yang akan dia lakukan? Lebih baik, dia sok sibuk dengan telepon genggamnya.
"Kak, lo mau beli apa?"
"Ha?"
"Iya, keperluan lo yang udah abis, mungkin?" Reagive mengambil pomade langganannya.
"Terus?"
"Shampo." Kiara memasukkan merk shampo favorit Reagive ke dalam troli.
"Ada lagi?"
"Udah." Kiara kembali mendorong trolinya menuju kasir. Ia menyuruh Reagive untuk menunggu dari mobil saja. Reagive menuruti saja ucapan Kiara. Ia juga terlalu malas untuk mengantre.
Tak lama setelah Reagive menghilang dibalik pintu super market, Kiara mendapati orang yang sangat dikenalnya, baru saja memasuki super market. Ica. Dan sialnya, Ica juga menghampirinya yang tengah mengantre.
"Ra, lo ngapain di sini?"
"Belanja." Ica melirik troli Kiara. Untuk apa Kiara berbelanja sebanyak ini? Setahunya, Kiara bukan orang yang mau merepotkan dirinya sendiri, untuk sesuatu yang bisa diwakili orang lain. Pembantunnya cukup banyak jika hanya untuk berbelanja keperluan dapur mereka. Ini aneh.
"Jauh amat nyampe sini? Dan ngapain lo belanja sayur?" Kiara cukup gelagapan saat Ica tiba-tiba menanyakan hal seperti itu.
"Eh? Itu, bibik lagi pulang kampung."
"Semua?"
"Iya, soalnya itu, eh? Mereka gue suruh cuti, kasian." Ica membulatkan bibirnya menanggapi Kiara.
"Lo ngapain di sini, Ca?" Tanya Kiara mengalihkan.
"Oh gue? Gue mau cari buah tangan buat dibawa ke tante gue."
"Rumah tante lo deket sini?"
"Tuh, di apartmen seberang." Tunjuk Ica dengan menggunakan dagunya. Kiara tidak bisa untuk tidak membuka mulutnya lebar-lebar. Itu berarti, tantenya Ica satu gedung dengan dirinya. Bahkan, itu berarti, Ica sering berkunjung ke apartmennya. Ini bisa gawat kalau Ica mengetahuinya. Dunia sempit sekali.
"Ooo. Eh, Ca, gue duluan yah, belanjaan gue udah siap." Pamitnya. Hal itu hanya diberi anggukan oleh Ica. Kiara kembali ke mibil Reagive dengan tergopoh. Barang belanjaan ini sangat menyusahkannya.
"Kak, cepetan jalan."
"Lo kenapa sih?"
"Udah nggak usah banyak tanya. Jalan aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
PSITHURISM
Teen FictionGadis itu tak pernah menyangka bahwa kematian sang ibu akan membawa petaka lain dalam hidup damainya. Ia dipaksa menikah dengan kakak kelasnya sendiri. Pernikahan tanpa cinta itu benar-benar merubah segalanya. Ketika ego masih menjadi senjata dari...